Judul : Rahman Rahim Cinta
Penulis : Emha Ainun Nadjib
Penerbit : Noura Books
Cetak : 2021
Tebal : 300 halaman
ISBN : 9786232421912
Pada masa 1980-an, Emha Ainun Nadjib tekun mengamati arus perkembangan sastra. Puisi demi puisi digubah untuk dinikmati para pembaca. Ia pun menulis esai-esai pertanggungjawaban menempuhi jalan sastra. Esai-esai mengandung kritik puisi dan menggugat peran para penggubah puisi di Indonesia, dari masa ke masa. Ia ingin sastra memiliki faedah, melampaui bacaan atau kenikmatan di lembaran kertas.
Emha Ainun Nadjib (1982) mengatakan: “Karena esok pagi tantangan dan perhitungan zaman bakal makin lugas dan tak mungkin dihindari, maka inilah hari pengadilan atas diri sendiri. Hari-hari untuk ruh. Keberanian bertelanjang. Hari-hari pencucian.” Puisi bukan sekadar dituliskan tapi digerakkan di babak-babak peradaban. Puisi itu seruan meski kadang terdengar cuma bisikan. Bermula puisi-puisi, Emha Ainun Nadjib sadar ada pijakan-pijakan religius mengalami geliat peradaban dengan sekian kejutan dan kejatuhan. Puisi-puisi menjadi “keberanian” ketimbang keluhan atau keterlenaan.
Di buku puisi terbaru, ia sajikan puisi berjudul “Setiap Huruf Keasyikan-Nya”, menitip bait bagi pembaca: Aku tahu belum tentu bermanfaat bagi dunia/ Maka puisi ini tak kumaksudkan sebagai khazanah sastra/ Sekadar supaya anak cucuku mengingatnya/ Bahwa orangtuanya benar belajar menjadi manusia.
- Iklan -
Urusan terpenting adalah menjadi manusia, bukan pujangga kondang atau legendaris. Puisi belum tentu capaian estetika sebagai akhir. Kita sejenak mampir ke kalimat dibuat Darmanto Jatman (1982) dengan perubahan kecil: “Manusia adalah sumber dari puisi, maka pada manusianyalah mesti dikembalikan puisi.” Kalimat agak membekali kita membaca buku cukup tebal persembahan Emha Ainun Nadjib bagi pembaca masih mengalami hari-hari berwabah: Rahman Rahim Cinta (2021).
Peringatan terbaca dalam puisi berjudul “Menindih Kita”, renungan berlatar abad XXI. Emha Ainun Nadjib memberikan larik-larik mungkin selaras omongan-omongan saat pengajian: Dididik menjadi pedagang materi pahala dan dosa/ Sehingga habitat kebudayaan hidup kita sepi dari cinta/ Sehingga cuaca peradaban kita tidak menaburkan rasa mesra/ Sehingga iklim kebudayaan kita seperti pasar-pasar remeh/ Yang menghimpit kita dengan pamrih-pamrih laba/ Seakan-akan surga berlangsung dengan sistem nilai dunia. Kita merasakan ada sindiran dan kemarahan. Bait tanpa tanda seru. Kita mengerti ada hal-hal terulang dari seruan Emha Ainun Nadjib, sejak masa 1980-an. Pengulangan memastikan bahwa kita terpuruk dalam laju peradaban mutakhir.
Emha Ainun Nadjib (1982) sudah menginsafi: “Seorang penyair lebih dari sekadar tukang reka-reka. Ia adalah seseorang, sepenuhnya. Kalau tidak, tak perlu ada sebutan penyair, tak perlu terbit buku puisi.” Selama puluhan tahun, ia ingin memenuhi janji sebagai penggubah puisi dengan terbitan buku-buku puisi: sejak M Frustrasi sampai Rahman Rahim Cinta. Kegalakan tetap terbaca, sindiran-sindiran belum rampung dituliskan. Pada usia tua dengan rambut beruban, kita masih diperkenankan menikmati puisi-puisi baru gubahan Emha Ainun Nadjib. Puisi-puisi bergelimang “cinta”, diksi selalu bermunculan dalam babak-babak perpuisian sejak masa akhir 1970-an.
Renungan seorang tua dalam puisi berjudul “Jangan Menagih Puisi” membuktikan pemenuhan janji Emha Ainun Nadjib terus berpuisi: Jangan menagih puisi kepada pujangga sejati/ Ia bukan petugas sastra atau pelayan kebudayaan/ Ia adalah pujangga kehidupan/ Karena hidup adalah puisi yang disamarkan// Hidupnya itu sendirilah puisi/ usia dan sejarahnya memuat bait-baitnya/ Perilaku siang malamnya menyembunyikan cahaya/ Supaya engkau mencarinya.
Ia masih mahir berpuisi, konsekuensi kemauan bertemu dan bergaulan dengan kaum sastra masa 1970-an dan 1980-an di Malioboro, Jogjakarta. Babak sejarah saat orang-orang keranjingan menulis puisi, mendapat tempat dan berpengaruh dalam kesusastraan di Indonesia. Iman Budhi Santosa (2020) memberi keterangan penting atas masa lalu di Malioboro: “Risikonya, siang-malam mereka seakan mabuk. Kerjanya hanya menulis, menulis, dan menulis. Sementara yang dikejar bukan sekadar menulis puisi indah atau bagus. Melainkan berusaha mencari dan menemukan puisi yang memiliki keindahan, kebenaran, dan kebaikan sehingga bermanfaat bagi umat manusia.” Emha Ainun Nadjib dan Iman Budhi Santosa, bersama sejak muda sampai tua, memberi puisi-puisi bakal terus terbaca, dari masa ke masa.
Pada 2021, pembaca puisi-puisi gubahan Emha Ainun Nadjib mungkin menemukan “keterlaluan” ingin berhikmah. Ia memang tua, berhak bernasihat meski berbeda kadar saat muda dan keseringan menulis kolom di pelbagai majalah. Ia tak lupa membagi sindiran atas kebetahan di jalan puisi. Di puisi berjudul “Langit Semangat dan Harapan”, kita membaca sepintas gara-gara digoda klise-klise: Jangan tanya tentang puisi dan cinta kepada seniman dan pujangga/ Mereka sangat ahli dalam mencari kekurangan pada sesamanya/ Keistimewaan mereka memilah golongan dan aliran/ Profesi mereka mendaftar dan membuang. Kita membuktikan dan bersumpah bakal menghormati biografi berpuisi Emha Ainun Nadjib, tak ingin “membuang” pelbagai warisan mungkin tercecer di zaman terlalu sibuk berdigital. Begitu.
-Peresensi, Bandung Mawardi