Oleh Sam Edy Yuswanto*
Selama saya menekuni dunia kepenulisan, nyaris setiap ada penulis yang baru berhasil menerbitkan sebuah buku, ada saja teman yang minta buku gratisan kepadanya. “Aku mau dong dikasih bukunya satu,” kalimat semacam ini atau sejenisnya, mungkin biasa dilontarkan oleh mereka, orang-orang yang gemar meminta buku secara cuma-cuma alias gratisan.
Entahlah. Saya merasa heran. Mengapa ada orang yang begitu mudahnya meminta buku gratis kepada temannya yang telah susah payah melahirkan karya. Belum lagi, proses menerbitkan buku (terlebih bila karya kita berhasil menembus penerbit mayor) itu memakan waktu yang tidak sebentar. Sebelum buku diterbitkan di penerbit mayor misalnya, karya kita harus melewati seleksi yang cukup ketat. Bila karya kita lolos, maka kita akan dikabari, lalu melewati proses editing, pembuatan cover buku, permohonan nomor ISBN ke Perpusnas, dan masih ada sederet proses yang cukup menyita tenaga dan pikiran hingga akhirnya buku kita diedarkan di toko-toko buku offline maupun online.
Kesimpulannya, untuk menerbitkan sebuah buku itu tidaklah mudah dan memakan waktu cukup lama. Lalu, ketika buku kita berhasil diterbitkan dan dipasarkan di toko buku, dengan entengnya teman kita bilang, “Minta bukunya dong, satu.” Mungkin kalau harga buku itu senilai satu buah pisang goreng atau segelas es teh, kita masih bisa menolerir dan berusaha memberikan gratisan. Tapi yang jadi persoalan adalah; harga buku kita itu mahal. Sebagaimana kita ketahui, harga buku-buku baru dengan ketebalan di atas seratus halaman, biasanya dipatok antara 40-70 ribu rupiah. Belum lagi biaya ongkos kirim (bila kebetulan kita menjual buku via online) yang harus ditanggung. Coba bayangkan, setega itukah kita (dengan tanpa merasa berdosa pula) meminta buku gratisan kepada teman yang barusan menerbitkan buku?
- Iklan -
Belum lama ini, saya juga baru menerbitkan buku kumpulan cerpen melalui jalur penerbit indie. Sebagaimana kita ketahui bersama, ketika menerbitkan buku indie kita harus mengeluarkan modal sendiri. Termasuk biaya layout dan cover buku yang cukup menguras isi kantong. Lantas, ketika buku saya benar-benar terbit dan saya mempromosikannya melalui media sosial (Facebook dan Instagram) ada saja teman yang tanpa merasa sungkan minta jatah buku gratisan kepada saya. Saya pun menanggapinya dengan menjelaskan harga buku tersebut, belum termasuk ongkos kirimnya.
Setelah dijelaskan ia tetap tak mau berniat membeli, maunya minta gratisan saja. Saya pun tak menanggapinya lagi. Saya menganggapnya angin lalu saja dan tak perlu merasa marah kepadanya. Terlebih, sebelum ini, saya juga sudah pernah mengalami hal yang serupa; ada orang yang mengharapkan buku gratisan kepada saya.
Kebiasaan Buruk
Mengharapkan buku gratisan kepada teman yang baru saja menerbitkan buku, menurut saya adalah hal yang sangat tidak pantas dilakukan. Apalagi sampai dijadikan budaya, adat, atau kebiasaan. Jadi, bila di masa lalu kita pernah meminta buku gratisan kepada seorang teman, mulai sekarang berhentilah, jangan diulangi lagi. Andai kita sedang tak memiliki uang untuk membeli buku, jangan lantas dengan entengnya minta jatah buku gratisan. Karena untuk melahirkan sebuah karya, butuh proses dan perjuangan yang sangat berat. Termasuk tenaga, waktu, dan pikiran. Mestinya bila kita ingin melihat teman kita terus melahirkan karya, kita berusaha memberikan support, dengan cara membeli misalnya. Atau, bila memang belum atau tidak ingin membeli, minimal sampaikan ucapan selamat dan doa-doa kesuksesan padanya.
Saya sempat berpikir, apakah orang-orang yang gemar minta buku gratisan itu benar-benar pembaca buku atau orang yang hobi membaca? Jangan-jangan setelah dia diberi buku gratis, buku tersebut tak pernah dibacanya, hanya teronggok menyedihkan di atas meja atau rak buku. Orang-orang semacam ini, menurut saya adalah termasuk orang yang tak pernah bisa menghargai kerja keras temannya dalam berkarya.
Tak Mau Membayar
Selain budaya minta buku gratisan, ada juga sebagian orang yang tidak mau membayar buku yang sudah dikirimkan kepadanya. Saya pernah mengalami kejadian yang tak mengenakkan ini. Tepatnya ketika ada sebagian orang yang ingin membeli buku karya saya. Saya pun segera menotal harga buku dan ongkos kirimnya. Setelah itu mengirimkan paket buku tersebut kepadanya. Namun apa yang saya dapatkan? Setelah buku tersebut sampai, mereka tak mau membayarnya. Mereka hanya berjanji, tapi ujungnya tetap mangkir alias tak mau membayar.
Sekadar catatan, selama ini, saya terbiasa menaruh kepercayaan yang tinggi kepada orang atau teman-teman yang ingin membeli buku saya. Artinya, saya biasa mengirimkan buku terlebih dahulu, soal pembayaran bisa dilakukan belakangan ketika paket buku telah sampai ke alamat tujuan, atau menunggu orang tersebut memiliki uang.
Lalu, setelah sekian lama, mereka tetap tak mau membayar utangnya pada saya. Berkali saya mengecek e-banking pun tetap tak ada transferan uang dari mereka. Akhirnya, saya pun memilih diam. Tak lagi menagihnya. Saya merasa sungkan sendiri. Saya kemudian berusaha menjadikan pengalaman tak mengenakkan tersebut sebagai pelajaran berharga agar ke depan lebih berhati-hati lagi ketika ada orang atau teman (terlebih yang belum begitu kenal karakternya) hendak membeli buku kepada saya.
Melalui tulisan ini saya berpesan kepada para pembaca, jangan sekali-kali meminta buku gratisan kepada teman yang baru menerbitkan sebuah buku. Hargailah usaha teman kita dengan cara membeli atau minimal memberikan ucapan selamat dan semangat kepadanya.
*Sam Edy Yuswanto, penulis lepas mukim di Kebumen.