Oleh Hamidulloh Ibda
Tulisan Kuttab Itu Pesantren? di Tribun Jateng pada Rabu, 5 Mei 2021 yang ditulis Dr. Aji Sofanudin menarik dikaji lagi. Dalam tulisannya, Aji membedah posisi kuttab dan pesantren di Indonesia. Status perizinan, manajemen, dan sistem pengelolaan kuttab yang tak terakomodir dalam Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) secara detail harus menjadi perhatian.
Bagi penulis kuttab bukan pesantren. Keduanya memiliki perbedaan dari akar histori, ideologi, dan genealogi. Namun realitas hari ini kuttab menjamur. Kuttab Al-Fatih sebagai pelopor di Indonesia kini memiliki 34 cabang. Belum lagi kuttab-kuttab yang sembunyi-sembunyi dan belum mengantongi izin.
Aji menyebut kuttab muncul pada 2012. Padahal kuttab sudah ada pra kemerdekaan Indonesia. Catatan Sandy (2021) menyebut kuttab sudah berdiri pada masa Kesultanan Siak Sri Indrapura (1723-1946). Pada 2017, kuttab di komplek Kerajaan Melayu Islam di Siak Riau ini dijadikan situs sejarah. Jika Aji menyebut Ponpes Sidogiri 1745 dan Ponpes Jamsaren Solo 1750 sebagai pesantren tertua, maka usia kuttab hakikanya jauh lebih tua.
- Iklan -
Namun entah mengapa, sejak 2012 kebangkitan kuttab baru muncul. Perkembangan kuttab dan pesantren sangat berbeda. Entah karena kuttab belum populer, masalah ideologi, atau karena tidak lahir dari rahim Nusantara.
Diminati Masyarakat
Tren hari ini kuttab sedang diminati masyarakat. Jika belakangan muncul Sekolah Islam Terpadu, Sekolah Alam, Rumah Tahfiz, kini kuttab eksis meski belum jelas payung hukumnya. Banyak orangtua menyekolahkan anaknya di kuttab daripada SD/MI. Dengan corak kurikulum “iman sebelum Al-Qur’an” dan “adab sebelum ilmu” menjadikan kuttab memiliki daya jual tinggi.
Kecirian kuttab ada pada kurikulum/materi, ustaz, metode pembelajaran, dan model islamisasi ilmu pengetahuan. Mereka berbeda dengan maktab, karena kuttab tak sekadar mengajarkan literasi (baca-tulis) Al-Qur’an, namun juga mengajarkan ilmu umum. Distingsi ini memikat masyarakat. Banyak pula yayasan, ormas Islam, dan pesantren turut mendirikan kuttab. Hal ini membuktikan kuttab bukan pesantren, karena ada pesantren mendirikan kuttab. Bagi penulis, kuttab adalah kuttab dan pesantren adalah pesantren.
Sampai 2021 ini, Balitbang Agama Semarang meneliti Kuttab Al-Fatih, Kuttab Ibnu Abbas, Kuttab Al-Jazary, Kuttab Al-Ayyubi, dan Kuttab Harun Al-Rasyid. Padahal masih banyak kuttab lain. Seperti Kuttab Rumah Quran, Kuttab Permata Quran, Kuttab Sahabat Quran, Kuttab Al-Firdaus, Kuttab Al-Ikhlas, Kuttab Salman Al-Farisi, Kuttab Nurussalam, Kuttab Tahfizh Abqori, Kuttab Al-Kautsar, Kuttab Salimul Aqidah, Kuttab Al-Khalifah, Kuttab Haramain, dan lainnya.
Meski status izinnya tak jelas, mereka tumbuh subur dan diminati masyarakat. Perizinan kuttab ada yang kategori PKBM (Kemdikbudristek) dan Madrasah Salafiyyah Ula/MSU setara SD/MI (Kemenag). Sisanya, mereka tak berizin, dan tak berijazah formal. Lalu, bagaimana nasib lulusannya?
Kita harus mendudukkan kuttab dan pesantren sesuai makamnya. Sebab, baru-baru ini di Desa Turirejo, Jepon, Blora, dihebohkan dengan santri yang gagal dilantik menjadi perangkat desa. Nilai tesnya tinggi namun ia terjegal karena ijazah produk pesantrennya tak diakui. Hal ini menandakan masih ada kekacuan sistemik, termasuk efek panjang jika kuttab tak diakomodir secara humanis dalam Sisdiknas.
Mendudukkan Kuttab
Pesantren sudah jelas dan diatur UU No. 18/2019 Tentang Pesantren. UU ini juga mengakui Ma’had Aly setara dengan perguruan tinggi. Dalam UU No. 20/2003 Tentang Sisdiknas, PMA No. 14/2014 Tentang Pendirian Madrasah, PMA No. 60/2015 Tentang Perubahan PMA No. 90/2013 Tentang Penyelenggaraan Madrasah, PMA No. 13/2014 Tentang Pendidikan Diniyah Formal dan PP No. 57/2021 Tentang Standar Pendidikan Nasional tak menyebut/menampung kuttab.
Dasar ini memperjelas perbedaan kuttab dan pesantren. Lantaran tak ada yang serius mengurus kuttab, mereka apatis dengan regulasi, padahal ada yang perlu diadopsi sekaligus diawasi. Kuttab yang diklaim dengan keunggulan iman dan adab sangat ironis ketika hanya sejajar dengan PKBM, MSU, dan Paket A (pendidikan kesetaraan SD/MI).
Perlu solusi untuk mendudukkan kuttab. Pertama, Kemenag/Kemdikbudristek harus membuat regulasi yang memuat nomenklatur kuttab. Jika tak diikat dalam regulasi pendidikan, mereka akan “liar”. Hal ini sekaligus menjawab pendapat Aji dalam artikelnya yang menyebut kuttab adalah pesantren tanpa asrama/pondok.
Kedua, dalam sistem/regulasi perlu pemisahan pesantren dan kuttab. Keduanya bagai dua kutub yang susah diintegrasikan. Saat menjadi narasumber uji validasi model pengembangan kuttab di Tegal pada akhir April 2021, saya melihat pengelola kuttab dan pesantren tak bisa “bertemu”. Pengasuh pesantren mendesak pengelola kuttab terbuka, taat regulasi, dan bergabung sebagai pendidikan formal. Sedangkan pengelola kuttab apatis, menunggu “jemput bola” dari pemerintah. Sebab, kuttab dalam regulasi belum ada. Apalagi, pengelola kuttab pernah datang ke Kemenag namun ditolak. Hal ini tak humanis dan tak kooperatif yang mengakibatkan mereka makin apatis.
Ketiga, kuttab perlu diakomodir, dibina, diadopsi sekaligus diawasi. Kuttab lahir dari Timur Tengah dan representasi warisan peradaban Islam yang membutuhkan “kursi” untuk duduk. Kuttab ada sebelum Islam. Kemudian berkembang pada masa Rasulullah Saw, Khulafaur Rasyidin, Daulah Bani Umayyah dan Abbasiyah. Kini, mereka tumbuh di Indonesia dan lebih menjamur daripada jenis pendidikan pribumi. Sebut saja Meunasah, Rangkang, Dayah, Dayah Teungku Chik, dan Jamiah (Aceh), Surau (Minangkabau), Nggon Ngaji (Jawa), dan lainnya.
Sedangkan kuttab tergolong lembaga pendidikan Islam pra madrasah. Selain kuttab, ada Manazil al-Ulama (rumah kediaman ulama), Masjid dan Jami’, Qusur (pendidikan rendah di istana), Hawanit al-Waraqin, Al-Salunat al-‘Adabiyyah (majelis sastra), Maktabat (perpustakaan), Al-badiyah, Bimaristan dan Mustashfayat. Artinya, hanya kuttab yang “laku” di Indonesia dan harus diberi ruang.
Keempat, jika dimasukkan regulasi, kuttab termasuk jalur formal dan setingkat SD/MI. Apalagi kuttab memiliki dua sistem kelas, kuttab awwal kelas I, II, III dan kuttab qanuni kelas I, II, III, IV dengan usia 5-12 tahun. Ijazah kuttab harus setara pendidikan formal SD/MI. Bukan sekadar ijazah PKBM, MSU, atau Paket A. Lulusan kuttab ketika lanjut jenjang SMP/MTs akan kebingungan karena ijazahnya tak diakui.
Melihat kuttab dari kacamata pesantren, PKBM, MSU, Paket A, tentu makin bias. Sebab, kuttab merupakan bagian dari perkembangan pendidikan yang perlu dirangkul, diadopsi, dan diawasi. Jika dibiarkan, maka hakikatnya pemerintah tak humanis terhadap lembaga pendidikan Islam. Lalu, kapan kuttab didudukkan pada kursinya?
-Penulis adalah Dosen dan Wakil Ketua I Bidang Akademik dan Kemahasiswaan STAINU Temanggung.