Oleh Pandu Wijaya Saputra
Dulu saat masih sekolah, saya selalu bersemangat ketika guru mengajak atau menugaskan kami menonton film. Meski setelahnya harus mereview, tapi tak masalah. Film menjadi sebuah media pembelajaran yang menyenangkan sekaligus menghibur bagi para murid disela sesaknya materi pelajaran formal yang membuat jenuh dan lelah.
Hampir sepanjang tahun lalu kita menerapkan metode belajar seperti itu, pemerintah menyajikan film-film edukatif dan inspiratif di TVRI sebagai bahan pembelajaran di rumah akibat pandemi. Hasil survei pemerintah di awal menunjukan baik siswa maupun orang tua puas dengan metode ini. Meski banyak riset menunjukan anak mulai jenuh di penghujung tahun, tapi itu lebih karena mereka terlalu lama di rumah.
Seperti dongeng, kekuatan dari film adalah CERITA. Orang memang lebih tertarik dengan cerita: dengan bercerita orang jadi lebih dekat, dengan bercerita orang jadi akrab, dengan bererita orang jadi teman. Dan, sebagai sebuah cerita yang utuh dan ditulis, naskah film layak disejajarkan dengan karya tertulis lainnya yaitu sastra — khususnya novel dan cerpen. Sementara estetika sastra ada pada bahasa, estetika film ada pada visual yang disajikan.
- Iklan -
Tulisan (teks) dapat disebut salah satu produk intelektual kebudayaan yang paling tua setelah dongeng atau budaya tutur. Setelah kemunculan teknologi penulisan, budaya tutur pun banyak ditulis. Lalu ia berkembang menjadi lebih estetis, maka lahirlah sastra. Dan sejak itu, ia pun telah mewarnai bahkan mengisi sejarah peradaban manusia.
Tapi, tampaknya selama ini sastra belum cukup mendapat tempat yang layak di masyarakat kita. Pengarang Ahmad Tohari pernah menegaskan bahwa peminat sastra di Indonesia tak sampai 0,1 persen, jauh bebeda dari negara-negara maju. Menurutnya, hal ini disebabkan tradisi lisan kita yang sangat kuat dan minat baca yang rendah (literasi).
Angka buta huruf kita kita memang rendah, artinya mayoritas sudah bisa membaca. Tapi, bisa membaca belum tentu bisa memahami apa yang dibaca, bisa memahami juga belum tentu bisa menikmati, padahal sastra harus bisa dinikmati. Akibatnya, keberjarakan dengan sastra pun tercipta di masyarakat kita, termasuk di dunia pendidikan.
Porsi sastra sangat sedikit dibanding materi belajar lainnya. Padahal, seharusnya sastra menjadi bagian tak terpisahkan dari pendidikan sehingga anak-anak tak hanya diarahkan untuk menjadi orang yang bertakwa, cerdas dan terampil tapi juga perasa.
Ki Hajar Dewantara pun telah menegaskan hal ini jauh-jauh hari, bahwa estetika berguna untuk mengasah budi. Ia menjadi dasar tajamnya cipta, halusnya rasa dan kuatnya karsa. Dan, sebagai salah satu bentuk estetika kebahasaaan, bukankah sastra layak ditempatkan di ruang pendidikan?
Menurut saya dua hal yang menjadi tantangan terbesar sastra dalam pendidikan adalah stamina dan waktu. Harus diakui di tengah budaya layar – visual , porsi anak dalam membaca bacaan yang banyak makin berkurang. Mereka lebih terbiasa menonton layar. Kalaupun membaca maka sebatas teks informasi singkat. Akibatnya, stamina membaca anak tak akan terbentuk.
Kedua adalah waktu. Orang harus memiliki eksklusifitas waktu untuk dapat membaca dan menuntaskan karya sastra dengan nikmat. Dan itu belum ada dalam dunia pendidikan. Dulu, pernah ada program 15 menit membaca sebelum mulai kelas, menurut saya itu benar-benar sebuah gebrakan dalam budaya pendidikan. Dan buku yang harus dibaca bukan buku pelajaran, maka disini karya sastra dapat masuk. Tapi sayang program tersebut tidak berlanjut.
Lalu, sejauh mana sastra dapat berkontribusi pada pendidikan kita? mengingat dia seolah seperti hantu, sering didengungkan tapi tak pernah nampak dalam peta pendidikan.
Tak perlu jauh-jauh untuk menjawabnya, kita bisa melihat dari bapak pendidikan kita Ki Hajar Dewantara. Pangeran Sasraningrat, ayah beliau, merupakan seorang seorang sastrawan dan penyair yang sudah banyak mewariskan karya tulis berupa buku atau serat. Tak bisa kita pungkiri kepenyairan ayahnya tentu berpengaruh pada dirinya. Dan, Ki Hajar sendiri tercatat pernah menggubah beberapa tembang (sajak).
Tak hanya itu, menurut Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud Iwan Syahrir, pemikiran Ki Hajar dipengaruhi oleh tiga tokoh besar yaitu Friedrich Frobel, Maria Montessori dan Rabindranath Tagore. Nama pertama dan kedua tak mengejutkan, mereka adalah tokoh pendidikan di Eropa. Tapi yang menarik adalah nama terkakhir, ia adalah sastrawan peraih nobel dan memiliki hubungan dekat dengan Ki Hajar Dewantara.
Maka, tak salah jika kita mengatakan khasanah kesusasteraan, baik dari keluarga maupun proses belajarnya sendiri, telah membentuk sosok Ki Hajar Dewantara yang kita kenal.
Tapi, saya teringat sebuah selentingan dari budayawan Jogja, Toto Rahardjo, yang berkata bahwa yang tersisa kini dari Ki Hajar hanyalah kutipan-kutipannya. Tentu pendapatnya boleh didebat, tapi bisa jadi ada benarnya. Sejak TK sampai sekarang, saya akui lebih banyak melihat kutipan daripada merasakan visi maupun pemikirannya.
Mungkinkah pendidikan nasional yang dia bidani justru telah jauh meninggalkan visinya? Apakah pendidikan kita sudah sejalan dengan visi beliau bahwa pendidikan itu memerdekakan dan mengutuhkan kemanusiaan kita?
Jika belum, mungkin kita perlu kembali menelusuri jejaknya-jejaknya untuk dijadikan acuan dalam pendidikan Kita perlu menanamkan budi, estetika dan rasa dalam diri siswa untuk mengutuhkan kemanusiaan mereka. Karenanya, bukan tak mungkin literasi (baik sastra maupun film) harus mendapat tempat yang lebih layak dalam pendidikan.
Dan, momen pandemi dengan metode belajar yang sedikit berbeda ini menjadi kesempatan baik untuk mengajarkan literasi pada anak, sekaligus menjadi kesempatan untuk lebih mendekatkan orang tua dengan anaknya.
–Pandu Wijaya Saputra adalah Peminat kajian sastra dan budaya