Oleh Hamidulloh Ibda
Literasi dalam keluarga dapat dikuatkan dan dibudayakan melalui dongeng pada anak. Selain sekolah dan masyarakat, keluarga berperan strategis menumbuhkan budaya literasi pada anak, khususnya melalui dongeng. Selama ini, budaya mendongeng mulai punah, bahkan anak-anak menganggap dongeng merupakan cerita mistis, klenik, gugon tuhon, dan menakutkan.
Stigma ini lahir karena orangtua tak mengajarkan dongeng sebagaimana mestinya. Dongeng diidentikkan dengan hal-hal mistis yang akhirnya anak salah kaprah memahaminya. Sebagaimana Bunanta (2017) menyatakan dongeng merupakan cerita rakyat dan bukan cerita fantasi. Meski dongeng bagian dari cerita rakyat yang kebenarannya fiktif dan imajinatif, namun di dalam dongeng banyak nilai-nilai pendidikan karakter yang bermanfaat bagi anak.
Lewat dongeng, anak mendapat pengetahuan tentang legenda, budaya, tradisi, nilai-nilai luhur, dan kisah heroisme pendiri bangsa. Anak juga akan tahu karakter orang baik, ikhlas, jahat, culas, pembohong, yang mengantarkan mereka menjadi pribadi matang, dapat memilih menjadi manusia baik dan berakhlak lewat ajaran tersirat dalam dongeng tersebut.
- Iklan -
Ironisnya, tradisi mendongeng di berbagai negara mulai punah. Survei Disney di Inggris menemukan sepertiga pada 1000 orangtua di sana masih sempat membacakan cerita pada anak-anak sebelum tidur (Hapsari, 2017: 22-23). Di Indonesia sendiri tak sebagus itu, karena kesibukan orangtua menjadi alasan mereka tak sempat membacakan dongeng yang harusnya dinikmati anak-anak. Padahal, selain lewat buku, mendongeng dapat dilakukan dengan alat peraga, video, maupun gambar. Artinya, tiada alasan bagi orangtua untuk tak mendongeng pada buah hatinya.
Ribuan orang di Inggris di atas dan di Indonesia memang belum maksimal meluangkan waktu untuk mendongeng pada anak. Padahal, dongeng merupakan salah satu wahana dalam membangun karakter bangsa. Karakter yang tersimpan pada dongeng tak sekadar membantu proses olah rasa, namun juga olah hati, olah pikir bahkan olah raga. Sudah seharusnya dongeng dihadirkan kembali di dalam rumah, khususnya sebelum anak-anak tidur.
Pendidikan Karakter Lewat Dongeng
Dongeng sebagai salah satu khazanah budaya Nusantara sangat erat dengan nilai-nilai karakter. KBBI V (2019) mendefinisikan dongeng sebagai cerita yang tak benar-benar terjadi, terutama tentang kejadian zaman dulu. Dongen merupakan karya sastra lama yang berisi cerita luar biasa yang dapat menginspirasi manusia. Sebagai salah satu jenis karya sastra lama, dongeng menyimpan nilai intrinsik dan ekstrinsik.
Pusat Bahasa (2003:167) menyebut salah satu unsur intrinsik dalam dongeng yaitu memiliki amanat atau pesan moral. Dongeng menjadi wahana membentuk karakter anak karena mengandung nilai budi pekerti luhur. Dongeng hadir tak sekadar untuk bercerita, namun memotivasi, mengedukasi, dan membuka jendela kecerdasan anak.
Sulistyarini (2006) menjelaskan beberapa nilai-nilai luhur pada cerita rakyat. Dari aspek individual, ada nilai kepatuhan, keberanian, rela berkorban, jujur, adil, bijaksana, menghormati, menghargai, bekerja keras, menepati janji, balas budi, rendah hati, dan hati-hati dalam bertindak. Sedangkan nilai-nilai moral sosial terdiri atas bekerjasama, suka menolong, kasih sayang, kerukunan, suka memberi nasihat, peduli nasib orang lain, dan suka mendoakan orang lain.
Dalam riset Kastanya (2018), dongeng memiliki beberapa dampak bagi anak. Pertama, meningkatkan daya imajinasi dan membentuk hati nurani anak. Kedua, meningkatkan kecerdasan anak. Ketiga, menjaga interaksi sosial. Keempat, meningkatkan pengetahuan anak. Kelima, meningkatkan kemampuan berbahasa, komunikasi verbal, dan minat baca pada anak. Keenam, menanamkan budi pekerti.
Dongeng juga terbukti menjadi wahana membangun karakter bangsa. Buktinya, tokoh-tokoh dunia pada masa kecilnya sangat dekat dengan dongeng. Seperti Saddam Husein, mantan presiden dan pemimpin besar Irak sejak kecil terdidik melalui dongeng. Buku Saddam Husein bertajuk Man and The City (2002) di dalamnya menegaskan kesuksesan Saddam sangat dipengaruhi dongeng yang dibacakan ibunya saat ia kecil.
Bung Karno Sang Ploklamator Indonesia juga sama. Seokarno dalam buku biografinya diceritakan saat kecil sudah terdidik lewat dongeng, khususnya melalui tokoh-tokoh pewayangan. Bahkan, Soekarno kecil bercita-cita seperti Arjuna dan itu terbukti saat ia besar menjadi tokoh dunia (Samsudin, 2017). Dari hal itu, orangtua harus sadar, selain mendapat asupan gizi karakter dari sekolah, keluarga dan iklim di rumah harusnya turut mendukung pembangunan karakter bangsa melalui membiasakan mendongeng pada anak.
Hal itu sesuai amanat Perpres Nomor 87 tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter yang harus dikuatkan di dalam keluarga lewat budaya literasi mendongeng. Amanat Perpres 87 ini ada 17 karakter yang menjadi bagian untuk mewujudkan Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM). Di era Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0 saat ini, kompetensi, literasi, dan karakter harus diintegrasikan di rumah dan sekolah karena menjadi kunci kemajuan bangsa Indonesia.
Membudayakan Literasi Lewat Dongeng
Kunci memajukan literasi secara umum melalui pembelajaran, pembudayaan, dan keteladanan. Orangtua harus sadar akan peran membangun budaya literasi dan sebagai contoh atau teladan hidup yang literat di rumah melalui tradisi mendongeng. Di Indonesia sendiri, orangtua yang pernah mendapat dongeng dari orangtuanya dulu tentu tak asing dengan Semar, Togog, Bathara Guru, Keong Mas, Malin Kundang, Timun Mas, Sangkuriang, Bawang Merah dan Bawang Putih, Kancil Mencuri Timun, dan lainnya.
Waktu saya kecil pun sama, dongeng tak hanya dibacakan sebelum tidur, namun dibacakan pula saat saya tidur di musala atau masjid selama bulan Ramadan. Cerita yang hadir beragam, mulai dari cerita dusun/desa, cerita perjuangan pahlawan melawan penjajah hingga cerita dari Timur Tengah seperti Abu Nawas, Hasan-Husen, Kapal Nabi Nuh, dan lainnya.
Berkembangnya roda zaman menjadikan budaya mendongeng makin punah. Selain minimnya kesadaran orangtua, anak-anak era kini lebih sibuk bermain gawai daripada membaca atau dibacakan dongeng. Meskipun ada, bahan bacaan dongeng sudah diimpor dari negara lain. Seperti contoh Upin Ipin, My Little Pony and Equestria Girls Official Site, Littlest Pet Shop, Martha Speak, dan lainnya. Sosok yang dikenal anak juga tak lagi seperti Sangkuriang, Bawang Merah dan Bawang Putih, namun sudah bergeser pada sosok Frozen, Pinkie Pie, Rarity, Rainbow Dash, Twilight Sparkle, Fluttershy, dan lainnya.
Grup band Wayang, tahun 1999 pernah merillis lagu Dongeng yang mengajak masyarakat mendongeng pada anak sebelum tidur. Tak hanya mengantarkan anak tidur, namun dongeng hakikatnya membuka kepekaan, kedekatan emosional, menjadi wahana komunikasi antara orangtua dan anak. Ketika anak dibacakan dongeng mereka lebih diperhatikan dan merasa bahwa orangtuanya benar-benar menjadi guru biologis sekaligus ideologis.
Dalam ilmu hipnoterapi, ketika anak-anak sebelum tidur mendapat sentuhan, kata-kata atau dongeng positif, di benak mereka akan positif pula. Jadi mendongeng menjadi jembatan emas dalam menumbuhkan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual. Anak-anak yang sering dibacakan dongeng dengan yang tak pernah tentu kecerdasannya berbeda.
Dongeng sebelum tidur harus dihadirkan kembali dengan beberapa cara. Pertama, orangtua harus sadar akan peran sebagai guru pertama bagi anak-anaknya. Pemenuhan kebutuhan pengetahuan, literasi, dan penanaman karakter pada anak adalah tugas pokok orangtua, bukan hanya tugas guru di sekolah atau mentor bimbel. Kedua, pembudayaan mendongeng melalui bahan bacaan cetak maupun siber, alat peraga, gambar, wayang maupun gawai perlu disesuaikan dengan perkembangan anak. Ketiga, membuat jadwal dongeng. Dapat seminggu lima kali bahkan setiap malam dengan bergantian antara anak, bapak, dan ibu.
Keempat, inovasi materi dongeng sesuai perkembangan zaman. Kontennya dapat dibagi dari dongeng lokal, nasional, dan internasional, karena saat ini anak-anak sangat cepat menerima informasi tokoh-tokoh kartun dari film atau Youtube. Kelima, mendesain kamar anak dengan berbagai foto, lukisan, atau gambar 3D dengan tokoh-tokoh yang ada pada dongeng. Tujuannya agar mereka selalu ingat karakter yang melekat pada tokoh-tokoh dalam dongeng tersebut.
Keenam, membuat perpustakaan mini di dalam kamar yang berisi buku-buku dongeng, legenda, cerita rakyat yang didesain bernuansa literasi yang menggembirakan. Praktik baik literasi di rumah harus menyelaraskan lingkungan rumah yang super menyenangkan. Solihin, dkk (2016:16) menyaratkan lingkungan belajar yang baik mengajarkan anak kemandirian, tata krama, dan orangtua harus mendampingi anak belajar. Salah satu bentuknya yaitu budaya mendongeng dari orangtua pada anak secara kontinu.
Ketujuh, memberi kesempatan anak untuk mendongeng sesuai kesukaan mereka. Metode ini cocok untuk usia TK/PAUD, dan SD/MI karena mereka sangat senang ketika diberi kesempatan untuk mendongeng atau bercerita, apalagi diberi apresiasi berupa hadiah.
Lewat praktik baik mendongeng seperti ini, budaya literasi di dalam keluarga akan hidup. Selain mendekatkan anak pada buku, karya sastra lama, anak-anak juga mendapat penguatan karakter lewat dongeng yang dibacakan sebelum tidur. Sebab, mendongeng sekali sebelum tidur lebih baik daripada anak bermain gawai selama sehari penuh.
Dongeng membuka cakrawala berpikir anak dalam menyelami karakter-karakter tokoh di dalamnya yang akan menjadi pijakan di masa mendatang. Dongeng sebelum tidur bukan mematikan namun justru menghidupkan nalar berpikir dan berimajinasi pada anak. Lalu, kapan keluarga membudayakan literasi melalui dongeng sebelum tidur?
-Penulis adalah Dosen, PJs Wakil Rektor I Bidang Akademik dan Kemahasiswaan INISNU Temanggung.