Oleh Ade Mulyono
Pandemi virus Corona (Covid-19) telah menyebabkan dunia pendidikan dalam keadaan darurat. Penyebaran virus Corona yang terbilang tinggi tidak hanya menghentikan aktivitas pembelajaran secara konvensional (tatap muka), melainkan juga mengancam peserta didik putus sekolah secara permanen. Badan yang menaungi pendidikan, keilmuan, dan budaya di dunia atau United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada bulan Mei 2020 menyebutkan sebanyak 1,6 miliar pelajar terpaksa diliburkan dari sekolah dan universitas. Langkah itu diambil untuk mencegah penularan virus Corona secara masif. Tidak terkecuali penghentian aktivitas pendidikan di Indonesia secara konvensional yang diganti dengan pembelajaran daring (online).
Namun, persoalan tidak berhenti sampai di situ. Sebagaimana sudah diprediksi oleh banyak pihak, pandemi Covid-19 telah menyebabkan angka kemiskinan semakin bertambah dengan cepat. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada bulan Maret 2020, ketika virus Corona Covid-19 baru berumur dua bulan melanda Indonesia, angka kemiskinan sudah mencapai 26,42 juta jiwa. Jika di bandingkan di tahun 2019, maka jumlahnya naik di angka 1,6 juta jiwa.
Lalu apa dampaknya bagi kondisi pendidikan di Indonesia? Jelas adanya pandemi ini telah menyebabkan pendalaman kemiskinan—yang dengan sendirinya akan diikuti kesenjangan kelas sosial yang semakin menganga. Maka dalam hal ini kaum miskin akan menjadi kelompok pertama yang rentan terkena dampaknya. Mengingat kelompok miskin tanpa “perlindungan sosial” terutama dalam menghadapi problematika pendidikan dan kesehatan yang mengancam jiwanya.
Darurat pendidikan
Mengutip data UNESCO antara 90 sampai 117 juta anak di seluruh dunia dihadapkan langsung dengan kemiskinan akibat wabah Covid-19. Dengan kata lain, akan diikuti persoalan turunannya yang sangat fundamental: pendidikan. Konsekuensi dari kemiskinan tersebut, hampir 10 juta anak (peserta didik) terancam putus sekolah secara permanen. Bagi anak perempuan mereka disuruh menikah (pernikahan dini) untuk mengurangi beban ekonomi. Sementara bagi anak laki-laki terpaksa harus bekerja guna membantu beban ekonomi keluarganya. Darurat pendidikan itu juga yang sedang dialami pendidikan di Indonesia.
- Iklan -
Misalnya, belum lama ini, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Retno Listyarti, mencemaskan hasil temuannya di lapangan yang memperlihatkan darurat pendidikan di masa pandemi berpotensi menyebabkan peserta didik meninggalkan bangku sekolah dan lebih memilih menikah atau bekerja. Menurut Retno, yang menangani bidang pendidikan di KPAI, menjelaskan ada beberapa alasan utama yang menyebabkan anak meninggalkan bangku sekolahnya, yakni ketidakmampuan orang tua peserta didik untuk membayar sumbangan pembinaan pendidikan (SPP), serta minimnya sarana penunjang pembelajaran jarak jauh (PJJ).
KPAI yang melakukan pengawasan sekolah di delapan provinsi di Indonesia menyebutkan sebanyak 119 peserta didik berusia 15-18 tahun memilih untuk menikah. Dengan kata lain, peserta didik terpaksa memilih putus sekolah secara permanen. Tentu ini menjadi catatan serius bagi pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Nadiem Anwar Makarim. Dengan demikian, pemerintah diharapkan mengeluarkan program atau kebijakan yang dapat melindungi peserta didik terutama dari kelas sosial menengah (baru)-bawah. Hal itu harus dilakukan mengingat kaum miskin paling rentan terkena dampak dari adanya perubahan tatanan sosial dalam berbagai aspek. Tidak terkecuali aspek pendidikan.
Kehadiran Negara
Oleh karena itu, negara harus hadir memfasilitasi pendidikan untuk kaum miskin. Tentu dalam situasi pandemi ini status miskin tidak cukup digeneralisasi secara filosofis tentang nilai, buruh, dan upah belaka dalam pengertian kapital-negara. Selama ini status kaum miskin hanya di-stigmatisasikan pada kelompok yang kerap kali tidak diakui sebagai “subjek produksi sosial”. Seperti kita diketahui peserta didik di Indonesia tidak seragam status bawaannya: bahasa, ekonomi, sosial, budaya, dan infrastrukturnya.
Kebijakan pendidikan dalam situasi tanpa kepastian seperti ini, seyogianya harus berangkat dari perspektif etis pedagogi kritis. Pendidikan harus dilihat secara holistik. Bagaimanapun pendidikan sejatinya inheren dengan “tindakan politik” untuk menghasilkan kebijakan pendidikan yang “berkepihakan” terhadap kaum miskin. Jika darurat pendidikan ini diabaikan, maka akan menjadi bola salju yang terus menggelinding tak terkendali. Jadi, sudah seharusnya negara tidak boleh membiarkan peserta didik meninggalkan sekolah dan lebih memilih untuk menikah di usia dini. Ada konsekuensi sosial yang akan ditanggung dalam jangka panjang: disintegrasi. Mengingat betapa pentingnya pendidikan sebagai investasi bangsa dalam proyeksi jangka panjang.
Oleh sebab itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim, harus memikirkan ulang persoalan darurat pendidikan yang terbukti gagal diatasi dengan mekanisme pembelajaran jarak jauh (PJJ). Membagi-bagikan kuota internet ibarat “meninabobokan” peserta didik dari ancaman yang begitu nyata dan kompleks. Sebab, selama pandemi terjadi kesenjangan teknologi antara kota dan pelosok desa, antara peserta didik dari kelas mapan dengan peserta didik dari kelas miskin. Ketidakmampuan peserta didik mengakses internet dalam pembelajaran di dunia kedua (online), menjadi titik awal atas ketidakadilan dalam aktivitas pendidikan selama pandemi. Apalagi infrastruktur digital tidak dipersiapkan sedari awal untuk menghadapi laku pembelajaran yang mekanistik-sentralistik.
Sementara jika kita periksa secara komprehensif darurat pendidikan di masa pandemi, ada daya tahan sosial dari kaum miskin yang perlu diperhitungkan. Pembagian paket sembako yang dilakukan pemerintah pusat dan daerah hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, bukan untuk memenuhi infrastruktur pembelajaran di tengah badai pandemi. Itu menandakan kebijakan yang digulirkan pemerintah, tidak pernah memperhitungkan daya tahan sosial dari aspek pendidikan. Kini masyarakat menunggu gebrakan kebijakan pendidikan yang “out side the box”. Kebijakan yang nantinya akan memberikan suatu jaminan kepada peserta didik untuk tetap dapat mengakses pendidikan di tengah kepungan pandemi ini. Dalam perspektif etis pedagogi kritis, peserta didik harus menjadi pusat pembelajaran. Dengan kata lain, aktivitas pembelajaran harus disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan peserta didik itu sendiri.
Program Merdeka Belajar yang berjilid-jilid sebaiknya dialihkan untuk memikirkan kebijakan yang berorientasi pada penyelesaian pendidikan untuk kaum miskin di tengah ancaman pandemi ini. Opini dan gagasan luas yang beredar di ruang publik selama pandemi, hanya memfokuskan pada mutu pendidikan yang ornamental dan artifisial—yang ujungnya hanya untuk kebutuhan industri dan pabrik belaka. Siapa yang diuntungkan dan siapa yang dapat menikmati model sistem pendidikan semacam itu? Jelas bukan kaum miskin, melainkan mereka yang kuat secara ekonomistik. Jika hal itu terus menerus diuruti oleh pemerintah, maka negara hanya melayani kepentingan kapital, bukan pendidikan yang diselenggarakan atas dasar keadilan sosial.
– Penulis adalah pemerhati pendidikan pedagogi kritisi dan kajian feminisme. Sedang menyiapkan buku terbarunya “Pendidikan yang Memerdekakan”.