Oleh Moh. Rofqil Bazikh
Judul Buku : Mantiq
Penulis : Azis Anwar Fachrudin
Penerbit : IRCiSoD
Tahun : Mei, 2021
ISBN : 978-623-6166-39-6
Dalam khazanah Islam klasik, tradisi berpikir (baca: berfilsafat) adalah sesuatu yang pernah tumbuh subur. Filsuf-filsuf muslim besar kenamaan pernah mengisi dinamika perjalanan Islam. Sekitar abad imperium Abbasiyah, hal tersebut memang menjadi hal yang patut diapresiasi. Meski, pada akhirnya mengalami dekadensi karena beberapa faktor. Tradisi berpikir filosofis itu seakan-akan menjauh dalam diskursus keislaman. Wacana ini semakin diperkeruh dengan kenyataan dan klaim sepihak bahwa Islam mengharamkan filsafat.
Ketika kata “filsafat” disebut, asosiasi yang didapatkan cenderung negatif. Pandangan semacam ini tampak terburu-buru, menghakimi filsafat tanpa terlebih dahulu mengkajinya secara mendalam. Pendapat ini seakan mendapat legitimasinya ketika Imam as-Syafi’i juga dianggap menentang filsafat. Padahal, apa yang diserangnya bukanlah ahli filsafat, melainkan mengarah pada kaum qadiriyyah dan nufat as-shifat (para penyangkalsifat Allah).
- Iklan -
Sampai di titik ini semakin jelas, bahwa menuver filsafat dalam Islam mengalami tantangan yang tidak ringan. Hal demikian, diperparah ketika terus-terusan mempertentangkan antara akal dan keimanan. Tuduhan lain adalah bahwa orang-orang yang mempelajari filsafat cenderung mempertanyakan doktrin-doktrin dalam agama, atau bahkan menyangkal. Hari ini, redupnya tradisi berpikir filosofis sebagaimana abad awal masih mengungkung. Realitas semacam ini harus disadari bersama, utamanya umat muslim sendiri.
Khazanah Islam juga tentu mengenal Imam al-Ghazali. Salah seorang alim yang hampir semua bukunya menjadi babon di bidang tasawuf. Al-Ghazali sendiri sebetulnya juga ulama yang kompeten dalam filsafat —dan ini yang banyak dilupakan. Hal tersebut terbukti ketika dia menyangkal filsuf Paripatetik, Ibn Rusyd, dalam Tahafut al-Falasifah di ranah metafisika dan filsafat alam. Sekali lagi, menjadi salah total jika ada klaim bahwa al-Ghazali menyangkal keseluruhan filsafat, sebab ia sendiri berfilsafat.
Buku ini merupakan catatan atas buku al-Ghazali, Mi’yarul Ilmi (standar ilmu pengetahuan). Di buku tersebut al-Ghazali membahas logika (mantiq) yang sedikit banyak juga dipengaruhi logika formal Aristotelian. Mula-mula penulis membahas bagaimana logika bisa terbang dari Yunani ke dunia Islam dengan perantara Phorphyry. Kemudian, penulis membahas seperangkat teori yang ketat mengenai logika. Di bagian ini, memang terasa harus lebih mengerutkan dahi sedikit.
Beruntung, contoh-contoh yang diwedarkan di buku ini dapat mempermudah. Seringkali penulis menggunakan contoh-contoh dalam logika yang dipakai oleh teolog muslim, khususnya diskursus teologi Asy’ariyyah. Dengan bahasa yang sederhana dan sebisa mungkin disederhanakan agar tidak mempersulit pembaca, kerangka teori dapat dipahami pelan-pelan. Simbol-simbol dalam mantiq juga dicarikan padanannya dalam logika umum. Sehingga, dapat ditemukan kesesuaian antara mantiq dan logika umum itu sendiri.
Tidak cukup sampai di situ, penulis juga memuat sanggahan-sanggahan dari tokoh (ulama) orang yang tidak setuju dengan logika ini. Salah satunya Ibn Taimiyah yang menolak dengan cerdas dalam bukunya yang berjudul ar-Radd ‘alal-Mantiqiyyin (bantahan terhadap ahli logika). Yang tidak kalah menarik ketika seperangkat teori mantiq ini digunakanpenulisuntuk membedah problem mutakhir. Misal polemik antara agama dan sains, penulis menjabarkan panjang lebar menggunakan kacamata mantiq. Itulah mengapa, buku memang relevan dan tidak hanya dalam ranah teori saja. Sebab, di akhir penulis memang menggunakan bab khusus, yakni mantiq dalam terapan.
Hal ini juga serasa menghidupkan kembali tradisi berfilsafat yang mulai meredup, sebagaimana saya singgung di awal. Apalagi yang tersisa dari filsafat hari ini hanya logika dan metafisika. Maka, dalam buku ini filsafat seakan dihidupkan kembali. Hal tersebut semakin terasa ketika masuk dalam bab terapan di akhir. Saya pun mulai meyakini, asosiasi makna yang cenderung buruk ketika mendengar kata filsafat akan sedikit berubah ketika mendalami buku ini.
Maka tidak berlebihan jika buku ini dianggap sebagai pemantik filsafat. Berpikir dengan sangat filosofis tentu dibutuhkan dan sejalan dengan prioritas dari ilmu mantiq itu sendiri; tidak lain adalah menjaga pikiran dari falasi dan kesalahan-kesalahan formal.
Moh.RofqilBazikh, pegiat literasi dan berdomisili di Yogyakarta. Tercatat sebagai mahasiswa Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga sekaligus bergiat di Garawiksa Institute. Anggitannya telah tersebar di pelbagai media cetak dan online antara lain; Tempo, Kedaulatan Rakyat, Tribun Jateng, MingguPagi, HarianMerapi, Harian Rakyat Sultra, Bali Pos, Analisa, Duta Masyarakat, Pos Bali, SuaraMerdeka, Banjarmasin Post, dll.