Oleh Abdul Aziz
Beberapa hari yang lalu jagad maya dibuat geger oleh BEM Universitas Indonesia (UI) yang mengkritik sekaligus menjuluki Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan julukan The King Of Liv Service. Banyak yang mendukung apa yang dilakukan BEM UI namun ada pula yang kontra dan menyayangkan tindakan tersebut karena dianggap tidak sopan dan kurang mencerminkan adab ketimuran.
Buntut dari kritik dan julukan yang viral tersebut BEM UI pun dipanggil oleh pihak Kampus untuk dimintai keterangan. Kejadian ini menarik simpati dari BEM-BEM lainnya untuk mendukung dan menyuarakan hal yang sama dengan BEM UI, pasalnya pemanggilan BEM oleh pihak kampus dianggap sebagai pelemahan dan kemunduran dalam berdemokrasi.
Pada dasarnya, sebagian besar dari kita sudah tidak asing lagi dengan istilah kritik, kata ini sering terlontar di berbagai kegiatan baik akademik maupun politik. Jika menilik KBBI (2021), kata kritik berarti kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya.
- Iklan -
Setiap orang berhak memberikan kritik terhadap siapapun baik itu perseorangan, kelompok maupun pemerintah, namun perlu diketahui bahwa mengkritik bukanlah perkara mudah, tidak jarang orang yang melakukan kritik justru harus berurusan dengan penegak hukum, adapula yang berujung permusuhan antar sesama/kelompok. Oleh karena itu perlu ilmu dan tata cara mengkritik yang baik dan dan benar agar tidak hanya mendapatkan kebaikan tapi juga pahala.
Ada beberpa hal yang perlu diperhatikan ketika menyampaikan kritik, agar kritik tersebut sampai tepat sasaran. Pertama, kritik harus bersifat Ilmiah yaitu logis dan empiris, logis artinya masuk akal, empiris artinya dibahas secara mendalam berdasarkan fakta yang dapat dipertanggung jawabkan (Wattimena, 2008). Jadi, yang dimaksud dengan kritik ilmiah ialah tanggapan seseorang atau pihak lain atas karya, pendapat atau pemikiran yang disertai dengan sanggahan yang masuk akal berdasarkan fakta yang dapat dipertanggung jawabkan.
Kedua, selain bersifat Ilmiah, mengkritik juga harus lemah lembut dan harus disampaikan dengan tepat bukan saja isi dari kritik tersebut tetapi juga waktu, tempat, serta susunan kata-katanya, yakni kritik tidak dengan memaki atau memojokan pihak yang dikritik.
Tentu kita mengetahui bagaimana kekejaman Fir’aun ketika membantai Bani Israel dan juga kesombongan Fir’aun yang melampaui batas dengan mengaku sebagai tuhan namun Allah swt. memerintahkan Musa as. dan Harun as. untuk mengingatkannya dengan lemah lembut. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Thaha: 43-44;
pergilah kamu berdua kepada Fir‘aun, karena dia benar-benar telah melampaui batas;
maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut (QS. Thaha. 20:43-44).
Ketiga, menyampaikan kritikan dengan ikhlas. Dalam Islam, kritik termasuk dalam ajaran amar makruf nahi mungkar (QS Ali-Imran: 110). Kita tidak boleh melancarkan kritik dengan tujuan menonjolkan diri, termotivasi oleh hasad (kedengkian) atau berbagai tendensi tertentu, namun semata-mata untuk memperoleh rida Allah ta’ala.
Mengkritik yang dibenarkan adalah mengkritik dengan berniat untuk memperbaiki kondisi orang lain dan menegakkan kebaikan atasnya, bukan untuk mencari kedudukan bagi diri dan kelompok, tidak pula untuk melecehkan orang lain.
Keempat, mengedepankan objektivitas dalam mengkritik, jamak kita jumpai orang melempar kritik tajam terhadap lawan politik/kelompok lain namun terkesan membela apabila kekurangan tersebut berada di kelompoknya. Seharusnya tidak demikian, sampaikanlah kritik secara objektif terhadap kekurangan baik itu dari kelompoknya maupun lawannya demi kebaikan bersama.
Dengan memperhatikan keempat hal di atas semoga tercipta kritikus-kritikus andal yang berorientasi pada kemajuan bersama untuk membangun sebuah peradaban. Semoga!
-Penulis adalah Pengurus Lembaga Pendidikan Ma’arif NU Tangerang Selatan.