Judul Buku : Psikologi tentang Pengalaman Religius
Penulis : Abraham Moslow
Penerjemah :AfthonulAfif
Penerbit : IRCiSoD
Cetakan : Pertama, Maret 2021
Tebal Buku : 152 halaman
ISBN : 978-623-6699-56-0
Ada yang menganggap bahwa sains dan agama merupakan sesuatu yang terpisah. Sains dianggap memiliki jalan tersendiri. Begitu juga dengan agama dengan jalannya sendiri. Agama dan sains pada hakikatnya bukan sesuatu yang mengalami “dualisme” fungsional. Dia senyatanya menjadi satu paradigma “kebutuhan” manusia untuk mencapai peradaban yang gemilang dan etis.
Salah satu penyumbang kesalahpahaman terhadap sains dan agama, sebenarnya terletak pada cara pandang seseorang dalam mendefinisikan agama dan sains, yang terkadang diambil dan dirumuskan dari pemahaman yang sempit. Dapat kita amini bahwa keduanya memilikiperbedaan dan persamaan. Akan tetapi hal ini bukan lantas dijadikan sebagai entitas yang saling berbenturan dan harus dipisahkan satu sama lain.
Agama menciptakan kepercayaan dogmatis sebagai suatu batasan-batasan yang tidak boleh dilampaui. Artinya, agama secara pengertian gamblang adalah sebagai pengatur dari segala aktivitas manusia. Sementara sains menekankan kepada pengetahuan rasional dan empiris, melepaskan dirinya dari nilai-nilai. Sains berupaya untuk terus melesat begitu cepat, melampaui waktu, melampaui batasan-batasan manusia. Dan mungkinsa jadi masa depan sains akan menciptakan “tuhan” (dunia artifisial). Dimana di dalam kondisi inilah manusia dibebaskan memilih tuhannya sesuai selera mereka masing-masing.
- Iklan -
Demikian dari pemahaman di atas, setidaknya akal sehat kita bisa merangsang kesadaran akan pentingnya interkoneksi antara agama dan sains. Sebagaimana dinyatakan oleh Abert Einstein: Ilmu pengetahuan tanpa agama lumpuh, agama tanpa ilmu pengetahuan buta. Maksudnya, dikotomisasi akan selalu melahirkan penyakit di dalam diri sains dan agama.
Pernyataan ini juga selaras dengan buku yang ditulis oleh Abraham Moslow ini.
Ia mengatakan bahwa sains tanpa agama akan hanya menjadi instrumen instrumen belaka, metode-metode, teknik-teknik. Tidak ada hal apapun kecuali hanya produk sains yang bisa digunakan sembarang manusia, entah baik atau jahat (jal 3)4. Begitu juga dengan agama yang sifatnya intuitif dan irasional, antirasional, nonrasional, hanya akan mengasilkan pengetahuan yang sudah final dan abadi. Ia memiliki kebenaran-kebenaran yang utuh, tetapi tidak memiliki hal apapun untuk dipelajari lagi.
Dalam hubungan konflik, keduanya menjadi sang atotoriter dan sama-sama mengakui titik keabsahannya. Hal ini akan berakibat pada ketidakseimbangan fungsi dari keduanya. Kondisi seperti ini juga mengaktifkan imajinasi kita akan gambaran kericuhan yang akan terjadi, pada masa di mana kita hidup tanpa agama dan sains.
Contoh kecilnya saja, media sosial. Di dalam kampung sosial (global village) setiap individu diberikebebasan tanpa adanya batasan-batasan, aturan-aturan dan nilai-nilai yang mengikat. Termasuk tindakan amoral dan tidak etis. Jika di dalam kondisi ini tidak ada peran agama sebagai wadah untuk membungkus pergerakan sains, agar bisa terarahkan kepada hal-hal yang positif. Maka saya boleh mengatakan bahwa media sosial adalah senjata paling nyata dari kejahatan di dalam aktivitas sehari-hari.
Kontroversi sains dan agama yang sekiranya berdampak negatif seyogianya kita hindarkan. Karena pada esensinya baik sains maupun agama bisa menjawab persoalan-persoalan yang ada dikehidupan kita, sesuai dengan kajian wilayah masing-masing.
Dalam konteks pergulatan antara sains dan agama yang tidak pernah menemukan jawaban eksak sebagai upaya menjebatani disonansi menuju wilayah yang lebih harmoni.
Buku berjudul “Psikologi tentang Pengalaman Religius” ini menawarkan konsepsi-konsepsi integratitif dan interkoneksi antara sains dan agama.
Penulis mencoba mendefinisikan ulang tentang agama dan sains yang saat ini sudah terkotak-kotak. Bahwa ketika kita membaca buku ini dalam situasi normal, dapat terjadi dalam psikoterapi yang mampu menyibak selubung-selubung dan membangkitkan wawasan.
Bagian dari proses ini adalah suatu pendidikan yang berbasis pengalaman bahwa kita membantu pasien untuk lebih menyadari tentang apa yang sedang dia alami tanpa pernah menyadarinya (hal 89).
Artinya, pembahasan dalam buku ini membantu kesadaran kita tentang suatu kondisi yang sebelumnya tidak pernah kita sadari. Seperti halnya hilangnya kesadaran akan pentingnya interkoneksi sains dan agama yang terjadi saat ini.
Mohammad Cholis
*Penulis Lepas di Garawiksa Institute Yogyakarta