Surat terbuka untuk Mas Menteri Nadiem Makarim
*) Oleh: Tjahjono Widarmanto
Yang saya hormati Mas Menteri Nadiem Makarim,
Izinkan lebih dulu saya memohon maaf karena lancang kata berkirim surat terbuka ini. Tak ada maksud menggurui atau maksud apapun kecuali sekedar berbagi udar rasa memperbincangkan jagat kebudayaan Indonesia yang luas itu. Jika surat ini memiliki kemanfaatan tentu saja itu semua berasal dari Allah semata, jika pun surat ini tak memiliki makna apa pun maka itu karena keterbatasan wawasan saya.
Peran kebudayaan sebagai salah satu variabel untuk menuju kemajuan peradaban manusia tak perlu lagi disangsikan. Dalam konteks ini, kebudayaan harus dipahami sebagai kata bergulir; sesuatu yang dinamis bahkan seperti sebuah organisme yang lahir, tumbuh, berkembang, bahkan bisa mati. Kebudayaan disadari sebagai “extra somatic” atau berada di luar tubuh manusia sehingga harus dipelajari bahkan dikoreksi terus menerus. Sayang sekali, acap kali, kebudayaan kadang hanya dimaknai dan direduksi menjadi kesenian semata.
- Iklan -
Masyarakat manusia merupakan wahana pengembangan kebudayaan. Manusia tumbuh bersama dengan kebudayaannya. Oleh karena itu, kebudayaan tidak dirasakan karena merupakan bagian dalam suasana keseharian masyarakat pendukungnya sehingga kebudayaan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor lain di sekeliling manusia, seperti geografi, politik, ekonomi dan tingkah laku sejarah. Pun demikian dengan manusia Indonesia. Manusia Indonesia menumbuhkan kebudayaan dengan stimulus dan interaksi dengan situasi sosial, kultural, geografis, sejarah, ekonomi, politik di sekelilingnya.
Untuk itu memajukan manusia dan masyarakat Indonesia harus dipahami pula kondisi kebudayaannya. Kondisi kebudayaan masyarakat Idonesia adalah kondisi plural. Itu berarti pluralitas masyarakat Indonesia meniscayakan adanya keragaman budaya. Berbagai entitas masyarakatnya berada dalam sebuah formasi sosial yang memiliki pola karakteristik dan relasi sosial yang memiliki keberagaman. Pengakuan dan apresiasi akan keberagaman sekaligus pemberian otonomi kebudayaan atas tiap entitas kebudayaan merupakan sebuah kebijakan yang selaras dengan ruh demokrasi.
Mas Menteri Nadiem yang bijaksana,
Kebudayaan merupakan ruang yang tak bertepi. Seseorang yang mencebur dalam konstelasi kebudayaan ibaratnya adalah Sang Werkudara atau Bimasena yang mencebur dan menggali samudera. Lebih-lebih kebudayaan yang berada dalam situasi yang amat plural seperti Indonesia. Pluralitas atau kemajemukan memiliki dua sisi. Sisi pertama adalah berkah, karena kemajemukan menyediakan kekayaan dan keaneka budaya dari wilayah Nusantara. Namun di sisi lain, kondisi kebudayaan yang plural menjadi kerentanan atau potensi keterbelahan.
Kebudayaan Indonesia yang plural ibarat hutan yang penuh penanda. Antara penanda satu dengan yang lain saling melakukan perajutan sekaligus perlawanan atau tandingan. Kebudayaan yang pada hakikatnya ruang pertentangan ideologis. Ideologis dalam makna cara memandang dunia. Konstelasi kebudayaan sesungguhnya kontestasi ideologi dengan menciptakan tesis, antitesis, artikulasi, reartikulasi, peneguhan, pembongkaran, saling berebut kuasa, pengaruh mempengaruhi, merajut sekaligus menghegomoni. Keberagaman kulural sadar atau tidak sadar menyebabkan ketegangan, hegomonik dan tarik menarik dari masing-masing ranah kultural. Misalnya tarik menarik antara nasionalisme-etnonasionalisme-globalisasi; ketegangan bahasa nasional-bahasa daerah –bahasa asing; ketegangan pop-tradisi-modernitas-globalitas, dan ketegangan lain.
Dari ketegangan-ketegangan di atas, yang paling mengemuka adalah isu identitas. Identitas kultural dan individu satu dengan yang lain menciptakan peluang untuk saling mempengaruhi bahkan “menguasai”. Penegasan identitas acap kali bertubrukan satu dengan yang lain sehingga setiap identitas berpotensi masuk dalam “kebergandaan identitas’. Identitas-identitas tersebut saling silang sengkarut, pengaruh mempengaruhi, bahkan berebut kuasa.
Melihat situasi tersebut harus dihindari kebudayaan yang sentralistik. Apalagi pendekatan represif dan militeristik untuk mengatasi perbedaan dan konflik sosial budaya. Proses dialog kebudayaan harus dikedepankan untuk membangun proses diametral. Harus dihindari paradigma stabilitas yang memandang bahwa perbedaan adalah hubungan konfliktual. Harus dibangunkan kesadaran bahwa semua budaya yang berbeda tersebut masing-masing memiliki instrumen-instrumen intelektual, simbolik dan jati diri yang memberi pandangan yang spesifik tentang realitas personal, historis dan kosmis yang tidak memiliki kecenderungan memaksa.
Dialog kebudayan tidak berarti meninggalkan kebudayaan dan identitas asal, akan tetapi memberi ‘pengakuan dan penghargaan’ terhadap ‘yang lain’. Memang tak bisa dipungkiri bahwa dalam sebuah interaksi simbolik antar budaya pasti dimungkinkan adanya gesekan. Namun, sebenarnya asal tidak ditunggangi oleh kepentngan ekonomi dan politik, tidak mungkin perbedaan kebudayaan mengarah kepada konflik sosial. Sejarah bangsa Indoesia sejak awal nusantara sudah membuktikan bahwa kebudayaan kita telah memiliki kemampuan untuk mengatasi gesekan tersebut.
Dengan adanya dialog kebudayaan, tak hanya saling mengakui dan menghargai namun juga saling memperkaya. Tentu saja saling memperkaya ini hanya dimungkinkan jikalau etintas kebudayaan sering melakukan interaksi yang intens. Dari interaksi ini akan muncul kesadaran toleransi terhadap kontradiksi dan ambiguitas kebudayaan yang memungkinkan praktik negoisasi kebudayaan yang terus menerus
Untuk membangun terjadinya dialog kebudayaan harus ada beberapa pengkondisian. Pengkondisisn itu antara lain: harus didorong terciptanya wadah dan runag yang terbuka agar gesekan-gesekan yang terjadi tidak sampai melebar menjadi konflik sosial, penguatan masyarakat sipil (civil society), dan upaya-upaya reaktualisasi, revitalisasi, dan reposisi nilai-nilai kearifan lokal sebagai salah satu anasir etika sosial dan identitas nasional.
Pengkondisian di atas akan mendorong terciptanya dialog kebudayaan yang harus menyentuh keseleruhan aspek kebudayaan yang meliputi aspek ekspresif (seni dan agama), aspek progresif (ilmu, ekonomi, tknologi), hingga aspek kekuasaan dan solidaritas. Dialog kebudayaan semacam inilah yang diharapkan mampu menghasilkan sintesis-sintesis yang menjadi kesepakatan sementara yang kelak akan digunakan dalam merekontruksi kebudayaan nasional yang demokratis. Dengan kata lain dialog kebudayaan inilah akan melahirkan nilai universal yang bisa menjembatani dan mendudukkan berbagai keberagaman (pluralitas) dalam kebersamaan dan keadilan sekaligus menjejakan demokrasi pada bumi dimana dia tumbuh.
Mas Menteri Nadiem yang budiman,
Di penghujung surat ini saya sampaikan, bahwa perlu adanya sebuah strategi dan politik kebudayaan yang tepat untuk mengelola kondisi plural yang memungkinkan terjadinya proses dialog kultural yang meminimalkan kemungkinan hegomonik satu dengan yang lain. Strategi dan politik kebudayaan yang diperlukan adalah strategi dan politik kebudayaan yang sanggup mengurangi berbagai ketegangan akibat rsisko yang logis dari kemajemukan. Strategi dan politik kebudayaan itulah nanti yang akan menjadi ruang bagi terciptanya dialog kebudayaan. Pemajuan kebudayaan mustahil bisa dilaksanakan tanpa adanya strategi dan politik kebudayaan yang benar. Semoga Allah SWT memudahkan.
*) Penulis lahir di Ngawi, 18 April 1969. Meraih gelar sarjananya di IKIP Surabaya (sekarang UNESA) Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, sedangkan studi Pascasarjananya di bidang Linguistik dan Kesusastraan diselesaikan pada tahun 2006, pernah belajar di program doktoral Unesa. Buku puisi terbarunya PERCAKAPAN TAN dan RIWAYAT KULDI PARA PEMUJA SAJAK (2016) menerima anugerah buku hari puisi Indonesia tahun 2016. Bukunya yang terbit terdahulu : PENGANTAR JURNALISTI;Panduan Penulis dan Jurnalis (2016), MARXISME DAN SUMBANGANNYA TERHADAP TEORI SASTRA: Menuju Pengantar Sosiologi Sastra (2014) dan SEJARAH YANG MERAMBAT DI TEMBOK-TEMBOK SEKOLAH (2014), MATA AIR DI KARANG RINDU (buku puisi, 2013) dan MASA DEPAN SASTRA: Mozaik Telaah dan Pengajaran Sastra (2013), DI PUSAT PUSARAN ANGIN (buku puisi, 1997), KUBUR PENYAIR (buku puisi:2002), KITAB KELAHIRAN (buku puisI, 2003), NASIONALISME SASTRA (bunga rampai esai, 2011),dan DRAMA: Pengantar & Penyutradaraannya (2012), UMAYI (buku puisi, 2012). Selain menulis juga bekerja sebagai Pembantu Ketua I dan Dosen di STKIP PGRI Ngawi, serta menjadi guru di beberapa SMA.