Oleh Hamidulloh Ibda
Pada 6 Mei 2021 kemarin, saya dinobatkan menjadi Juara 2 dalam Lomba Esai Populer Tingkat Nasional tahun 2021 yang digelar Prodi Bimbingan dan Konseling Pendidikan Islam (BKPI) dengan Prodi Tadris IPA Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK) Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Syarif Kasim Riau.
Melalui esai bertajuk “Memutus Mata Rantai Stres Akademik” itu saya mengangkat kegelisahan yang saya alami selama setahun lebih di kala pandemi yang tak kunjung usai. Bagi saya, stres akademik kini memang mendera semua orang. Tak hanya anak saya yang baru masuk SD, para mahasiswa, guru, dosen, orang tua pun mengalami hal sama.
Itulah mengapa pada judul artikel ini saya menyebutnya sebagai “merayakan” karena memang riil demikian. Mau tidak mau, diakui atau tidak kita merayakan stres akademik yang berkepanjangan. Tak hanya urusan belajar, stres akibat pandemi juga terjadi di sektor ekonomi dan dunia kerja, industri bahkan agama.
- Iklan -
Pada Juli 2021 ini pemerintah membuat kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat di Jawa-Bali pada 3 sampai 20 Juli 2021. Bahkan ada wacana PPKM Darurat diperpanjang hingga 17 Agustus 2021. Hal ini tentu menggelembungkan balon stres akademik yang kian meresahkan warga. Namun apa boleh buat, kesehatan dan keselamatan dunia adalah nomor wahid.
Stres akademik dalam konteks pandemi covid-19 bukan rekayasa. Namun memang riil adanya. Makanya saya memilih diksi “merayakan” karena memang tidak bisa dihindari. Akibat covid-19, guru stres, murid stres, dosen stres, mahasiswa stres. Semua terpapar stres utamanya karena pembelajaran dilaksanakan melalui moda dalam jaringan atau daring.
Jika dulu sebelum pandemi pembelajaran daring itu keren, namun kini tidak. Jare sapa keren?
Mengapa demikian? Sebagus apa pun platform media, materi, sinyalnya, pembelajaran daring tetap membosankan. Dalam jangka yang lama akan melahirkan stres berkepanjangan. Bisa juga sisi positifnya kita memang akan hidup pada kebiasaan baru melalui alat dan moda daring. Namun apakah akan selalu demikian?
Kapan Stres Akademik Berhenti?
Sebentar lagi, tahun ajaran baru 2021-2022 untuk jenjang SD/MI sampai SMA/SMK/MA akan dimulai. Untuk perguruan tinggi dimulai Agustus/September 2021 mendatang. Masalah pembelajaran masih menjadi diskursus yang tak kunjung tuntas.
Ini menunjukkan potensi stres akademik akan semakin berkepanjangan. Ada dua kemungkinan. Pertama, kita tak kunjung tatap muka dan menganggap stres akademik bukan masalah. Kedua, tatap muka atau non tatap muka hanya metode sehingga hal itu tidak menjadi pemicu stres akademik.
Terlepas dari itu, pembelajaran memang didesain dengan berbagai konsep. Mulai dari hybrid learning, blended learning, dan juga model pembelajaran jarak jauh (PJJ). Kebanyakan, sekolah/madrasah dan perguruan tinggi memilih cari aman dengan skema PJJ.
Maka PJJ harus disiapkan dengan totalitas. Kita tidak boleh bersantai ria dan asal jalan. Sebab, pembelajaran yang membosankan bagi siswa atau mahasiswa hanya akan menjadi rutinitas dan susah mencapai capaian pembelajaran pada ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.
Paling pokok lagi, guru dan dosen perlu mengubah paradigma PJJ yang berorientasi pada tuntasnya materi perkuliahan menjadi wahana transfer karakter, adab, dan akhlak.
Sebagusnya apapun medianya, sinyal dan aplikasinya, jika jiwa mahasiswa kosong, maka apa gunanya PJJ tersebut. Lalu, kapan kita mengakhiri stres akademik dan mewujudkan PJJ sukses mentransformasi pengetahuan, adab dan karakter pada ssiwa atau mahasiswa?
Jika PJJ sekadar formalitas dan mengejar ketuntasan materi, sama saja dosen memberikan gelas tanpa isi? Padahal setiap mahasiswa memiliki potensi besar dalam ranah intelektual, spiritual dan emosial. Akankah selamanya PJJ seperti itu terus? Duh!
-Penulis adalah dosen, PJs Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan INISNU Temanggung.