Oleh: Muslihah
KH. Hasyim Asy’ari bernama lengkap Muhammad Hasyim, lahir di desa Gedang Jombang pada Selasa Kliwon, 24 Zulkaidah 1287 H/14 Februari 1871, dan wafat di Jombang pada Juli 1947. Beliau adalah anak ketiga dari Halimah (Winih) dan Asy’ari. Secara berurutan saudara Hasyim Asy`ari adalah Nafi’ah, Ahmad Saleh, Rodhiah, Hasan, Anis Fathonah, Maimunah, Ma’sum, dan yang paling bungsu bernama Adnan.
Sejumlah hagiografi menjelaskan sinyal bahwa kelak anak kecil yang bernama Muhammad Hasyim tersebut akan menjadi kiai besar dan tokoh umat Islam. Hasyim Asy`ari dilahirkan setelah sang ibu mengandungnya selama 14 bulan, tidak 9 bulan 10 hari seperti kehamilan normal. Kepercayaan masyarakat Jawa meyakini kehamilan yang lama mengindikasikan kecemerlangan sang bayi di masa depan. Terlebih lagi, Halimah bermimpi melihat bulan purnama yang jatuh dari langit dan menimpa tepat di atas perutnya.
Hasyim Asy`ari tumbuh dan berkembang dalam lingkungan dan tradisi pesantren. Sejak kecil hingga muda KH. Hasyim Asy`ari menghabiskan waktu di beberapa pesantren di Jawa Timur. Setelah bermukim di Makkah selama 7 tahun, beliau mendirikan Pesantren Tebuireng (1889) yang mendapatkan recht person dari pemerintah Hindia Belanda tahun 1906, dan menjadi pengasuh pesantren yang terletak di sebelah barat pabrik gula Cukir tersebut hingga wafat.
Ayahnya bernama Kiai Asy’ari, beliau adalah putera Kiai Abdul Wahid Tingkir berasal dari Demak, Jawa Tengah, dan merupakan pendiri pesantren Keras-Jombang. Secara geneologis, Kiai Asy’ari merupakan keturunan ke-8 penguasa Kerajaan Islam Demak, Sultan Pajang yang terkenal dengan julukan Jaka Tingkir (Mas Karebet), anak Raden Brawijaya.
- Iklan -
Versi lain menyebutkan bahwa garis keturunan Jaka Tingkir berasal dari silsilah ibu Hasyim, Winih (Halimah) yang merupakan keturunan ke-7. Bahkan dari keturunan garis ayah pula, silsilah Hasyim Asy’ari dapat dirunut dari keluarga Syaiban berasal dari keturunan para Da’i Arab Muslim yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agama Islam pada abad ke-4 H serta mendirikan pusat pendidikan agama Islam.
Keluarga Syaiban adalah keturunan Imam Ja’far al-Shâdiq bin Imam Muhammad Baqîr. Versi lain menyebut garis keturunan Hasyim Asy`ari dari silsilah Sunan Giri, salah satu Walisongo yang menyebarkan Islam di Jawa pada abad ke-16. Bahkan pada usia 13 tahun beliau sudah menguasai kitab-kitab Islam klasik dan diangkat menjadi badal (asisten pengajar) di pondok pesantren ayahnya.
Pada usia 15 tahun, Hasyim Asy’ari mulai mengembara ke berbagai pesantren di pulau Jawa untuk memperdalam ilmu agama, seperti di Pesantren Wonocolo Jombang, Pesantren Probolinggo, Pesantren Langitan, Pesantren Tranggilis, dan berguru kepada Kiai Kholil di Bangkalan, Madura. Pada tahun 1893, KH. Hasyim Asy’ari berangkat ke Makkah untuk memperdalam ilmu agama dan berguru kepada Syekh Mahfudh At-Tarmisi yang berasal dari Tremas, Jawa Timur.
Syekh Mahfudh At-Tarmisi menjadi pengajar di Masjidil Haram dan merupakan Ulama ahli hadis di Makkah, beliau adalah murid Syekh Nawawi Al-Bantany yang menjadi murid Syekh Ahmad Khatib Syambasi (tokoh tasawuf yang berhasil menggabungkan tarikat Qadariah dan tarikat Naqsabandiah). Untuk melengkapi pengetahuan di bidang agama, KH. Hasyim Asy’ari kemudian berguru kepada Syekh Ahmad Khatib AlMinangkabau.
Namun dari sekian banyak gurunya itu, yang paling mempengaruhi jalan pikiran KH. Hasyim Asy’ari adalah Syekh Mahfudh At-Tarmisi. Dari gurunya inilah dia memperoleh ijazah tarikat Qadariah dan Naqsabandiah. Setelah 7 tahun belajar di Makkah, KH. Hasyim Asy’ari pulang ke Jawa dan mendirikan pondok Pesantren Tebuireng di Jombang pada 26 Rabiul Awal 1317 H/1899 M. Di pondok pesantren inilah KH. Hasyim Asy’ari mengajarkan kitab-kitab klasik kepada santrinya yang oleh kalangan NU dikenal dengan “kitab kuning”. Dari pesantren ini pula kemudian banyak bermunculan kiai dan Ulama terkemuka yang mewarnai pemikiran Islam di Indonesia.
Sejak kecil KH. Hasyim Asy’ari mempunyai semangat kaum pedagang. Tujuh tahun sebelum NU berdiri, KH. Hasyim Asy’ari menjabat ketua Nahdlatul Tujjar (1918), sebuah badan usaha berbentuk koperasi yang didirikan oleh KH. Wahab Hasbullah dan KH. Bisri Syansuri. Tidak mengherankan, pada akhir hayat KH. Hasyim Asy’ari mewariskan 2 hektar lahan pemukiman dan 9 hektar sawah kepada pesantren Tebuireng sebagai wakaf untuk digunakan pusat pengembangan pendidikan agama.
Latar belakang sosial-keagamaan KH. Hasyim Asy`ari tidak selalu ditempatkan dalam ‘sangkar emas’ pesantren dengan masyarakat petani desa sebagai basis sosial. Sebagai unit yang independen, maka bagi penganutnya, agama mempunyai kemungkinan yang tinggi untuk menentukan pola perilaku manusia dan bentuk struktur sosial, dengan demikian ajaran agama (aspek kultural dari agama) mempunyai potensi untuk mendorong atau bahkan menahan proses perubahan sosial, dalam agama Islam yang strategis untuk melakukan hal itu adalah Ulama dan pendidikan (pesantren).
Jika ditelusuri lebih jauh tentang peranan Ulama dalam mewarnai proses perubahan sosial di Indonesia, maka akan tercatat beberapa tokoh penting dari berbagai golongan dan kelompok masyarakat, diantaranya adalah KH. Hasyim Asy’ari. KH. Hasyim Asy’ari merupakan seorang Ulama terkemuka dizamannya, karena beliau adalah pendiri pondok pesantren Tebuireng dan ikut serta mendorong untuk melakukan perlawanan terhadap penjajahan, disisi lain beliau adalah tokoh penting dalam berdirinya Nahdlatul Ulama yang kelak dalam sejarah Indonesia akan menjadi ORMAS (Organisasi Masyarakat) Islam terbesar dan memainkan peranan yang cukup signifikan dalam berbagai perubahan sosial dan politik di Indonesia.
Sejak tahun 1920, pesantren Tebuireng memperkenalkan pelajaran umum seperti bahasa Indonesia, bahasa Belanda, matematika, sejarah dan geografi. Memberikan pelajaran umum saat itu merupakan langkah pembaharuan yang sangat radikal karena kokohnya pandangan bahwa pelajaran umum haram diajarkan. Tidak hanya itu, menggunakan bangku dan papan tulis dianggap tidak bertentangan dengan Islam.
Pembaharuan pesantren Tebuireng semakin menemukan momentum, ketika Kiai Muhammad Ilyas, keponakan KH. Hasyim Asy’ari sekaligus salah satu muridnya yang terkemuka, diangkat menjadi Direktur Madrasah Salafiyah Pesantren Tebuireng pada tahun 1929. Di bawah kepemimpinan Kiai Muhammad Ilyas, Madsarah Salafiyah Tebuireng meningkatkan alokasi pelajaran membaca dan menulis huruf Latin, bahasa Indonesia, geografi, matematika, dan sejarah.
Langkah Kiai Muhammad Ilyas tersebut mendapatkan dukungan penuh dari KH. Hasyim Asy’ari. Diperkenalkannya pelajaran umum mendapatkan kritik yang tajam dari para kiai, sehingga mengakibatkan banyak orang tua yang melarang anaknya belajar di pesantren Tebuireng. Seluruh kritikan tajam terhadap pola pendidikan di pesantren Tebuireng hilang sama sekali, ketika pada awal tahun 1940-an terjadi pendudukan Jepang yang melarang surat menyurat kecuali dengan menggunakan bahasa Latin.
KH. Hasyim Asy’ari merupakan salah satu putera terbaik bangsa yang namanya harum hingga kini. KH. Hasyim dikenal sebagai pendiri organisasi Islam bernama Nahdlatul Ulama pada tahun 1926. Selain itu, pemerintah Republik Indonesia juga menobatkan KH. Hasyim sebagai salah satu pahlawan nasional bersama dengan puteranya, KH. Wahid Hasyim.
Sebagai salah satu organisasi keagamaan terbesar di Indonesia, NU bertujuan memberlakukan ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunah Wa al-Jama’ah dan mengikuti salah satu mazhab yang empat di tengah-tengah kehidupan di dalam satu wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). KH. Hasyim Asy’ari sebagai pendiri NU dan Ulama terkemuka berpengaruh kuat pada sikap beragama umat Islam Indonesia. Bahkan sampai saat ini pemikiran KH. Hasyim Asy’ari yang diformulasikan dalam organisasi NU menjadi acuan dalam beragama.
Berbagai lembaga pendidikan yang didirikan seperti pesantren dan perguruan tinggi Islam merupakan tonggak sejarah cikal-bakal lahirnya Ulama NU, yang hingga kini tetap eksis dan terus berkembang.
Hemat penulis, sisi lain KH. Hasyim Asy’ari merupakan seorang santri yang hormat dan taat kepada guru. Beliau menjalankan semua yang di perintahkan oleh syekh Kholil, tanpa rasa jengkel di dalam hatinya. Beliau mendapat amanat dari pengasuh untuk mengembala Sapi dan Kambing. Beliau senang menjalankan itu semua karena bisa ngalap barakah dari sang guru. Hal ini merupakan salah satu bukti ketaatan beliau kepada guru.
Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (IQT) IAIN Madura