Judul : Kitab Cerita, Esai-esai Anak dan Pustaka
Penulis : Setyaningsih
Penerbit : Penerbit Babon
Cetakan : Maret 2021
Tebal : 118 halaman
ISBN : 978-623-6650-29-5
Saat mengingat anak, satu yang pasti akan teringat dari sekian banyaknya hal: gerak. Cekatan, lincah, dan gesit ialah sifat gerak pada diri anak. Aktivitas fisik ini menimbulkan pelbagai respon dari orang-orang di sekelilingnya, terkhusus orangtua. Peristiwa yang tak mungkin hilang dari anak. Tapi terlalu sering dipinta lenyap oleh orang-orang dewasa.
Diam, stop, berhenti jadi kata yang dihadapkan kepada anak atas kebergerakannya. Teramat jarang anak mendapat tuntunan dan ajakan untuk bergerak. Kecuali perihal mengerjakan tugas, kursus, belajar, dan peristiwa beribadah yang terkadang disusupi paksaan. Bergerak jadi menakutkan dan tidak menyenangkan bagi anak.
Setyaningsih melalui buku Kitab Cerita: Esai-esai Anak dan Pustaka (2021) edisi ke-2, merayakan gerak anak-anak. Tuturan-tuturan kisah kebergerakan anak diramu melalui esai-esai tangkas dan cakap. Buku terbaca bahwa anak-anak hidup dan dihidupi bersama gerak: membaca, memanjat, bertanya, berlari, menggambar, berjalan, mendengar, dan tertawa. Gerak-gerak dirayakan dengan sukacita. Kita bisa lihat dari salah satu judul esainya “Bocah, Tertawalah!”. Mengajak anak untuk tertawa bersama bahasa di kolom-kolom majalah saat akhir pekan. Dialog imajiner dan kisah jenaka menjadi pemantik anak untuk bisa tertawa.
- Iklan -
Kebergerakan anak mengingatkan kita pada film yang dialih wahanakan dari novel Antoine de Saint-Exupery, berjudul Le Petit Prince (2015). Kita bergerak ke film, bukan novel. Film menampilkan anak perempuan dengan segala keteraturannya. Ibu, kali ini jadi sosok penghenti gerak anak. Kita bisa melihat adegan saat anak dihadapi dengan papan rutinitas di tembok. Gerak anak tidak hanya diawasi oleh bahasa dan mata. Ia menyelundup dalam kepastian aktivitas yang tertempel di rumah.
Kita beralih ke film lain. Kali ini film India berjudul Taare Zameen Par (2007). Ishaan Nawasti jadi anak yang turut terkekang dalam bergerak. Sekolah asrama diubahnya menjadi ruang penghukuman atas kebergerakan Ishaan yang liar dan imajinatif. Ia suka menggambar, mencorat-coret dinding, dan bermain bersama hewan ketimbang menghitung dan membaca di kelas. Ketidaksukaan bukan hal yang diinginkan. Ia agak kesulitan dalam memahami angka-angka dan huruf-huruf.
Tokoh ayah menafsirkan gerak Ishaan sebagai kebandelan melampaui batas. Ishaan dihukum pindah ke sekolah asrama. Hukuman untuk tinggal di sekolah asrama menghilangkan kesenangan Ishaan dalam bergerak. Ia tak lagi mencintai aktivitas apapun. Bahkan menggambar, kegiatan yang begitu disenanginya.
Hal tersebut terlihat dalam adegan ketika guru seni memperkenankan seluruh anak di kelas untuk menggambar. Tiga kali ia berkeliling melihat gambar anak-anak, dan kembali pada meja Ishaan. Kertasnya masih saja kosong tanpa satu pun goresan yang dibuat. Kita berpikir, penghentian anak dalam bergerak justru melimpahinya rasa muram dan kosong. Bahkan hasrat untuk berkegiatan hal yang paling disenanginya saja bisa lenyap seketika.
Kita kembali sejenak ke buku, di esai “Anak-anak Enid Blyton” Setya bercerita pasal kebergerakan Enid kecil. Aktivitas itu tidak memaksa. Kesukaan Enid atas buku tak dihilangkan dan dipaksa beralih ke kegiatan lain seperti bermusik. Enid hidup bersama kebergerakan yang diminatinya. Kita cerap kisahnya, “Pengasuh intelektual sang ayah, Thomas Carey Junior, amat bersahaja. … Mulanya Enid didamba menjadi pemusik. Tapi sang anak menunjukan minat lain. Ketika memasuki bangku sekolah sekitar umur 6 tahun, mulailah tampak kebiasaan Enid bersentuhan dengan buku-buku.”
Kebergerakan Enid bukanlah otoritas Ayah. Justru ayahlah penyulut dan penebar geraknya. Ia membiarkan Enid memilih cabang gerak yang disukainya. Bukan malah mencabut geraknya dan mematenkan jalan gerak untuk si anak. Kita akan mendapati persetujuan ini di esai Setyanigsih bertajuk “Romo Mangun: Merayakan Gerak dan Anak” di halaman 21.
Bersama Romo Mangun di esai, Setya menuturkan ketidaksetujuan atas penghentian dan penolakan gerak anak. Di halaman 26, begini katanya, “Daripada dilarang bergerak, lebih penting mengingatkan anak bertanggung jawab pada raga diri. Anak-anak bisa dan boleh bermain tanpa memberi efek samping gangguan pada peristiwa anak lain.” Ungkapan tertuju bagi orang-orang yang menuntut anak agar berenti bergerak. Setya lebih setuju agar anak bisa bergerak dan mengerti perihal tanggung jawab. Bukan justru dilarang dan dihentikan.
Perayaan Gerak
Kita mengingat bahwa di dalam buku ada perayaan-perayaan gerak yang tertulis bersama tokoh. Salah satunya esai berjudul “Soekanto SA: Mengarus di Sastra Anak (Indonesia)”, yang merayakan gerak anak bernama Gustini melalui lontaran pertanyaan yang diajukan kepada Pak Kanto. Gustini bertanya pasal terbitan terbaru majalah Si Kuncung. Gerak tanya anak tak terhenti dengan kata “diam” atau kata larangan lainnya. Pak Kanto justru merayakannya dengan menerbitkan serial Hari-hari Berama Gustini. Perayaan kecil dilakukan atas peristiwa kebergerakan seorang anak.
Pada saat ini, tokoh rekaan anak yang bebas bergerak terejawantah dalam diri Abinaya Ghina Jamela. Ia begitu bebas dalam menulis. Keterbebasan gerak membuatnya menerbitkan sejumlah buku. Aku Radio bagi Mamaku (2018) dan Resep Membuat Jagat Raya: Sehimpun Puisi (2017) ialah segelintir bukunya. Keterbebasan gerak tidak berarti produktivitas yang komersil. Namun, eksplorasi lebih jauh bagi si anak.
Merayakan gerak bersama anak sesungguhnya merupakan petualangan ceria yang menggugah imajinasi. Kita tidak menginginkan kebergerakan anak terenggut atau direnggut. Ini memungkinkan anak menjadi linglung dan dipenuhi kata bingung pada nalarnya. Setya memperlihatkan adegan tersebut di salah satu esainya. Tulisan berjudul “Piknik (di) Perpustakaan”, yang merekam gerak kebingungan anak-anak atas tawaran kebebasan untuk bergerak.
Begini peristiwanya, “Momen liburan menjadi pembebasan, tapi tubuh anak-anak justru kaget dan gugup dengan kebebasan, keliaran, dan tindakan suka-suka yang ditawarkan. Anak terlanjur terbiasa dengan ruang yang telah diatur oleh institusi (pen)dewasa(an).” Anak jadi tak sanggup bereksplorasi karena terbiasa diperintah agar patuh dan tertib. Mereka kebingungan menunjukan keingintahuan ketika ditawarkan ruang yang bebas untuk bergerak. Daya gerak anak hampir lenyap atas penghentian yang sering dialami di ruang-ruang kepatuhan.
Suguhan peristiwa yang disebabkan atas pengehentian kebergerakan anak coba diperlihatkan Setya di seluruh esainya. Ia menghadirkan dualitas yang berdampak pada anak. Pertama perihal bagaimana jika anak ditawarkan keleluasaan bergerak. Dan yang kedua, mengenai bagaimana jika anak diselundupi penghentian atas kebergerakannya. Dikotomi tersebut yang coba disuguhkan Setya pada buku Kitab Cerita: Esai-esai Anak dan Pustaka edisi ke-2. Berbeda dari edisi pertama, di mana esai-esainya lebih bertendensi menganalogikan anak sebagai unsur harapan di kehidupan. Di buku ini, Setya menawarkan sudut pandang yang berbeda. Tidak lagi perihal anak sebagai jelmaan harapan. Namun ihwal anak dalam kebergerakannya.
Aku berfirasat, Setya sudah menawarkan perayaan gerak anak sejak tatapan pertama di bukunya. Ia seperti sudah bersepakat agar sang ilustrator kover: Nai Rinaket, memvisualkan gambaran anak yang bergerak dalam keingintahuannya. Sampul yang bergambar seorang anak perempuan sedang menggenggam senter dikelilingi tanaman hijau, mengartikan sebuah penjelajahan awal seorang anak. Selamat hari anak. Selamat merayakan gerak.
*Nu’man Nafis Ridho, Aktivitas: Mahasiswa P IPS Universitas Negeri Jakarta, Pernah menulis di Suningsih.net, Jalastoria.id, Remedial.id, Ideide.id, Magrib.id, koran Sindo dan Solopos