Oleh: Saiful Bari
Kemarin, tanggal 23 Juli atau tepatnya pada 23 Juli 2001 yang lalu, Presiden Abdurrahman Wahid atau kerap disapa Gus Dur meninggalkan istana. Kepergiannya adalah bukti yang sangat baik akan kecintaan Gus Dur terhadap kesatuan Republik Indonesia. Sebuah sikap dan tindakan yang menjadi salah satu tanda kenegarawannya.
- Iklan -
Tak perlu disebut berapa jumlah amal usaha yang telah dibangun dan tak perlu pula menakar jasanya untuk negeri ini. Sejak Gus Dur aktif di ranah politik khususnya memang spesial. Seakan sebuah antitesis dari kekuasaan sebelumnya. Kekuasaan yang semula identik dengan otoriter dan represif diubah menjadi sebaliknya — demokratis dan responsif.
Dari fakta tersebut, ada satu pesan Gus Dur — dari sejuta pesannya — yang membekas dalam ingatan saya dan mungkin kita semua. Yaitu, Gus Dur merelakan meninggalkan istana daripada harus mengorbankan 300.000 (tiga ratus ribu) jiwa, yang sebetulnya mereka telah melakukan tanda tangan dan rela mati demi Gus Dur.
Mengetahui hal tersebut, Gus Dur tak sampai hati mengamini usaha pendukungnya. Namun beda ceritanya, “kalau mengenai prinsip, mengenai alasan berdirinya negara, mengenai bentuk negara dan sebagainya, meski mati saya lewati. Nah, ini orang NU, ulama ya begini caranya,” kata Presiden RI ke 4.
Pesan di atas, dapat kita petik bahwa ajakan untuk merajut, menjaga dan merawat kebhinekaan atau pun kesatuan Indonesia itu lebih penting daripada memperebutkan kekuasaan, misalnya Presiden sebagai jabatan tertinggi di Indonesia.
Pada titik ini, saya tertarik untuk merefleksikan (pemikiran) Gus Dur dan pentingnya menjaga kebhinekaan dan Pancasila. Dalam konteks ini, menjaga dari bahaya hoaks, intoleransi dan radikalisme-terorisme.
Mengenal Pemikiran Gus Dur
Gus Dur ini memang identik dengan pikiran maju. Pikiran cemerlang yang melampaui. Gagasan-gagasannya ditiru dan dibenarkan ramai meski awalnya ditolak dan dibantah.
Sikapnya yang moderat justru memposisikannya sebagai Bapak Bangsa, Bapak Pluralisme, Bapak Tionghoa, dan sederet gelar penghargaan kemanusiaan untuk Gus Dur. Karena, Gus Dur adalah sosok yang mampu mengayomi semua aspirasi. Sehingga, tak ayal apabila sosok Gus Dur ini penting diingat, terutama dalam hal pemikiran dan perjuangannya.
Harus diakui bahwa pemikiran dan perjuangan Gus Dur sangat besar bagi bangsa ini. Karena, meminjam bahasanya A. Muhaimin Iskandar (2010), sifatnya yang melampaui batas-batas agama, etnis, budaya dan bangsa. Maka, pemikiran dan perjuangannya merangkum gagasan-gagasan besar dari berbagai agama, tradisi, budaya dan peradaban manusia, sehingga ia bersifat memayungi semua aspirasi dan kepentingan kelompok masyarakat dari berbagai keyakinan.
Oleh karena itulah, disadari atau tidak, sepeninggalnya dari dunia ini, amat jarang seseorang yang mau dan mampu mengayomi semua aspirasi dari masyarakat yang multi agama dan multi etnis. Jika pun ada, masih tak sebanding dengan Gus Dur dalam hal merajut kebhinekaan.
Pentingnya Menjaga Kebhinekaan dan Pancasila
Indonesia, sudah sangat kesulitan mencari pengganti Gus Dur namun, masih saja ada seseorang maupun sekelompok orang yang hendak merusak kebhinekaan dan Pancasila, dengan makin gencar melakukan narasi hoaks, intoleransi dan menyebarluaskan paham radikal ekstrim. Padahal mereka tahu bahwa Indonesia adalah negara yang multikultural. Tak bisa diseragamkan dalam satu panji agama atau sekte tertentu.
Melihat fenomena ini, dalam rangka mengenang (alm.) Gus Dur maka meneladani pemikirannya dan melanjutkan perjuangannya adalah suatu keniscayaan.
Menurut Muhaimin Iskandar (2010), dalam konteks kehidupan politik, ada alasan mengapa pemikiran Gus Dur penting diteladani dan perjuangannya penting dilanjutkan, karena Gus Dur juga mendedikasikan hidupnya untuk mewujudkan demokrasi dan tegaknya hak asasi manusia secara menyeluruh dalam kehidupan masyarakat bangsa. Bagi Gus Dur, demokrasi merupakan manifestasi
terbaik dari nilai-nilai luhur agama. Dan dalam sistem demokrasi dimungkinkan umat dari berbagai agama, kepercayaan dan suku bisa bersatu untuk mewujudkan tujuan nasionalnya, serta terlindunginya hak-hak asasi manusia.
Berangkat dari pandangan tersebut pada gilirannya dapat membuka cakrawala kita tentang pentingnya menjaga dan merawat kebhinekaan. Dengan kata lain, menjaga dan merawat kebhinekaan merupakan suatu perkara yang mulia.
Pada titik ini, berkaitan dengan strategi kita agar mampu merajut kebhinekaan maka, pertama, aktif melakukan narasi ajakan untuk menjaga dan komitmen pada Pancasila sebagai ikatan suci bangsa ini. Kedua, mensyukuri atas terbentuknya NKRI. Ketiga, kita rajut kembali komunikasi. Dan terakhir menatap Indonesia sebagai negara yang beraneka ragam.
Akhirnya, mengenang Gus Dur sama halnya berupaya merajut kembali kebhinekaan dan Pancasila yang mulai terkoyak oleh narasi hoax, intoleransi, radikalisme dan terorisme.
-Penulis adalah alumnus Program Studi Ilmu Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Juga, pernah nyantri di ponpes Al-falah Silo, Jember. Kini, aktif sebagai Redaktur Silapedia dan Pengurus GP Ansor Ranting Tulungrejo (Banyuwangi).