Oleh S. Prasetyo Utomo
Perkembangan sejarah sastra Islam di Indonesia sudah dimulai sejak Hamzah Fansuri, penyair sufi dan ulama besar Aceh zaman Sultan Iskandar Muda. Ia lahir akhir abad ke-16, mengembara ke Mekah, Madinah, Bagdad, Pahang, dan Siam. Seiring pergeseran zaman, karena kemerdekaan kreatif sastrawan yang melakukan pembaharuan terhadap konvensi dan tradisi, selalu terjadi dialektika budaya yang membawa ciri estetika, sebagai identitas sastra Islam yang selaras dengan zaman.
Semenjak sastra modern berkembang di tanah air kita, para sastrawan menolak konformitas dan hegemoni budaya. Konformitas mengacu pada pengertian seseorang (sastrawan) melakukan pengubahan perilaku dalam dirinya agar sesuai dengan harapan riil atau harapan yang diimajinasikan oleh kelompok. Hegemoni, menurut Gramsci, merupakan kepemimpinan budaya dan moral diterapkan pada masyarakat sipil, negara merupakan lokasi kekuasaan koersif dalam bentuk polisi dan militer.
Penolakan terhadap konformitas dan hegemoni budaya inilah yang membangkitkan dialektika, pembebasan terhadap konvensi, dan terus-menerus melakukan inovasi. Karena itu, para sastrawan selalu melakukan penolakan terhadap penjara kreativitas. Tiap dekade, tiap angkatan, akan muncul identitas baru teks sastra, yang berbeda dari zaman sebelumnya.
- Iklan -
***
SAYA mesti memulai pembicaraan esai ini dari penciptaan puisi Raja Ali Haji yang menulis Gurindam Dua Belas (1846) yang membawa moral religiusitas. Puisi dua larik, dengan rima yang sama. Akan tetapi, tentu, penciptaan puisi dilakukannya dengan pembebasan konformitas dan hegemoni budaya. Ia mencari pengucapannya sendiri, berbeda dengan konvensi puisi Hamzah Fansuri. Lebih dahsyat lagi pada penciptaan puisi Chik Pantee Kulu, seorang pujangga kenamaan Aceh yang mencipta “Hikayat Prang Sabi”. Dengan puisi yang diciptakannya, regiliusitas menjelma konfrontasi terhadap kolonialisme.
Pembebasan terhadap konformitas budaya, ketika puisi ditarik ke ranah transendensi nasib manusia, dengan diksi yang bernas mengekspresikan makna, barulah dicapai Amir Hamzah. Ia menemukan identitas kepenyairannya, dan spiritualitas menjadi napas puisi yang menyentuh empati humanisme pada sisi yang paling senyap. Ia membebaskan diri dari tradisi penciptaan puisi untuk memuja tanah air dan menyuarakan kebangkitan nasionalisme yang banal pada zamannya.
Setelah Chairil Anwar yang menemukan identitas kepenyairannya, dan sebagian puisinya pekat religiusitas, saya terpukau dengan puisi-puisi Apip Mustopa. Ia mencipta puisi religius dengan bahasa satire terhadap perilaku sosial yang melingkupi atmosfer kepenyairannya.
Generasi penyair yang berobsesi pada penciptaan puisi religius dengan pencarian identitas yang otentik, pembebasan terhadap konformitas dan hegemoni budaya di antaranya A. Mustofa Bisri, Abdul Hadi W.M., D. Zawawi Imran, Ajamuddin Tifani, Emha Ainun Najib, Ahmadun Yosi Herfanda, Acep Zamzam Noor, Mathori A. Elwa, Abdul Wachid B.S., dan Jamal D. Rahman. Yang menarik tentu penciptaan puisi Kematian Kecil Kartosoewirjo yang ditulis Triyanto Triwikromo dengan dekonstruksi hegemoni kekuasaan dan eksplorasi religiusitas.
***
DALAM ragam cerpen dan novel, para sastrawan melakukan dialektika budaya terus-menerus untuk melakukan pencarian identitas kreativitas yang eksotis. Saya menemukan cerpen religius karya Djamil Suherman, A.A. Navis, Danarto, M. Fudoli Zaini, Ahmad Tohari, dan Abidah El Khaleqy. Akan tetapi, tidak semua sastrawan mencipta cerpen khusus berobsesi pada religiusitas. Banyak sastrawan yang hanya sesekali mencipta cerpen dengan obsesi religiusitas dan mencapai puncak estetika, dan identitas budaya seperti Yanusa Nugroho dengan cerpen “Salawat Dedaunan” (cerpen terbaik Kompas 2012) dan Raudal Tanjung Banua dengan cerpen “Aroma Doa Bilal Jawad” (cerpen terbaik Kompas 2018). Sastrawan yang kita kenal senantiasa berobsesi pada dunia religius dengan estetika lokal dan sufisme berlatar pesantren adalah A. Mustofa Bisri dengan kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi (Penerbit Buku Kompas, 2003). Kumpulan cerpen ini membawa Gus Mus menerima Anugerah Sastra Asia (Mastera, Malaysia 2005).
Perkembangan novel Indonesia yang bernapas Islam, tentu saja lebih semarak, meskipun mereka cenderung mengemasnya secara populer seperti Habiburrahman El-Shirazy, yang untuk satu novel Ayat-ayat Cinta menerima royalty mencapai 1,5 miliar. Novel-novel lain menghasilkan royalty ratusan juta rupiah. Kita mengenal Hamka dengan novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk dan Darman Moenir dengan novel Bako. Tentu saja menarik untuk diperbincangkan trilogi novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, yang mengemas perlawanan terhadap hegemoni kekuasaan dan pencarian spiritualitas Srintil yang bergerak mencapai kesadaran transenden.
***
SAMPAILAH ulasan esai saya pada tafsir terhadap identitas sastra Islam yang diperjuangkan para sastrawan dengan dialektika kreativitas, penolakan terhadap konformitas dan hegemoni budaya. Mereka menolak untuk menciptakan teks sastra yang merupakan “hibrida” dari sastra kanon dan perangkap ideologi penciptaan para sastrawan pada zamannya. Saya harus menyebut tiga sastrawan yang membebaskan diri dari pandangan kaum strukturalis yang berpikir secara oposisi biner: baik-buruk, benar-salah, pusat-pinggiran, surga-neraka. Dalam ragam puisi saya sebut Kematian Kecil Kartosoewirjo karya Triyanto Triwikromo. Dalam penciptaan cerpen, saya tak bisa mengabaikan A. Mustofa Bisri dalam Lukisan Kaligrafi. Dalam penciptaan novel, saya mesti mengemukakan religiusitas Ahmad Tohari dengan karya yang terus diperbincangkan sepanjang beberapa dekade ini, berupa trilogi Ronggeng Dukuh Paruk.
Ketiga sastrawan itu melakukan proses pencarian dalam kegelisahan kreativitas untuk mencapai teks selaras dengan identitas sastra Islam yang melampaui ruang dan waktu. Pertama, mereka melakukan dekonstruksi (penyimpangan) pandangan oposisi biner: surga-neraka, pusat-pinggiran, dan benar-salah. Kedua, obsesi penciptaan karya sastra mencapai keunikan, dikemas antara mitos, fakta, dan imaji. Ketiga, secara keseluruhan teks sastra itu menciptakan karya yang khas, unik, dan otentik. Keempat, karya itu meningkatkan fungsi estetika. Kelima, ketiga karya sastra itu menjadi teks jamak, teks dengan penafsiran plural. Keenam, ketiga karya sastra itu menjadi teks dialogis, yang membuka ruang komunikasi dan penafsiran pembaca. Ketujuh, ketiga karya sastra itu memenuhi syarat teks sastra yang berkualitas, mencipta unity (kesatuan, kepadatan) dan kompleksitas.
Identitas sastra Islam yang membebaskan diri dari konformitas dan hegemoni budaya itu sungguh merupakan karya yang dicipta melalui dialektika yang terus-menerus terhadap akar tradisi dan pergolakan zaman. Mereka menolak melakukan reproduksi. Mereka bertanggung jawab dengan kemerdekaan kreatif yang menjadi ciri kegelisahan sastrawan. Karena itu, teks sastra mereka melampaui ruang waktu penafsiran pembaca.
***
-Prasetyo Utomo, sastrawan, doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes, anggota komite seni budaya MUI Jawa Tengah.