Oleh : Abdul Warits*
Judul : Sains “Religius” Agama “Saintifik”
Penulis : Haidar Bagir dan Ulil Abshar Abdalla
Penerbit : Mizan Pustaka
Cetakan : Agustus, 2020
Tebal : 169 halaman
ISBN : 978-602-441-178-7
Media sosial (medsos) tiba-tiba menjadi media perdebatan krusial topik agama dan sains. Medsos menjelma “ladang” bertukarnya gagasan kritis untuk membela kelompoknya masing-masing hingga timbul “fanatisme” antara pengagum sains dan agama—atau dalam istilah buku ini—“gumunan”. Yaitu kelewat kagum hingga kehilangan daya kritis (hlm 22).
Kelompok agama dan sains selalu bersitegang untuk membenarkan “pandangan keilmuannya”. Idealisasi keduanya tentu akan menciptakan integrasi yang bermutu meski ujung-ujungnya berakhir buntu. Kesempurnaan keduanya pasti memiliki kekurangan dan hal itu berhasil diungkap di dalam buku ini.
- Iklan -
Buku ini menghadirkan sikap kritis dan berimbang kepada pembaca dengan kemasan yang berbeda dari perdebatan-perdebatan pelbagai kalangan sebelumnya. Pertama, Haidar Bagir tidak pernah nimbrung dalam perdebatan di facebook yang terjadi beberapa waktu lalu. Kehadirannya dalam buku ini sebagai sosok “proporsionalitas” yang berjiwa “independen” dalam konteks agama dan sains.
Haidar Bagir lebih tepat karena pernah intim dengan dunia sains dan filsafat semasa kuliahnya. Bisa jadi Haidar Bagir adalah sosok “Al-Ghazalinya Indonesia”. Haidar Bagir—saya kira—sebagai seorang yang berada di poros tengah. Karena akhir-akhir ini ia lebih menggeluti dunia tasawuf (sebagaimana Al-Ghazali pada masa tuanya).
Akan tetapi, dirinya tidak lantas menjadi pemuja sains. Justru Haidar Bagir memberikan data-data penting yang perlu diketahui oleh publik tentang “kemolekan sains” dan “jerawatnya”. Terutama pengamataannya dalam membaca peluang dan ancaman sains di masa mendatang. Haidar masih bersikap toleran terhadap sains karena baginya memusuhi sains hanyalah menjadikan umat manusia atau kelompok manusia tertentu mengalami kerugian besar karena kehilangan sebagian kebenaran objektif untuk memahami kehidupannya (hlm 70).
Selain itu, Haidar Bagir tidak menafikan partisipasi aktif pemikiran keagamaan dalam dunia sains. Bahkan, dari segi teologi, Imam Syafi’i, Imam Ghazali yang berhaluan asy’ariyah, Sayyid Qutb tokoh radikal Ikhwanul Muslimin menunjukkan kepercayaan yang kuat terhadap hukum alam atau metode saintifik (hlm 76).
Di akhir judul esainya di buku ini, Haidar Bagir mendorong umat Islam untuk kembali mengambil alih sains dan memolesnya dengan program-program dan strategi kebudayaan. Begitupun Ulil Abshar Abdalla. Kedua tokoh ini memiliki batas-batas tertentu untuk memahami agama dan sains. Ada hal-hal yang perlu ditoleransi, tetapi ada juga hal-hal yang perlu dipadukan.
Sesekali Haidar Bagir menghadirkan satu tokoh sebagai pertimbangan kritis sekaligus upayanya dalam meredam konflik agama dan sains, apalagi—menurutnya—masyarakat harus kritis terhadap “sains modern”.
Menurut Feyerabend seorang ahli filsafat sains, mengatakan bahwa sains bermula sebagai gerakan yang membebaskan tetapi seiring dengan berjalannya waktu ia semakin menjadi dogmatis dan kaku. Semakin lama sains semakin menjadi ideologi (hlm 32).
Karenanya, setiap aliran sains ditentukan oleh paradigma yang ditentukan oleh saintis atau masyarakat ilmiah yang memperkenalkan suatu teori dalam sains. Walaupun begitu, Haidar Bagir memang mengakui tentang adanya daya berpikir manusia selain berpikir empiris dan rasional. Maka, sebuah teori memenuhi syarat disebut ilmiah jika justifikasinya bersifat rasional dan empiris (hlm 46).
Sementara Ulil Abshar Abdalla merupakan representasi tokoh agamawan yang berpartisipasi dalam perdebatan yang alot itu. Tiga esai Ulil Abshar Abdalla (Antara Sains dan Soto, “Qutbisme” dan Kepongahan Saintifik, Tentang Koresionalisme) yang dipublikasikan kembali di buku ini sebagai justifikasinya dalam meredam konflik agama dan sains.
“Qutbisme” adalah cara pandang berlebihan di dalam dua hal: Pertama, kepongahan yang terbit karena seseorang “merasa” telah memegang kebenaran mutlak. Kedua, self-righteousness yaitu perasaan paling shaleh sendiri, sementara orang lain berada di lorong kesesatan dan karena itu perlu diselamatkan (hlm 104).
Dua faktor ini yang melatarbelakangi esai-esai lain Ulil Abshar Abdalla untuk mengkritik sains tetapi melarang untuk saling membenarkan. Antara sains dan agama keduanya adalah dua kutub mata uang yang sama-sama berharga dan harus dihargai eksistensinya. Ulil Abshar Abdalla menganjurkan agar kaum intelek tidak boleh pongah lalu memandang remeh beragama orang-orang awam di dusun (hlm 160). Atau jika memilih agama, anda bodoh, belum dewasa, belum out growing. Jika memilih sains, anda dewasa, matang, dan harus meninggalkan agama (hlm 127).
Titik tumpu buku ini berusaha menjadikan sains memiliki relevansi dengan agama. Di samping itu, agama juga diusahakan memiliki relevansi dengan sains sehingga menemukan integrasi antara agama dan sains. Maka, buku ini ingin memadukan term “sains” dan “agama” menjadi satu kesatuan dalam rangka meredam fanatisme kelompok sains dan agama.
Esai-esai Haidar Bagir dan Ulil Abshar Abdalla sebenarnya ingin melegitimasi secara lembut tentang relevansi sains dan agama dalam bidang-bidang tertentu sehinga bisa menghadirkan pertimbangan-pertimbangan matang bagaimana mempersiapkan masa depan sains dan agama bagi umat Islam.
Idealisasi sains dan agama terdapat dalam bidang-bidang tertentu. Haidar Bagir mendekatinya dengan filsafat, sementara Ulil Abshar Abdalla lebih mengklasifikasi dan menguak fakta sejarah dalam Islam tentang dunia sains yang harus dipelajari secara hati-hati. Jangan sampai karena husnuddzan kepada saintis yang ilmunya seolah-olah bisa menjelaskan segala hal, maka apapun yang dikatakan oleh saintis –termasuk dalam masalah teologi—diterima semua begitu saja (hlm 144).
Haidar Bagir dan Ulil Abshar Abdalla memang sepakat dengan pandangan Al-Ghazali dalam mengkritik para filsuf yang mengadopsi sains, apalagi terlalu mengagungkannya. Hanya saja, Ulil Abshar Abdalla lebih menguak fakta sejarah tentang tidak boleh bercampurnya ranah sains ke dalam teologi.
Agama dan sains adalah dua kutub yang memiliki kebaikan. Tetapi, meski keduanya adalah sesuatu yang baik seharusnya manusia tidak boleh terlalu membenci terhadap keduanya karena terkadang apa yang dibenci itu ternyata baik dan membawa kebaikan. Karenanya, jangan terlalu mencintai sesuatu karena apa yang kita cintai itu malah membawa dampak buruk. Mencintai sains dan agama harus proporsional agar tidak kehilangan daya kritis.
*Abdul Warits, Alumni PP. Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, Madura. Karyanya terkumpul dalam Pesan Damai Aisyah, Maria, Xi king (Antologi Penyair Asean IAIN Purwokerto 2018), Requiem Tiada Henti, Gelombang Puisi Maritim, Seratus Puisi Qur’ani, Majalah Sastra Horison Kaki Langit, Seharusnya Kita Tak Saling Rindu, Puisi Akrostik FAM Publishing, Radar Madura, KabarMadura, Harian Bhirawa, Analisa, Rumahliterasisumenep.org, Hidup dan Pilihan, Cahaya Santri, Multatuli Fest 2018, Sagara (Antologi Cerpen LPM Spirit UTM Bangkalan), Majalah Infitah, Inspirasi, Muara, Tafakkur, Buletin Jejak Jawa Barat, Buletin Sidogiri, Tifa Nusantara IV, Sundul Langit (Antologi Cerpen Pesma An-Najah Purwokerto) Yang berlari dalam kenangan (Persi: 2019) Kelulus (Persi : 2017). Pernah meraih juara I Lomba menulis Puisi Rakyat Sumbar 2017 dan Juara III Menulis Puisi Event Bumi FAM Publishing, Juara I Lomba menulis Esai Perdamaian CCSMora Nasional 2016, Juara III Lomba menulis Esai FORKOMMI UGM, menjadi Finalis dalam Lomba Esai Se-Madura di Universitas Trunojoyo Madura Bangkalan, Juara II Lomba Menulis Cerpen LPM Spirit UTM Bangkalan, Pemenang Harapan I Lomba Cipta Cerpen Remaja Balai Bahasa Jawa Timur 2019, Juara II Lomba Cipta Puisi Dinas Kepustakaan dan Kearsipan Kab. Sumenep 2019. Pernah aktif di Komunitas Penyisir Sastra Iksabad (PERSI), Lesehan Sastra Annuqayah (LSA) dan Istana Pers Jancukers (IPJ) Lubangsa, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Fajar Instika dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat Guluk-Guluk.