Oleh: Moh. Rofqil Bazikh*
Sejak awal ihwal konfrontasi antara menerima Pancasila sebagai asas tunggal atau tidak memang hangat diperbincangkan. Salah satu yang menarik—saya mencoba merekam satu saja—adalah apa yang dikonsepsikan NU perihal ini. Lewat Munas Alim Ulama satu tahun sebelum Muktamar ke -27 di Situbondo, NU menegaskan menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Atau lebih tepatnya merumuskan relasi dan korelasi Islam dan Pancasila. Lewat rumusan Achmad Shiddiq, NU kemudian menerima Pancasila sebagai asas negara Indonesia. Namun, rumusan dari NU sendiri sejatinya mengalam dinamika yang sangat panjang.
Ia bisa disebut satu-satunya organisasi saat itu yang menerima Pancasila sebagai asas tunggal. Di sini, yang hanya dan hendak dikutip adalah halal–haram tersebut. Dengan kata lain, kebolehan atau tidak menggunakan Pancasila sebagai dasar dari negara. Sekarang? Hal tersebut sudah selesai, puluhan bahkan ratusan buku dan jurnal yang telah membahas relasi Islam dan Pancasila tersebut. Sementara, pertanyaan saya di atas (di bagian judul) muncul bertepatan dengan Hari Lahir Pancasila. 1 Juni merupakan tanggal yang ditetapkan Presiden Joko Widodo pada tahun 2016 lewat Kepres no. 24/2016.
Memang, hari ini masih tidak sedikit individu dan kelompok yang menentang dan menegasikan Pancasila sebagai dasar negara. Yang paling segar di di kepala kita tentu tidak lain adalah ide soal Khilafah Islamiyyah. Pancasila sebagai asas tunggal seringkali dirongrong oleh ide politik agamis tersebut. Sehingga, tidak sedikit yang menelan propaganda atas nama agama tersebut. Puncaknya, meski bukan akhir, pada tahun 2017 salah satu ormas yang selaras dengan ide tersebut resmi dibubarkan oleh pemerintah. Tentu, didukung oleh ormas yang paling garang mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara (baca:NU).
- Iklan -
Saya mengasumsikan bahwa pertanyaan seputar halal-haram menggunakan Pancasila sebagai dasar negara sudah selesai. Kita semestinya tidak selalu masuk dalam arus itu. Sebab, yang menjadi pokok bahasan utama adalah soal ideal atau tidak. Yang dicari adalah yang bisa mengakomodir seluruh lapisan masyarakat atau tidak. Sehingga, ketika sudah bisa mengakomodir seluruh kepentingan lapisan masyarakat saya kira hal tersebut bisa diterima. Maka, pada titik itulah Pancasila yang dianggap dapat mengakomodir kebutuhan seluruh masyarakat(terlepas dari ras, suku, serta budaya) bisa diterima.
Namun, tetap dengan catatan tidak boleh ada pengkultusan final dan ortodoksi yang pada puncaknya membuat Pancasila anti kritik. Jika dalam ranah konsepsi Pancasila bisa dinggap sebagai sesuatu yang sangat idel. Maka, kritik di sini hendak dilayangkan pada taraf implementasi. Sehingg, kritik di sini masih relevan sampai kapanpun. Kritik di sini tidak hendak membahas kebolehan(atau halal-haram) penggunaan Pancasila. Kritik di sini lebih dari kedua hal tersbut. Ia hendak mempertanyakan sejauh mana, nilai-nilai ideologis dalam Pancasila sudah terinjeksi dalam tataran kehidupan.
Selanjutnya, jika memang ada satu konsepi yang dinilai melebihi Pancasila yang mampu menerima seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali, sah-sah saja untuk diterapkan. Bagaimana dengan ide Khilafah Islamiyyah di atas? Saya kira tidak memungkinkan. Selain karena bersumber dari satu doktrin keagamaan tertentu, ide tersebut rawan ditolak oleh penganut agama lain karena persoalan teologis. Memang Islam menjadi agama yang mayoritas, namun ada banyak agama lain yang aspirasinya wajib didengar juga.
Semisal suatu saat ada yang merumuskan hal baru yang lebih segar dari Pancasila, tidak salah untuk kemudian masuk meja operasi. Sejauh mana hal itu dapat diproyeksikan bakal menggantikan Pancasila yang mungkin dianggap sudah kurang relevan. Sehingga, pembaharuan dalam ranah ini adalah hal yang niscaya. Selama itu tadi, tetap memegang nilai kebersamaan dan menolak seluruh hal yang menjurus ke dalam perpecahan. Beda dengan ide Khilafah Islamiyyah yang sejak awal mula sudah menyulut perpecahan dan keributan.
Seumpama, Pancasila diletakkan di meja ijtihad baru, yang kemudian dicarikan hal-hal yang lebih segar darinya, maka tidak salah. Namun, saya kira, sampai saat ini yang patut untuk disulam tambal(kritik) adalah perihal implementasi dari nilai Pancasila itu sendiri. Sejauh mana nilai-nilai itu sudah termanifestasi. Jika memang telah menyatu dengan lapisan masyarakat dan nilai Pancasila sangat masyuk di tengah-tengah, maka rasa-rasanya tidak memungkinkan untuk menggantinya. Demikian. Salam Pancasila!
-Moh. Rofqil Bazikh mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, tinggal di Bantul.