Oleh: Tjahjono Widarmanto*
Setiap hari raya Idul Fitri kita selalu melaksanakan dengan patuh dan hkmat tradisi meminta dan memberi maaf. Jikalau tidak bisa bertatap muka, tradisi saling meminta dan memberi maaf bisa dilaksanakan ‘jarak jauh’.
Saat penulis masih taruna belia, maaf-maafan jarak jauh ini dilakukan melalui kartu lebaran atau telegram lebaran. Tak jarang kartu lebaran itu dibuat sendiri, kreativitas sendiri, baik ungkapan-ungkapan kalimatnya maupun gambarnya. Zaman bergeser cepat, sekarang adalah era digital dan internet. Kartu lebaran sudah masuk museum dan digantikan melalui SMS dan WA. Digitalisasi dan internetisasi untuk ekspresi maaf-maafan menjadikan tradisi maaf-maafan itu sulit diduga apakah memang maaf yang benar-benr tulus ataupun maaf yang sekedar formalitas. Kesakralan maaf-maafan di hari raya Idul Fitri menjadi memudar,
Dahulu, karena anggapan norma dan nilai kesantunan, tindakan meminta maaf sangat sakral. Diharapkan mereka yang minta maaf (yang muda atau yang merasa paling banyak salah) diharapkan datang sendiri sehingga maaf-maafan harus tatap muka. Pihak yang muda akan mulai tradisi itu dengan meminta maaf terlebih dulu dengan bahasa yang lembut dan tulus.Bahkan bila maaf-maafan itu antara anak dan orang tuanya, yang di Jawa lazim disebut sungkem atau sungkeman, tak jarang akan disertai dengan isak tangis kedua belah pihak. Tak hanya minta maaf, yang muda atau sang anak juga memohon doa restu kepada pihak yang tua.Orang tua atau pihak yang lebih tua juga menyatakan kesediaannya untuk memberi maaf, meminta maaf balik sekaligus memberi doa restu dengan kalimat-kalimat yang tertata rapih dan halus. Saat-saat suasana sungkeman semacam itu terasa sekali menggetarkan jiwa dan tak terasa air mata akan mengalir di pipi.
- Iklan -
Tindakan saling memohon maaf dan memberi maaf yang tulus dan ikhlas tak mungkin lahir dari sikap jiwa yang angkuh. Saat saling memohon dan memberi maaf dituntut jiwa yang rendah hati. Kerendahan hati inilah sumber dari pancaran ikhlas. Tanpa disertai kesadaran merasa bersalah, maaf yang keluar dari bibir hanyalah formalitas yang dangkal belaka.
Tindakan memberi maaf atau memaafkan juga bukan hal gampang. Memberi maaf jauh lebih berat dibanding meminta maaf. Memberi maaf berarti mengihlaskan segala perbuatan orang yang telah menyakiti hati kita. Itu berarti mengikhlaskan kesalahan orang lain yang pernah merugikan secara materiil, mengikhlaskan perbuatan yang pernah mempermalukannya, mengikhlaskan kesewenang-wenangan yang ditimpakan padanya, dan mengikhlaskan segala hal yang pernah mengecewakan hati. Situasi ini bukan sesuatu yang mudah. Peribahasa Eropa menyebutnya sebagai “To err is human, to forgive divine” yang maknanya, “berbuat kesalahan adalah sesuatu yang manusiawi, memaafkan kesalahan adalah sesuatu yang bersifat Illahi”.
Tindakan memberi maaf menuntut seorang individu untuk mengubah dirinya sendiri untuk menuju tingkat perilaku yang lebih luhur. Tindakan memberi maaf mengangkat seseorang tak hanya pada taraf insani saja, tapi mendekati pada sikap-sikap hidup yang lebih bersih yang berhasil menyisihkan perasaan dendam dalam hatinya, yang berhasil menyucikan jiwanya dari segala bentuk ketidakikhlasan.
Tentu saja tidak mudah sampai pada taraf ideal seperti di atas. Memang tidak mudah mengakui kesalahan dan memberi maaf setiap kesalahan, namun setidaknya setiap idul fitri kita berupaya melatih hati dan jiwa kita untuk belajar ikhlas. Idul Fitri merupakan pelatihan yang rutin setiap tahun untuk membentuk kepribadian yang ikhlas, kepribadian yang sudi mengakui kelemahan dan kesalahan sendiri, pun kepribadian yang sanggup meniadakan dendam dalam hidupnya. Idul Fitri merupakan ihtiar batin yang bisa membebaskan kita dari pengikisan dan pendangkalan hidup.
Selamat Idul Fitri, Minal aidin wal Faaiziin, Mohon Maaf Lahir Batin!
*Tjahjono Widarmanto.Penyair, tinggal di Ngawi. Buku puisinya “Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak” menjadi salah satu penerima anugerah buku puisi terbaik versi HPI di tahun 2016. Buku puisi terbarunya “Kitab Ibu dan Kisah-Kisah Hujan” (2019) menjadi salah satu buku puisi terpuji versi HPI tahun 2019