Oleh Sam Edy Yuswanto*
Judul Buku : Mereka yang Disandera Cinta kepada Allah Taala
Penulis : Kuswaidi Syafiie
Penerbit : Diva Press
Cetakan : I, Januari 2021
Tebal : 256 halaman
ISBN : 978-623-293-164-0
Banyak pelajaran berharga yang akan kita dapatkan ketika membaca kisah para ahli ibadah dalam menggapai rida dan cinta Tuhannya. Mereka memutuskan untuk mengabdikan hidupnya di jalan Allah dan berusaha untuk selalu memberikan kemanfaatan bagi orang-orang yang ada di sekitarnya.
Dalam buku terbitan Diva Press ini, kita disuguhi banyak kisah ulama yang begitu inspiratif dan dapat dijadikan sebagai motivasi atau pelecut semangat bagi kita untuk terus mendekatkan diri kepada Allah, meraih rida dan cinta-Nya, agar kelak (mudah-mudahan) ketika telah tiada kita dapat tergolong orang-orang yang beruntung. Orang-orang yang dapat mereguk keindahan dan nikmat surga-Nya.
Salah satu ulama yang layak dijadikan sebagai panutan dalam buku ini adalah Syaikh Dawud ath-Thaie. Dia termasuk generasi awal dari kalangan para sufi dan termasuk santrinya Imam Abu Hanifah. Dia unggul dalam berbagai keilmuan seperti fikih dan tasawuf. Syaikh Dawud adalah sosok yang tidak silau terhadap gemerlap duniawi. Berpaling dan menjauhi kekuasaan. Memilih uzlah. Hidup dengan kehati-hatian dan berhiaskan ketakwaan.
Suatu hari Syaikh Dawud berpesan kepada salah satu muridnya, “Jika engkau ingin selamat, ucapkan salam dengan sepenuh hati dan ketulusan kepada dunia. Dan jika engkau ingin mendapatkan kemuliaan, bertakbirlah untuk akhirat.” Bila direnungi, ucapan ini mengandung arti bahwa dunia ini, -di mana perubahan dan kefanaan senantiasa berdentam-dentam-, sama sekali bukanlah merupakan panggung kehidupan yang ideal. Bukan sesuatu yang didamba secara hakiki. Akan sangat kecewa bila kita sepenuhnya menyandarkan diri pada dunia. Itulah mengapa kita mesti mengucap salam dengan sepenuh hati dan ketulusan pada dunia.
Sedangkan bertakbir untuk akhirat tak lain merupakan sebuah ikhtiar spiritual agar kita terhindar dari keterjerumusan dalam penjara dunia yang pengap dan bacin ini. Artinya, kita betul-betul mengakbarkan atau mengagungkan hadirat-Nya di dalam pikiran, di dalam hati serta tindakan. Sehingga walaupun jasad berada di dunia ini, hati terasa sudah gamblang menyaksikan dan menikmati akhirat. Inilah yang dinamakan kemuliaan (hal 29).
Ulama berikutnya yang layak dibaca kisahnya dalam buku ini adalah Syaikh Abu Muzahim asy-Syirazi. Seorang sufi dari Persia yang dianugerahi kondisi rohani yang agung. Dia termasuk salah seorang yang menjadi perawi hadits dan disegani para sufi lainnya. Ada satu kejadian spiritual menarik yang pernah dialami olehnya dan layak kita renungi.
Pada suatu hari beliau akan berkunjung dan sowan pada Syaikh Abu Hafsh al-Haddad. Sebelum kedatangannya, al-Haddad mendapatkan kasyaf dan inspirasi dari Allah Taala untuk membersihkan toilet. “Bersihkan saja toilet itu dengan menggunakan uang-uang dirham ini,” kata beberapa orang sembari menawarkan alat tukar itu untuk dibayarkan kepada orang suruhan yang bersedia membersihkannya. Namun di luar dugaan, al-Haddad menolak. Ia bersikeras ingin membersihkan toilet sendiri dan menyilakan uang-uang dirham itu agar diberikan kepada para fakir miskin.
Akhirnya, dengan dipimpin langsung oleh al-Haddad, orang-orang ikut serta membersihkan toilet. Ketika sedang sibuk membersihkan toilet, datang seseorang yang meminta al-Haddad agar berhenti sejenak dan membersihkan diri, karena akan kedatangan tamu agung yang tak lain adalah Syaikh Abu Muzahim asy-Syirazi dari Persia. Namun, al-Haddad tetap melanjutkan pekerjaannya.
Al-Haddad berkata, “Kalau beliau adalah Syaikh Abu Muzahim yang aku kenal, biarlah beliau menyaksikan langsung apa yang sedang aku kerjakan ini”. Dan benar, ketika Abu Muzahim datang dan melihat sendiri apa yang sedang dikerjakan al-Haddad, beliau lantas mencopot pakaian kebesaraannya dan langsung bergabung dengan mereka yang sedang membersihkan toilet.
- Iklan -
Kisah tersebut sepintas tampak sederhana dan biasa saja, padahal bila direnungi sangat besar sekali hikmahnya. Kita tentu tahu, toilet adalah tempat yang jorok dan bau yang tidak semua orang mau untuk membersihkannya. Terlebih bagi mereka; orang-orang kaya yang merasa memiliki pangkat tinggi seperti kaum pejabat. Biasanya mereka cukup menggaji pembantu untuk menyelesaikan segala urusan rumah tangga termasuk membersihkan toilet.
Padahal, bila ditinjau secara hakikat, ketika seseorang telah sanggup membersihkan toilet dengan sungguh-sungguh dan penuh keikhlasan, dia akan sangat mudah untuk beramal yang lain dengan nilai transendensi yang sangat tinggi. Syaikh Abu Bakar al-Warraq pernah menyatakan, “Tidaklah mudah mengerjakan hal-hal yang transenden dan murni untuk hadirat-Nya semata, kecuali bagi orang yang telah sanggup membersihkan toilet dengan sungguh-sungguh dan penuh keikhlasan.”
Hal itulah yang secara substansial pernah diteladankan oleh Rasulullah Saw ketika membersihkan kotoran seorang tamu yang kekenyangan dan bermalam di rumah beliau. Karena tak kuat menanggung rasa malu, si tamu kabur dengan meninggalkan kotorannya di rumah Nabi.
Tapi malang, kalung kesayangan tamu tersebut tertinggal di rumah Rasulullah, sehingga dia harus kembali untuk mengambilnya. Saat tiba di rumah Nabi, dia terkejut, (bahkan nyaris pingsan) saat menyaksikan langsung Rasulullah sedang membersihkan kotorannya. Singkat cerita, dia akhirnya memutuskan untuk masuk Islam (hal 105).
Kisah para ulama ahli tasawuf (sufi) dalam buku ini sangat menarik dijadikan bacaan yang dapat membantu meningkatkan ketakwaan serta keikhlasan kita dalam melakukan amal ibadah. Jangan sekali-sekali kita menyepelekan hal-hal atau kebaikan yang sepintas kecil dan remeh, karena bisa jadi hal tersebutlah yang menjadi wasilah seseorang meraih kemulian dan rida-Nya. Wallahu alam bish-shawaab.
***
*Sam Edy Yuswanto, penulis lepas mukim di Kebumen.
Ratusan tulisannya tersebar di berbagai media, lokal hingga nasional, antara lain: Koran Sindo, Jawa Pos, Republika, , Kompas, Jateng Pos, Radar Banyumas, Merapi, Minggu Pagi, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, dll.