Oleh: Ali Yazid Hamdani
Dewasa ini, laju perkembangan teknologi tidak dapat dibendung pesatnya, banjir informasi pun demikian deras tidak dapat dihentikan, berbagai layanan begitu mudah dan murah berserakan. Desas-desus pertarungan ideologi turut hadir dan menjadi warna di tengah keramaian jagat maya, tak ayal platform media sosial dijadikan sarana ampuh sebagai medan pertempuran gejolak pemikiran yang berkontestasi menyuarakan ideologi yang dipunya. Hal demikian pun berpengaruh pada pola dakwah yang dilakukan sekarang.
Dari yang semula dakwah bertatap muka secara langsung (face to face) bergeser sedikit demi sedikit ke dakwah virtual kekinian / via daring. Baik itu berupa video, audio, maupun gambar, sama-sama masif digalakkan. Sehingga dakwah virtual lebih mendapat tempat di hati pemuda atau milenial sebutan kekiniannya sebagai native digital yang sudah sejak kecil memang dicekoki dan tidak asing dengan dunia teknologi digital yang demikian canggihnya.
Namun, ada yang sangat disayangkan dari beberapa pendakwah yang masih sangat getol dan memaksakan diri berupaya menyeragamkan madzhab, paham, aliran, amaliah umat Islam yang ada, misal saja praktek keberagamaan yang bersentuhan dengan kearifan lokal dalam konteks keindonesiaan seperti halnya pelaksanaan Grebek Maulid, sedekah laut, dan beragam budaya yang masih lestari lainnya dianggap keluar dari rel Islam.
- Iklan -
Mereka sebisa mungkin berupaya apa yang diyakini itulah Islam yang paling benar, sementara yang bertentangan dengan paham yang dianut dianggapnya salah. Sehingga tidak jarang terlontar ujaran kebencian, umpatan kata yang sarat akan tudingan sesat-menyesatkan, ke kanan sedikit bid’ah, ke kiri sedikit kafir, dan hampir kesemua tindakan yang dianggapnya berbeda dengan apa yang dipahaminya berarti salah, titik.
Padahal dalam berdakwah Alquran telah menawarkan beberapa formula yang harus dipegang, paling tidak ada tiga pola metode dakwah (lihat, QS. An-Nahl, ayat 125); pertama, bil hikmah, yakni melakukan dakwah secara bijak, dapat mengetahui situasi dan kondisi yang dapat diterima oleh setiap lapisan masyarakat. Paling tidak tetap menjunjung tinggi nilai toleransi dan saling menghargai, menebar kedamaian untuk kemaslahatan sosial; kedua, al-mau’idhoh hasanah, memberikan nasihat-nasihat yang baik, santun, tidak serta merta menghakimi pihak yang selisih paham, atau lebih ekstrem lagi menudingnya bid’ah, sesat, bahkan kafir; ketiga, wa jaadilhum billatii hiya ahsan. Dakwah berupa dialog atau tukar pikiran dalam rangka menjernihkan pemahaman tanpa ada ketegangan.
Saya begitu heran dengan juru dakwah yang begitu mudah menodong bid’ah sana-sini, upaya takfir, mengumpat, menebar benih ujaran kebencian, bukankah ini begitu memunggungi nilai-nilai yang terkandung dalam prinsip dakwah dan nilai-nilai keIslaman? alih-alih membuat damai, sedikit berbeda paham saja berbuah kegaduhan. Sedikit-sedikit kafir, ke kanan dikit ahlu bid’ah, ke kiri dikit halal darahnya. Ya salaam, haruskah umat Islam ini seragam dengan apa yang diinginkan sesuai pahamnya?
Seharusnya dakwah dipahami untuk mengajak pada kebaikan dengan cara yang bajik dan bijak. Setidaknya untuk memperkenalkan bahwa “ini loh Islam”, risalah damai yang mampu menyejukkan hati setiap mahlukNya, yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan (‘adalah), kesamaan (musawah), kesepahaman (kalimatun sawa’), moderasi (wasathiyah), toleransi, (tasamuh), bersifat universal dan yang paling penting haruslah bersanding dengan spirit kemansuiaan bukan memunggunginya.
Bukankah Rasul telah memberikan teladan yang sebaik-baiknya dalam praktek kehidupan, baik dalam bersikap maupun bertutur kata, tidak pernah sekalipun muncul perkataan mengumpat dan memuat unsur kebencian darinya, tidak pernah sekalipun menyakiti siapapun yang bersamanya, bahkan malah sebaliknya, menjadi rahmat untuk seluruh mahlukNya.
Sang syaikh al-Akbar Ibn Arabi turut menyarankan dalam kitabnya Al-Futuhat Al-Makkiyah akan pentingnya sifat mudaaraat demi keberhasilan jalan dakwah, yaitu sikap ramah dan lemah lembut untuk mengambil hati orang lain. Lalu beliau mendasarkan sikap ini pada beberapa firman Allah dalam Alquran. “Maka disebabkan rahmat dari Allah lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka (Q.S Ali Imran: 159)”
Bagi Ibn Arabi lemah lembut dalam ayat ini adalah merendahkan diri, ramah, satun, dan bersiasat. Hal demikian kentara pada Tuhan: Dia tetap memberikan rezeki-Nya dan menunda pembalasan kepada orang kafir meskipun mengingkariNya.
Hal ini juga dicontohkan oleh seorang Nabi Musa dan Harun yang diutus untuk menghadapi Raja Fira’un yang meskipun congkak nan sombongnya luar biasa hingga mendaku diri sebagai Tuhan agar tetap berbicara lemah lembut kepada Raja Fir’aun. (QS. Taha: 43-44). Nah lemah lembut di sini sepadan atau searti dengan mudaaraat yang merupakan kunci sukses untuk memperngaruhi orang lain.
Inilah yang harus kita pegang, teladan dakwah ala Rasul dan Nabi-nabi terdahulu yang menekankan dakwah damai yang menebar kasih sayang dengan cara lembut. Segala bentuk hujatan, umpatan, menebar kebencian dan menghakimi yang liyan kafir, bid’ah sesat hingga menuai perpecahan itu bukan ajaran Islam.
Islam menjunjung tinggi persatuan dan menghargai perbedaan, karena perbedaan adalah niscaya yang merupakan kehendakNya (lihat, QS. Al-Hujarat ayat 13), tidak pernah sekalipun Alquran menyuruh kita untuk bertikai, bahkan Rasul mengatakan perbedaan pendapat ummatnya adalah rahmat, sejauh tidak memunggungi nilai yang terkandung dalam Islam maupun kemanusiaan.
Di ayat dan hadis mana saja, tidak satupun membenarkan tindakan demikian meskipun berdalih demi Allah dan RasulNya. Islam adalah risalah damai yang Rahmatan lil ‘Alamin. Silahkan cek dalam asma al-husna misalnya Allah mengenalkan diriNya sebagai Sang Maha Pengasih dan Maha Penyayang (ar-Rahman ar-Rahim) dalam ummul al-Furqan juga dimulai dengan asma Welas-asihNya, tidakkah ini menjadi bukti bahwa Allah lebih mendahulukan sifat Welas-asihNya daripada sifat Penghukum dan PengazabNya, betapa banyak terhampar luas ayat-ayat rahmah daripada ayat-ayat perang. Hal ini tidak lain hanyalah untuk menunjukkan bahwa Allah lebih menghampar-luaskan ampunan daripada murkaNya.
Jangankan mengumpat dan berkata kasar di depan publik yang sangat berpotensi menyuburkan bibit-bibit kebencian, dan tindakan tak terpuji lainnya, berburuk sangka saja sangat dilarang padahal ini jelas secara diam-diam membicarakan orang (objek ghibah) di belakangnya tanpa sepengetahuan pihak terkait, bahkan larangan keras ini diilustrasikan sama halnya memakan daging saudaranya sendiri yang telah mati. (lihat, QS. al-Hujarat ayat 12) Apalagi berlaku demikian?
Dari sekelumit penjelasan di muka, apa salah jika beberapa masyarakat muslim Indonesia menggegap-gempitakan acara maulid Nabi riang gembira dengan kalimat-kalimat tayyibah dan puja-puji cinta kepada rasul? Sejauh tidak menyalahi syariat dan tidak ada unsur menyekutukan Allah, apa yang salah? Begitu pun apa yang diyakini seorang hamba dalam upaya taqarrub kepada Allah melalui beragam tindakan keberagamaan yang boleh jadi bersinggungan dengan kearifan lokal saya rasa bukan menjadi masalah sejauh tidak menyalahi aqidah, memunggungi syariat, dan tidak merugikan pihak lain. Sekali lagi itu dapat dinyatakan selaras dengan syariat Islam.
Wallahu ‘alam bi al-shawab.
-Penulis lepas di beragam media online, Alumni Pondok Pesantren Al-Mashduqiah