Oleh Setyaningsih
Judul : Salah Piknik
Penulis : Joko Pinurbo
Ilustrator : Alit Ambara
Penerbit : Gramedia
Cetak : Pertama, 2021
Tebal : 82 halaman
ISBN : 978-602-06-5088-3
Puisi-puisi Joko Pinurbo (Jokpin) adalah definisi menikmati (akrobat) bahasa dalam pelbagai latar; teologis, keluarga, religiositas, kebudayaan, ataupun sosial. Mata pembaca dibawa bertungkus pada tema dalam kemasan bahasa yang jenaka, masih berbumbu ironi, puitis. Di buku puisi termutakhir ini, Salah Piknik (2021), pandemi menjadikan alasan puisi-puisi dicipta dan disajikan kepada para pembaca yang juga orang-orang yang mengalami (perubahan) tata keseharian.
Kritikus sastra, Bandung Mawardi, dalam esai “Humor Politis dan Humor Tragis” (Sastra Bergelimang Makna, 2010), misalnya tentang puisi-puisi bertema “Celana” mengatakan Jokpin merumuskan strategi teks puisi yang menghadirkan komedi dan tragedi. Dua kekuatan ini menjadikan puisinya berbeda. Ada peristiwa beralur dengan akhir atau kesimpulan yang dramatis dalam arti yang tragis ataupun sebaliknya. “Jokpin patut jadi perhatian besar pasca-Afrizal Malna yang sudah berhasil membuat wacana besar dalam perpuisian Indonesia mutakhir.”
- Iklan -
Dua kekuatan inilah yang cenderung masih bertahan sebagai yang khas Jokpin. Cerap puisi “Khotbah di Atas Becak”, Perusahaan tempatnya bekerja/ bubar gara-gara pandemi. Berbekal/ pesangon yang mengharukan, tambah/ doa pacar yang hampir mantan,/ ia meninggalkan Jakarta dan kembali/ ke kotanya, kota kecil yang berdenyut/ dan berkerlip dalam sunyi./…/ Ia pun nangkring di dalam becak,/ merokok, menyandarkan kantuk,/ sementara pak becak menjalankan/ becaknya pelan-pelan. […] Kring kring kriiing…Sampai./ Kumandang azan mengubah kantuk/ menjadi kangen. Tukang becak turun/ dan memanggul istrinya: “Bu, anakmu/ pulang!” Dan ibu yang tetap sehat itu/ buru-buru menyambut dan memeluk/ anaknya: “Alhamdulillah!”
Dengan cara jenaka, Jokpin menanggapi persoalan sosial-ekonomi mutakhir lantas membungkusnya dengan situasi batin manusia. Para pembaca bisa menampung haru, sendu, humor, ironi, sekaligus syukur.
Piknik (ke) Diksi
Jokpin bukan penyair yang menghindari cara-cara bersosial mutakhir. Salah satunya, ia juga memiliki akun Instagram dan menjadi satu dari warga negara Indonesia yang bertungkus lumus dengan cara-cara bersosial yang teknologis. Diksi-diksi memengaruhi warga dunia maya secara teknologis ataupun psikis dengan mulus tergelincir di antara bait-bait puisi. Misalnya diksi “setrong” yang ditulis dalam pelafalan bahasa Indonesia, bukan dalam bahasa Inggris (strong) atau diterjemahkan menjadi “kuat”. Cerap puisi “Hujan di Atas Instagram”, Bila besok hujan berderai lagi di atas instagram, saya/ mungkin sudah jadi orang saleh yang mudah pusing/ dan masuk angin—duduk gelisah di kursi goyang,/ tidak berani memandang mata kucing yang sinis/ dan tajam. Semoga instagram dapat membuat/ saya tampak setrong dan baik-baik saja.
Diksi-diksi teknologis pernah juga melanda puisi-puisi nakal penyair Yudhistira ANM Massardi yang juga mengalirkan humor pada puisi-puisinya, terutama di buku puisi yang terbit pada dekade kedua tahun 2000, 99 Sajak dan Perjalanan 63 Cinta. Diksi-diksi WhatsApp, giga, delete, restart, selfie, atau gawai membentuk aforisma nakal bertaut dengan kegelisahan psikologis manusia modern-teknologis. Jokpin ataupun Yudhis boleh tua secara usia, tapi diksi-diksi mengikut gairah android. Cerap puisi “Tak Ada Lagi” berikut, Rindu boros daya./ Malam tinggal setengah giga./ Tinggal beberapa calon orang gila/ berkeliaran di linikala./ Kopiku, kopiku,/ kenapa kautipu aku dengan insomnia?
Atau di puisi “Natal 2020” yang tidak ingin hanya merujuk pada hari besar salah satu umat saja. Momentum penting umat beragama hari ini, yang tenang lagi kudus, justru ramai perayaan di layar digital, mulai dari permasalahan konsumsi sampai bahasa. Begini, Kau akan tumbuh besar/ di jagat visual yang gebyar/ Sabda-Mu diwartakan/ melalui berbagai medium/ dan platform digital/ di syurga virtual/ yang penuh ilusi/ dan sangat adiktif ini./ Kau akan tumbuh besar/ di dunia verbal yang bingar./ Kau akan dirisak/ dari berbagai penjuru/ dengan dusta,/ dengki, cerca,/ dan tipu daya./ Kau akan disakiti, bahkan/ oleh pengikutmu sendiri. […] Kau akan dirindukan/ oleh para pecinta/ yang tak pandai bicara,/ yang tetap tekun/ mengerjakan cinta;/ oleh para pendosa/ yang mencuci dosa/ dengan hangat air mata./ Kau warta cinta/ yang menggema kembali/ di malam pandemi/ yang hangat hujan ini.
Ada semacam paradoks memang. Di satu sisi, kekuatan digital bisa menjadi manipulatif dan melahirkan kebencian, tapi dia juga menyokong peristiwa sosial-kebersamaan yang terjarak secara fisik karena pandemi.
Puisi “Yesus Naik Ojek” sepertinya dengan mudah membuat pembaca tertawa sekaligus mewek dalam keragaman sekaligus kebersamaan. Ada penjelataan yang memang sudah sering dilakukan Jokpin dalam puisi-puisi bertokoh Yesus. Diceritakan bahwa Yesus naik ojek, bertemu bocah bernama Amin yang menawari mangga. Cerap dan hati-hati, puisi mengandung bawang! Setop dulu, Om./ Aku punya mangga enak untukmu. Wah, ini mangga kesukaanku./ Siapa namamu?/ Namaku Amin, Om./ Matur nuwun ya, Min./ Kau menemukan mangga enak ini/ di halaman rumah tetangga, kan/ Haha…Om mau ke mana?/ Nanti masuk angin lho./ Mau menengok teman Om yang sedang sakit./ Aku boleh ikut, Om?/ Kau di rumah saja, Min. Jaga dirimu baik-baik./ Jangan lupa cuci tangan dan cuci hati.
Jadilah, warta kasih melalui lima roti dan dua ikan tergenapi oleh buah mangga yang berkultur Indonesia. Puisi ini bisa dianggap sebagai kisah kudus yang menyatu situasi sosial-ekonomi-toleransi hari ini. Cerap bait lanjutannya, Yesus disambut Bu Iman dengan hidangan/ canda dan tawa, sementara Pak Iman asyik/ bercengkerama dengan deman yang telah tiga/ hari menginap di tubuhnya. Kemudian takjublah Ia/ menyaksikan orang-orang berdatangan membawa/ nasi bungkus, pisang, apem, dan penganan lainnya./ Yesus tertegun melihat Amin ada di antara mereka./ “Dia anak kamu,” Bu Iman menjelaskan./ Yesus—dengan mantel dan masker—naik ojek/ melintasi jalanan lengang di bawah rincik hujan,/ membawa lima roti, dua ikan, dan satu mangga,/ mau menengok teman-teman-Nya yang sudah lama/ tak bisa kerja karena pandemi virus korona. Di puisi, Yesus ‘hanya’ Yesus atau ‘seseorang’ pengasih yang di sekitar kita bisa menjelma siapa pun. Inilah cara Jokpin merombak ulang sosok Yesus nan agung menjadi sangat keseharian dan manusiawi.
Memang faktor pandemi, puisi menjadi cara mengutarakan ironi sekaligus empati. Orang-orang memerlukan humor untuk bertahan dalam ketidakpastian. Tidak seperti judul buku puisi yang memang terbaca Salah Piknik, pembaca tidak salah piknik ke puisi-peristiwa Jokpin. Di masa pandemi, puisi-puisi Jokpin masih syahdu dan uwuwu.
Identitas Penulis
Nama : Setyaningsih
Alamat : Garen RT 04/ RW 3 Pandeyan, Ngemplak, Boyolali
Aktivitas : Esais dan penulis Kitab Cerita (2019)