Oleh Belinda Safitri
Tidak bisa dimungkiri, perkembangan teknologi memang telah berhasil menghadirkan sejumlah hal-hal baru. Pada satu sisi, berbagai hal baru yang muncul tersebut tentu merupakan suatu bentuk kemajuan. Namun, di sisi lain segala hal baru yang hadir itu tentu juga membawa pengaruh yang tidak sepenuhnya mengarah ke hal yang baik. Salah satu contoh hal baru yang timbul akibat kemajuan teknologi adalah media sosial.
Pada dasarnya, kita tentu bersyukur karena berkat hadirnya media sosial hubungan komunikasi menjadi lebih mudah dilakukan. Meski demikian, tidak dapat dimungkiri bahwa ada sejumlah orang yang justru menjadikan media sosial sebagai alat untuk saling menyebar kebencian, fitnah, hingga berkata-kata kasar. Tentu saja hal tersebut sangat menyedihkan. Realita itu seakan menjadi bukti masih lemahnya akhlak karimah yang ada pada diri sebagian masyarakat.
Media sosial yang sejatinya merupakan sarana untuk mempererat hubungan dengan orang-orang yang jaraknya jauh dari kita justru malah dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk meluapkan isi hati tanpa memikirkan dampak yang akan ditimbulkan. Bisa kita lihat saat ini di media sosial bertebaran banyak sekali komentar dengan nada cacian. Orang-orang seperti sangat santai melakukan itu tanpa merasa malu atau bahkan merasa bersalah sama sekali.
Tentu saja kenyataan tersebut tidak bisa terus dibiarkan terjadi. Masyarakat Indonesia pada dasarnya sangat terkenal dengan keramahannya, maka apakah media sosial pantas dijadikan sebagai tempat untuk meluapkan emosi negatif? Apalagi Indonesia merupakan negara dengan populasi Muslim terbanyak di dunia, apakah tidak ada sedikit rasa malu dalam diri tatkala ingin mengumpat di media sosial yang tentu dapat secara otomatis disaksikan oleh semua orang?
- Iklan -
Kita sebaiknya perlu menyadari kembali bahwa segala yang ditampilkan di media sosial sedikit banyaknya merupakan gambaran atau cerminan dari kualitas diri seseorang. Meski pada hakikatnya kita memang tidak bisa dengan begitu mudahnya menilai sesuatu hanya dari media sosial. Namun, jika di media sosial saja seseorang sudah berani terang-terangan menyebarkan hal negatif, maka bukankah dalam kehidupan sehari-hari hal itu akan lebih mudah untuk dilakukan?
Oleh karena itu, kita nampaknya memang sudah sangat perlu untuk sejenak berpuasa dari media sosial. Walaupun permasalahan ini mungkin masih diremehkan oleh sebagian orang, tetapi coba dipikirkan bahwa mau sampai kapan kita terus begini? Bahkan, meski pada kenyataannya sudah ada undang-undang yang khusus mengatur mengenai etika bermedia sosial, tetapi realitanya masih sangat banyak orang yang seakan tidak peduli.
Hal yang lebih mirisnya lagi adalah sejumlah masyarakat yang melakukan itu tidak sedikit di antaranya justru merupakan orang-orang Islam. Tidakkah kita merasa malu pada saat agama yang kita percayai sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan, tetapi pemeluknya malah berkoar-koar melakukan penghinaan di media sosial? Sejatinya, memiliki sikap malu adalah salah satu perintah dalam Islam, maka apakah memang rasa malu itu telah hilang dikalahkan oleh besarnya hawa nafsu?
Hakikatnya, orang yang tidak mempunyai rasa malu dalam dirinya akan cenderung mudah melakukan perbuatan yang tergolong rendah. Itulah yang mungkin saja menjadi penyebab masih banyaknya orang yang memanfaatkan media sosial pada hal yang buruk. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dulunya pepatah yang mengatakan mulutmu harimaumu justru telah berganti menjadi jarimu harimaumu.
Hal tersebut karena saat ini orang-orang dapat dengan sangat mudahnya terjerumus ke hal-hal yang negatif hanya karena mengirim komentar atau membuat postingan di media sosial. Maka, permasalahan ini tentu sudah sangat darurat. Kualitas akhlak yang dimiliki oleh sebagian masyarakat nampaknya memang masih dalam tingkatan rendah.
Bukti lain dari hal itu bisa kita lihat dari laporan Digital Civility Index (DCI) yang diumumkan oleh Microsoft. Laporan tersebut memberitahukan seputar tingkat kesopanan yang dimiliki pengguna internet selama tahun 2020. Mirisnya, Indonesia berada di urutan terbawah yang artinya pengguna internet termasuk media sosial di Indonesia dinilai paling tidak sopan dari seluruh negara di Asia Tenggara.
Oleh karena itu, problema ini benar-benar sudah tidak bisa diremehkan. Kesadaran yang besar dari seluruh masyarakat merupakan hal yang sangat diharapkan walaupun itu tentu saja merupakan hal yang sangat sulit. Namun, semuanya dapat dimulai dari diri sendiri. Meski terlihat kecil, tetapi setidaknya kita dapat berkontribusi untuk mengurangi hal-hal negatif yang ada di media sosial.
Pada dasarnya, melakukan puasa media sosial merupakan solusi terbaik atas permasalahan ini. Kita memang perlu waktu beristirahat dan berhenti dalam beberapa waktu untuk merenungi semuanya dan menyadari hakikat dari sebuah media sosial. Tentu saja jika kita paham hakikat media sosial sebagai sebuah sarana komunikasi dan berbagi, maka kita tidak akan dengan mudahnya memanfaatkan media itu untuk melakukan hal buruk.
Berpuasa dari media sosial adalah jalan keluar baik itu ketika kita sudah sangat lelah dengan segala hal yang ada di media sosial maupun saat kita merasa sudah salah dalam menggunakan media tersebut. Hakikatnya, kita manusia tentu memiliki akal dan kita sebenarnya dapat membedakan hal baik dan buruk. Hanya saja hawa nafsu yang terlalu besar kadang mengalahkan pikiran rasional kita.
Apalagi jika pada saat yang bersamaan kondisi kita memang masih sangat dikuasai oleh emosi negatif misalnya karena sedang kesal dengan sesuatu atau seseorang. Maka, kemampuan rasional kita sering tidak lagi berfungsi dan saat itu jari-jemari akan dengan sangat mudahnya mengetik kata-kata yang berbau negatif. Pada akhirnya, media sosial kembali menjadi tempat untuk mengeluarkan segala perasaan tanpa berpikir panjang terlebih dahulu.
Lagi-lagi emosi negatif menguasai diri kita. Maka, pengendalian diri memang hal yang juga sangat penting dimiliki. Kembali lagi bahwa semua bisa dimulai dari diri sendiri. Isi media sosial tentu memang tidak akan langsung berubah sepenuhnya baik hanya karena diri kita telah menyadari dan telah memutuskan untuk berubah. Namun, setidaknya itulah yang bisa kita lakukan saat ini. Setelah itu barulah kita berupaya secara perlahan untuk mengajak orang-orang terdekat agar mulai menggunakan media sosial dengan lebih bijak.
Jika sewaktu-waktu ada keinginan untuk melakukan hal negatif di media sosial, maka cobalah untuk kembali mengingat bahwa sebenarnya kita tidak akan mendapatkan apa-apa dari menyebarkan hal-hal negatif di media sosial. Kita mungkin memang akan merasa puas dan lega karena sudah meluahkan semua emosi, tetapi percayalah bahwa hal itu hanya bersifat sementara dan ujung-ujungnya penyesalan adalah hal yang lebih sering kita rasakan.
Oleh karena itu, sekali lagi belajarlah untuk mengendalikan diri. Seandainya hal itu belum mampu kita lakukan, maka saat itulah kita benar-benar sudah sangat perlu untuk berpuasa dari media sosial. Penulis kembali menawarkan solusi tersebut karena memang tidak ada cara terbaik kecuali hal itu. Sebab pada kenyataannya, dalam diri kita sebenarnya sudah sering ingin berubah, tetapi harus kembali gagal hanya karena melihat banyak orang yang masih memanfaatkan media sosial untuk melakukan dan menyebarkan hal negatif.
-Penulis merupakan mahasiswi program studi Pendidikan Agama Islam di IAI As’adiyah Sengkang, sejumlah tulisannya telah diterbitkan di beberapa antologi dan telah dimuat di beberapa media online Indonesia.