Oleh Irfan S. Fauzi
Ramadhan hingga kelak Syawal adalah bulan dengan gelas penuh warna-warni. Di Indonesia, minuman berwarna pada bulan suci punya riwayat tak pendek. Paula Gomes merekam tabiat menyuguhkan sirop pada bulan suci bagi umat islam dalam novel Sudah, biar saja… (1993). Gomes lahir di Batavia, Hindia Belanda, tahun 1932. Ayahnya Belanda totok sedang ibunya Indo. Novel yang oleh Beb Vuryk dikomentari “amat pribadi” ini bisa diduga adalah percik ingatan Gomes atas masa kecilnya. Bagaimana aku-tokoh, seorang anak Indo, menjalani masa kecil, diusir dari tanah kelahiran, hingga baru bisa “pulang” sekira 20 tahun berselang.
Tahun-tahun sebelum Jepang menyerbu jadi tahun-tahun gembira. Dengan babu atau jongosnya, yang tentu saja pribumi, aku-tokoh begitu akrab. Para babu selalu memuji, membuat tentram, dan tiap lebaran bakal mengajak aku-tokoh ke kampung mereka. “Kami mengenakan pakaian yang paling bagus. Karena ini pesta. Masa berpuasa sudah dilewati. Ada kembang-kembang di atas meja yang ditutupi. Kami minum sirop merah jambu dan makan kue-kue kering serta para tetangga berdiri menonton di ambang pintu.” Di novel, gelas yang berisi air merona jadi tanda lebaran adalah suka cita lintas kelas dan agama.
Ramadhan jadi titik mula sirop berjaya. Ajakan-anggapan berbuka dengan yang manis-manis membuat sirop jadi (salah satu) pilihan unggul. Apalagi karena ia tak cuma bisa dihidangkan “seorang diri”, tapi juga bercampur dalam es buah, es degan, dll. Jelang buka puasa, warna-warna mejeng di atas meja makan rumah-rumah dan meja-meja pedagang pinggir jalan. Momen ini dimanfaatkan dengan baik salah satunya oleh sirop Marjan yang begitu niat menggarap iklan selama Ramadhan hingga Syawal. Seri iklan yang mereka kerjakan selama bertahun-tahun memiliki benang merah. Iklan kerap menggunakan tokoh bocah, anak muda, dan orang tua. Konflik terjadi karena latar belakang berbeda atau suatu masalah dari luar. Pada akhirnya, di episode iklan terakhir, kita melihat kemenangan adalah kedamaian “rumah”, entah itu kampung atau komunitas semacam. Dalam iklan Marjan 10 tahun terakhir, rumah jadi bagian cerita tapi tak jadi fokus tunggal. Pada iklan rentang 2010-2015, kampung malahan jadi latar yang kental terbayang. Memberi penekanan bahwa kemenangan pada akhirnya berarti perjalanan pulang.
- Iklan -
Pada masa 90-an, sirop juga sudah mengunci gelas-gelas “suci”. Iklan sirop ABC di sampul belakang majalah Kartini edisi 16-29 Maret 1992 menunjukkan kesungguhan. Iklan di sampul luar-belakang, sehalaman penuh, dan berwarna jelas berbiaya lebih mahal jika dibanding iklan di halaman dalam. Sangat mungkin iklan sirop selama ramadhan telah dimulai pada tahun-tahun sebelum ini.
Sajian utama adalah Orange Squash dibarengi 6 gambar varian lain dengan ragam warna. Sirop memungkinkan buah hadir di rumah dalam bentuk cairan berwarna. Lebih praktis ketimbang membuat jus. Di halaman iklan, kita melihat sebuah keluarga jelang berbuka hendak menikmati sirop. Bapak terlihat baru pulang kantor, dua anak laki dan perempuan mungkin habis mandi, dan ibu menuang sirop, menyaji. Komposisi keluarga ini mengingatkan kita pada propaganda keluarga ideal ala Orde Baru. Terbaca di iklan: “Ibu-ibu bijaksana yang selalu memperhatikan keluarganya hanya akan membeli yang terbaik, mereka memilih Syrup ABC.” Keluarga kelas menengah ini jelas berada di perkotaan. Penggunaan “syrup” alih-alih “sirop” menekankan cita rasa internasional—kalau bukan ketidaktahuan. Belum terlihat bayang kampung halaman di iklan. Bingkai rumah masih berada di latar masa kini belaka. Belum ada rumah masa silam yang memanggil pulang.
Pada bulan suci, gelas-gelas mengakrabi warna-warna cerah. Kopi, minuman cenderung berwarna pekat-kelam, barangkali nasibnya tak begitu mujur ketimbang hari-hari biasa. Nasibnya jadi “pucat”. Sebelum puasa, ada orang-orang terbiasa minum kopi di pagi hari, sebelum beraktivitas, demi mata bisa melotot sepanjang hari meski menurut Steven Miller, Neuroscientist di Uniformed Services University ot the Health Sciences di Maryland, waktu terbaik minum kopi adalah antara pukul 09.00-11.30 pagi (Putri, tirto.id, 11 Juli 2017/ diakses 14 April 2021, 18.30 WIB). Yang jelas, entah itu pagi sebelum berangkat kerja, kuliah, atau sekolah, atau menjelang siang, saat ramadhan, saat itu adalah waktu-waktu yang pantang buat menelan. Kopi, selain cenderung pahit sehingga tak mudah masuk anjuran-anggapan “berbukalah dengan yang manis”, juga mengalami dilema kapan ia bisa ditenggak di bulan suci ini.
Meminum kopi sehabis sahur terlihat berisiko. Asam lambung yang naik bukan hal baik untuk mengawali puasa. Selain itu, kekentalan kopi gampang membuat seseorang cepat haus. Dan kopi yang bersifat diuretik memicu naiknya produksi urine, bisa membuat seseorang dehidrasi (ditinjau dr. Yusra Firdaus, hellosehat.com, 21 Mei 2018/ diakses 14 April 2021, 18.37 WIB).
Usul minum kopi sehabis taraweh juga tidak terdengar sebagai gagasan bagus. Kebiasaan ini bertaruh dengan ruwetnya merem saat hendak tidur. Kafein masih berada di tubuh hingga mencapai 10 jam. Matthew Walker (2021) memberi gambaran, jika kita minum kopi pukul 07.30 malam, maka pada 01.30 dini hari, 50% kafein masih aktif bersikulasi di seluruh jaringan otak kita. Itu bukan hal mudah untuk mendapat sebuah tidur yang mulus. Apalagi jika kopi diminum lebih dari jam 8. Jadwal tidur berantakan berefek kekacauan domino pada hari berikutnya.
Memang bahkan sebelum Ramadan, banyak kedai kopi buka sampai malam hari. Tapi dulu, seiyanya seturut kartu pos yang dihimpun Olivier Johannes Raap dalam Pekerdja Di Djawa Tempo Doeloe (2013), orang-orang di Jawa sudah terbiasa minum kopi di pagi hari. Para penjaja kopi keliling beroperasi pada pagi hingga siang hari saja.
Di kartu pos, tak terlihat lampu minyak pada pikulan selayaknya yang terdapat pada tukang sate. Penjual sate kerap berdagang hingga petang. Terlihat di gambar, 4 lelaki, 1 wanita, dan 1 anak (perempuan) kecil. Olivier memberi keterangan, “ Di sebelah kanan, tampak seorang ibu bersama anak kecil. Umumnya, anak-anak kurang suka minum kopi karena rasa pahit yang sering kali secara tak sadar diibaratkan sebagai racun. Maka tak heran, anak-anak lebih menyukai rasa manis.” Dari gambar kita bisa menduga, masa itu, kopi adalah urusan orang dewasa dan mungkin juga cenderung milik lelaki.
Nasib kopi sudah mulai cerah pada saat lebaran. Indocafè memacak iklan di sampul dalam-belakang majalah Femina edisi khusus lebaran, 23 Februari – 1 Maret 1995. Dilihat adanya kuteks, pemegang stoples kemungkinan perempuan. Urusan menyaji minum masih “kewajiban” perempuan. Kalimat iklan: “Semarak Lebaran Bersama INDOCAFE”.
Melihat kata “semarak” pada iklan kopi mungkin terasa aneh. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua (1991) juga menyepadankan “semarak” dengan “meriah” dan “ramai”. Padahal hari ini, kopi terlanjur dicitrakan bak minuman sakti: dekat dengan renungan, syahdu, kedalaman, dan filosofi.
Salah satu biang keroknya adalah cerita pendek Dewi Lestari, “Filosofi Kopi” (1996), yang kelak difilmkan oleh Visinema Pictures. Di cerpen, salah satu tokoh membatin, “Ia (Ben—pen.) tidak sekadar meramu, mengecap rasa, tapi juga merenungkan kopi yang ia buat. Ben menarik arti, membuat analogi,hinga terciptalah satu filosofi untuk setiap jenis ramuan kopi.” Meracik kopi seolah jadi pekerjaan adiluhung yang penuh ketenangan. Tapi mungkin Indocafè memang cocok diminum saat semarak. Toh pembuatannya sekadar ditakar, tak serepot Ben dan barista lain alias seperti kebiasaan saya, peminum kopi sasetan. Tinggal digunting dan diaduk. Oh, jauh dari kedalaman!
-Penulis adalah esais.