Oleh S. Prasetyo Utomo
PADA mulanya, budaya literasi menyentuh kemampuan membaca dan menulis karya sastra. Teks sastra terus berkembang tiap hari sejak sejarah sastra Indonesia dimulai tumbuh sampai hari ini. Seyogianya LP Ma’arif NU tak begitu saja membiarkan para siswa memilih bacaan. Begitu juga dengan teks sastra yang melimpah bagai air bah dalam media daring menggenangi seluruh ruang literasi anak-anak kita, tentu perlu seleksi yang selaras dengan perkembangan spiritual mereka.
Saya harus memulai membentangkan kesadaran akan ragam puisi yang selaras dengan religiusitas para siswa dan layak dijadikan media pembelajaran. Ragam puisi berkembang sejak zaman Balai Pustaka sampai hari ini mengalami dinamika tema, tipografi, diksi, suasana, dan imaji. Akan tetapi, tak seluruhnya memberikan kesadaran katarsis bagi religiusitas siswa.
Kehadiran raja penyair Pujangga Baru, Amir Hamzah, dengan puisi-puisi religius yang transenden, menggugat kesadaran manusia akan keilahian, bisa menjadi pilihan para siswa di bawah naungan LP Ma’arif NU. Dua kumpulan puisinya, Nyanyi Sunyi dan Buah Rindu menyuarakan kesadaran transendental yang sangat sepadan dengan perkembangan spiritual para siswa.
- Iklan -
Kesadaran transendental itu muncul dalam sebagian puisi Chairil Anwar, seperti “Doa” dan “Isa”. Si penyair binatang jalang yang ekspresif, dengan diksi yang terpilih ini, memang diakui sebagai pelopor Angkatan 45, tetapi hanya sebagian puisi yang diciptakannya yang menyingkap transendensi. Pada Angkatan 66 kita menikmati beberapa puisi Taufiq Ismail seperti “Dengan Puisi, Aku” memberikan katarsis tentang kesadaran hidup manusia di tengah kekuasaan Sang Pencipta. Puisi religius itu tersisip di antara puisi protes sosial politik pada rezim yang lalim Orla yang diciptakannya.
Hati saya terhibur dengan puisi-puisi Apip Mustopa yang memberi kesadaran akan kerusakan tatanan sosial, yang mengingkari rahmat keilahian dalam hidup. Ia bisa memberikan satire dalam larik-larik puisinya seperti “Tuhan Telah Menegurmu”. Yang cukup menggembirakan adalah kehadiran Gus Mus, pengasuh Pondok Pesanren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang. Dengan bahasa satire, ia meledek religiusitas dalam kehidupan sehari-hari, dengan puisi “Input dan Output”:… Di majalah-majalah dan koran-koran/berkilo-kilo berita dan opini Tuhan/dengan disain nafsu dimuntah-jejalkan/melalui kolom-kolom rapi/ke ruang-ruang kosong tengkorak/orang-orang tua dan anak-anak//Di hotel-hotel dan tempat-tempat hiburan/beronggok-onggok daging dan virus/dengan bungkus sutera disodor-suguhkan/melalui saluran-saluran resmi/ke berbagai pribadi dan instansi/untuk dinikmati dengan penuh gengsi//”.
Dengan diksi yang terpilih, mempertimbangkan kekuaatan imaji dan suasana, Abdul Hadi W.M. dan D. Zawawi Imron menghadirkan puisi-puisi religius yang menyentuh empati kemanusiaan. Kretivitas mereka diteruskan Ahmadun Yosi Herfanda, Acep Zamzam Noor, dan Abdul Wachid B.S. Budaya literasi larut dalam ruang kehidupan manusia sehari-hari.
***
RAGAM sastra novel memberikan banyak pilihan dalam berobsesi terhadap religiusitas yang selaras dengan perkembangan spiritual siswa di bawah naungan LP Ma’arif NU. Mereka dapat mengapresiasi novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang ditulis Buya Hamka dengan napas keislaman dalam ruang kehidupan adat dan budaya. Dapat pula mereka membaca novel Ahmad Tohari, Kubah yang mengekspresikan religiusitas dalam ruang kehidupan sosial-politik. Selain itu, terdapat novel-novel religius yang dikemas dalam napas populer, seperti karya Habiburrahman El Shirazy, Asma Nadia, dan A. Fuadi.
Dalam ragam drama, teks sastra yang membuka cakrawala estetika dan spiritualitas masih sangat terbatas, seperti Iblis karya Mohammad Diponegoro yang mengekspresikan religiusitas dalam ruang kehidupan moral. Teks-teks drama yang lain lebih berkutat pada persoalan-persoalan pembebasan hegemoni kekuasaan, konflik sosial, keadilan, dan kesetiaan.
Dalam buku Horison Sastra Indonesia 2: Kitab Cerita Pendek, teks cerpen yang menyingkap religiusitas, di antaranya “Jadi Santri” (Djamil Suherman), “Robohnya Surau Kami” (A.A. Navis), dan “Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat” (Danarto). Tema teks-teks cerpen lain yang dibentangkan dalam kitab ini sungguh sangat beragam, dengan perkembangan style yang menandai pergeseran estetika dan penjelajahan tema.
Teks-teks cerpen tak pernah habis dicipta, dengan kemahiran para pengarang untuk menghadirkan motif, struktur narasi dan kisah. Kumpulan cerpen Gus Mus, Lukisan Kaligrafi (Penerbit Buku Kompas, 2003) yang berpijak pada kehidupan pesantren, sebagai narasi sufisme, memberi ruang kehidupan yang membuka tafsir spiritualitas dan religiusitas dalam budaya literasi. Kumpulan cerpen ini sangat tepat dimanfaatkan dalam pembelajaran, tugas, dan evaluasi para siswa di bawah naungan LP Ma’arif NU.
***
PADA esai, kita menemukan beberapa teks yang ditulis untuk mengangkat persoalan manusia dari sudut pandang religius dan spiritual. Dalam kitab Horison Esai Indonesia, terdapat tulisan-tulisan Hamka (“Seni dan Cinta”), KH Wahid Hasjim (“Fanatisme dan Fanatisme”), Danarto (“Menjual Tuhan dengan Harga Murah”), Gus Dur (“Bercocok Tanam di Surga”), Jalaluddin Rakhmat (“Prinsip-prinsip Epistemologi Islam”) dan Mohamad Sobary (“Anak Nakal”). Esai-esai itu, dengan subjektivitas dan sudut pandang pribadi penulis, memancarkan religiusitas dan spiritualitas dalam ruang kehidupan manusia Indonesia.
Kesadaran menulis teks sastra dan teks esai dalam budaya literasi kita sesungguhnya merupakan langkah awal yang dapat diarahkan untuk mencapai kemampuan siswa mengolah informasi dan pengetahuan untuk mempertajam kecakapan hidup. Kemampuan mengevaluasi, merefleksikan, memprediksi, serta menyerap nilai-nilai, pada hakikatnya bermanfaat untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari. Budaya literasi ditumbuhkan untuk menjawab tantangan zaman. LP Ma’arif NU perlu mempersiapkan teks sastra dan teks informasi yang membawa para siswa tidak hanya mahir membaca dan menulis selaras dengan atmosfer spiritualitas dan religiusitas keislaman, tetapi juga membentuk karakter dan etos yang mampu menjawab tantangan zaman. Budaya literasi hendaknya melahirkan sumber daya manusia yang menjadi agen penggerak pembangunan, dengan napas spiritualitas dan religiusitas. Kalau saya menggunakan bahasa Gus Dur dalam esai “Bercocok Tanam di Surga”, “sikap hidup profesional adalah tuntutan Islam, sesuai dengan penghargaannya kepada profesi itu”.
***
– S.Prasetyo Utomo, sastrawan, doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes.