Oleh Dian Marta Wijayanti, M.Pd
Semua orang percaya bahwa berita hoaks/hoax (bohong) dan fake (palsu) sangat membahayakan. Satu peluru senjata api bisa membunuh satu orang. Akan tetapi satu berita hoax, bisa membuat orang se kampung, bahkan satu negara bisa geger dan perang. Bahaya hoax yang sangat menakutkan itu, harus diperangi dengan jalur edukasi literasi di sekolah. Sebab, pendidikan sangat strategis menanamkan jiwa yang cinta terhadap kebenaran, kevalidan bukan hoax.
Guru sebagai pendidik, wilayah kerja yang nyata dalam membendung hoax dan fake adalah menjadi “guru literasi”. Artinya, ia tidak sekadar menjadi guru yang biasa-biasa saja, melainkan benar-benar menjadi guru yang mampu membangkitkan spirit literasi kepada peserta didik di dalam kelas. Guru literasi menjadi penting karena guru adalah kunci sukses dan tidaknya pembelajaran di sekolah.
Sumber spirit “guru literasi” sebenarnya bergaung dari Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Lembaga Pendidikan Ma’arif PWNU Jawa Tengah juga memiliki program Gerakan Literasi Ma’arif (GLM). Akan tetapi, pemaknaan literasi selama ini faktanya masih sekadar pada kemampuan menyimak/mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis. Padahal, kemampuan literasi menurut Lipton dan Hubble (2016:13) juga berkaitan dengan melek komputer, usaha mendapatkan pengetahuan dan informasi melalui akses digital dengan benar.
- Iklan -
Dari penjelasan itu, tentu makna guru literasi sangat luas. Mengapa? Karena literasi digital harus mengarah pada metode mengakses, menyeleksi dan menolak berita hoax dan fake yang selama ini menggurita di negeri ini. Literasi tidak sekadar pada tataran literasi perpustakaan, buku, namun juga literasi siber juga sangat penting diterapkan di sekolah.
Jika dianalisis, sumber hoax sebenarnya karena adanya kepentingan dan memang sudah diproduksi oleh pihak-pihak tertentu yang dibayar. Maka di sini, tugas guru tidak kapasitasnya jika memblokir atau menghapus berita hoax, melainkan lebih pada mengedukasi peserta didik melalui “pendidikan anti hoax” yang terwujud dengan jiwa guru literasi.
Gurita Hoaks
Perubahan zaman yang begitu cepat ternyata menyeret pola pikir dan pola laku manusia. Banyaknya fenomena terang-terangan membagikan dan menjamurnya berita hoaks dan fake membuktikan kontraproduktif terhadap gerakan literasi negeri ini. Tidak hanya masalah perselingkuhan ideologi, korupsi dan disrupsi, adanya pemproduksi isu SARA dan hoaks juga menjamur di negeri ini. Gurita hoaks adalah musuh bersama yang harus diperangi, karena sifat hoaks adalah fitnah dan destruktif, dan produsen hoaks adalah tukang fitnah yang paling keji dan lebih kejam daripada pembunuhan.
Di negeri ini, hoaks sudah menggurita dan harus ditumpas sampai ke akarnya. Dari data yang dihimpun, ada 800 ribu situs penyebar hoaks di Indonesia (Cnnindonesia.com, 29/12/2016). Sementara laporan di Kominfo yang tertinggi soal konten barbau SARA mencapai 5.142 dan berita palsu 5.070 sampai Januari 2017. Kemudian sampai Juli 2017 untuk laporan konten negatif mencapai 32 ribu lebih (Liputan6.com, 10/7/2017).
Data itu menjadi bukti bahwa hoaks sangat menjamur dan tentu menjadi musuh yang nyata dan perlu dicari solusi permanen dan berjangka panjang. Sebab, selama akses internet masih ada, maka hoaks akan selalu tumbuh. Dalam hal ini, tugas guru tentu pada wilayah edukasi yang bisa dilakukan melalui pendekatan preventif, kuratif, developmental dan edukatif. Semua itu tentu senafas dengan GLS yang dicanangkan pemerintah. Apalagi, solusi atas keterpurukan bangsa ini menurut Baswedan (2013: 15) adalah kompetensi, karakter dan literasi. Oleh sebab itu, “guru literasi” sangat urgen sebagai pendidik yang mampu membuka cakrawala berpikir peserta didik tentang bahaya hoaks.
Konsumsi hoaks terjadi karena masyarakat kita kurang “literat” (melek literasi) dan tidak memiliki kompetensi bermedia. Sebab, selama ini hampir semua masyarakat internet atau netizen dalam mengomsumsi berita tidak mempertimbangkan akurasi, kebenaran, validitas dan sumber berita. Padahal tidak hanya berita, namun hoaks juga berkonversi di wilayah gambar, video, meme dan lainnya yang menjamur di media sosial.
Lantaran “buta literasi” dan asal membagikan tanpa tabayun, klarifikasi, cek ricek, maka hoaks menjadi “hal biasa” dan kita seolah-olah berada pada “peradaban hoaks”. Apa penyebabnya? Hal itu tentu dikarenakan kurangnya pengetahuan tentang literasi, jurnalistik, ilmu tentang berita dan tidak ada edukasi literasi secara komprehensif.
Ditambah lagi, adanya media siber yang mudah dibuat dengan modal murah, menjadikan hoaks semakin menggurita. Apalagi, media siber yang sudah pakem yang secara hukum sudah valid dengan media siber “abal-abal” susah dibedakan. Tipe media siber yang mengejar iklan dan view menjadikan hoaks semakin menjamur.
Hal ini tentu berbahaya karena hampir semua peserta didik dari jenjang SD/MI sampai jenjang SMA/SMK/MA sudah berkawan dengan gadget atau gawai. Melalui benda kotak kecil itu, semua akses internet dan aplikasi bisa dioperasikan. Jika informasi yang didapat benar, tentu sah-sah saja. Namun bagaimana jika itu hoaks? Tentu akan membahayakan mereka. Oleh karena itu, guru sebagai sumber informasi di sekolah harus menjadi “guru literasi” yang benar-benar mengedukasi warga sekolah bahkan masyarakat untuk menggerakkan spirit anti hoaks.
Guru Literasi Antihoaks
Semua guru hakikatnya adalah guru literasi. Akan tetapi sesuai dengan prinsip dasar GLS, guru literasi adalah mereka yang mampu membuat anak memiliki kemampuan membaca, menulis, melek media, komputer dan mampu mendeteksi berita hoaks atau fake dengan yang asli. Gerakan guru literasi dalam mengedukasi peserta didik harus melakukan beberapa prinsip untuk mencetak anak memiliki kompetensi dan karakter literasi yang anti hoaks.
Pertama, mengajak peserta didik untuk mengenal pers, fungsi dan tujuan pers, organisasi pers dan perusahaan pers. Sebab, selama ini peserta didik dibiarkan mengonsumsi berita tanpa diberi tahu dasarnya. Jika fondasinya melah, maka bangunan untuk mendapatkan berita juga tentu lemah. Selama ini, banyaknya berita hoaks salah satunya diproduksi media siber di luar media pers yang sudah resmi terdaftar di Dewan Pers. Atau setidaknya, media itu para jurnalisnya sudah resmi menjadi anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) atau organisasi pers yang lain.
Wartawan atau jurnalis, dalam menjalankan tugasnya juga diuji melalui Uji Kompetensi Wartawan dan harus lolos Standar Kompetensi Wartawan yang ditetapkan Dewan Pers melalui organisasi profesi seperti PWI, AJI dan organisasi pers lainnya (Dewan Pers, 2011). Rata-rata, media hoaks dikelola oleh mereka yang tidak mengenal kode etik dan undang-undang pers.
Oleh sebab itu, deteksi dini yang paling utama yang bisa diajarkan kepada anak-anak di sekolah bahkan warga sekolah secara umum dan masyarakat adalah mengetahui pers, peran, fungsi, tujuan dan juga regulasinya. Mengapa? Tidak semua media online adalah media pers. Jika tidak media pers, maka media itu berpotensi memproduksi hoaks.
Peserta didik juga harus dikenalkan pada media yang benar-benar valid. Seperti yang sudah dilakukan oleh PWI dan AJI dengan mendirikan Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) dan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) sebagai wahana menghimpun media siber yang Anti hoaks.
Kedua, mengenalkan pada anak-anak di sekolah tentang perbedaan media siber dengan cetak. Kebanyakan, berita hoaks disebar melalui basis siber atau online. Saya pribadi di sekolah, telah mengajak anak-anak belajar mendeteksi berita valid dengan yang hoaks. Caranya adalah dengan mengajak mereka membuka berita media siber yang saya tampilkan di LCD dengan berita di koran yang tiap hari ada di sekolah karena langganan.
Teknisnya, dengan membandingkan berita di siber dan cetak dan kemudian mengkopi url dan memasukkannya ke https://data.turnbackhoaks.id sebagai bukti ia hoaks atau tidak. Dalam hal ini, media cetak menjadi solusi untuk anti hoaks karena hanya media cetak yang masih dipercaya. Tingkat kebenaran media cetak lebih besar daripada media siber dan media sosial. Oleh karena itu, sejak dini anak-anak harus diajak literat dengan mencari variabel berita yang sama antara yang dimuat di media siber dan cetak.
Ketiga, mengedukasi peserta didik untuk lebih percaya berita asli daripada isu. Kecenderungan generasi milenial sekarang adalah lebih percaya isu, rumor atau gugon tuhon daripada berita valid. Pola pikir seperti ini menjadikan masyarakat latah dalam menerima informasi, karena di tengah banjir berita, antara isu dengan fakta beda tipis. Oleh karena itu, literasi media seperti ini sangat penting sebagai cara menumpas hoaks.
Keempat, mengedukasi peserta didik untuk menerapkan pola pikir wartawan. Artinya, meskipun sebagai konsumen berita, masyarakat sekolah wajib memiliki bekal seperti wartawan. Dalam menjalankan tugas jurnalistiknya, wartawan harus memenuhi unsur 5 W + 1 H (What, Who, Why, Where, When dan How). Kemudian juga ditambah dengan verifikasi, rapat redaksi dan dikaji ulang. Tradisi verifikasi harus diutamakan sebagai panglima dalam mendapatkan berita. Sebab, tidak hanya berkaitan dengan kebenaran ilmu pengetahuan, namun pola kerja wartawan seperti ini juga berfungsi mendeteksi berita itu layak konsumsi atau tidak.
Akan tetapi, sebagai warga terdidik, guru atau peserta didik tidak cukup jika hanya mendasarkan berita pada metode wawancara dan verifikasi. Justru seorang terdidik dalam mendapatkan berita harus melalui tahap minimal penelitian. Jika tidak bisa menerapkan pola kerja wartawan, maka warga sekolah akan mudah termakan hoaks.
Kelima, mengadakan training jurnalistik dengan mengundang wartawan yang bekerja di media pakem dan legal. Cara seperti ini akan membuka cakrawala berpikir anak-anak di sekolah untuk semakin melek literasi media dan tidak akan mudah percaya dengan suatu berita. Melalui training itu, anak-anak diajarkan cara mendeteksi media, berita, dan membedakan mana berita hoaks dan valid. Dengan gerakan literasi media itu, anak-anak akan punya bekal dan pada akhirnya menjadi generasi yang benar-benar anti hoaks.
Dalam kacamata jurnalistik, kehancuran bangsa bisa terjadi karena hoaks yang dibiarkan dan tidak diperangi dengan terstruktur dan terencana melalui pendidikan. Di sinilah kehadiran guru literasi yang benar-benar literat, melek media dan berita sangat diperlukan sebagai orang yang digugu dan ditiru.
Guru literasi yang mengedukasi anti hoaks harus tercermin melalui pola pikir, sikap bermedia dengan benar dan baik. Sebab, jangan sampai guru justru menjadi “penyebar hoaks” dengan membagikan berita yang tidak jelas kebenarannya.
Apakah susah menjadi guru literasi? Tentu tidak. Meski guru literasi hanya bagian kecil sebagai solusi memberantas hoaks, akan tetapi minimal guru sudah melakukan gerakan literasi melawan hoaks melalui pendidikan di sekolah. Mengapa? Hakikatnya, guru adalah “pahlawan literasi anti hoaks” di sekolah dan masyarakat. Apa metodenya? Yaitu dengan menanamkan kompetensi, karakter dan juga spirit revolusioner untuk percaya pada kebenaran, bukan pada hoaks. Guru literasi bukan segalanya, akan tetapi lahirnya generasi muda yang anti hoaks bisa berawal dari sana. (*)
-Penulis adalah Guru SDN Sampangan 01 UPTD Gajahmungkur Kota Semarang.