Oleh Hamidulloh Ibda
Sebagai orang yang pernah bekerja sebagai pewarta bahkan sampai hari ini masih bergelut di dunia pers dan jurnalistik, saya pribadi menaruh perhatian serius terhadap perkembangan pers di negeri ini. Perhatian itu tak sekadar “perhatian” namun sudah saya wujudkan ke dalam berbagai aspek dan gerakan.
Salah satunya adalah menghidupkan Gerakan Literasi Ma’arif (GLM) sebagai salah satu program unggulan pengurus Lembaga Pendidikan Ma’arif PWNU Jawa Tengah periode 2018-2023. Program ini mengarah kepada karya tulis jurnalistik, karya tulis ilmiah, karya sastra, dan karya digital. Program ini terus berjalan hingga detik ini dengan berbagai dinamika yang mengiringinya.
Di kampus, saya menggerakkan jurnalistik kampus. Begitu pula di ranah sosial, saya mengembangkan sembilan media online, lima penerbitan buku, mengelola sejumlah jurnal ilmiah dan menghidupkan lima channel Youtube. Namun seiring berkembangnya zaman, saya mengamati ada fenomena “lost truth” bukan sekadar “post truth”.
- Iklan -
Bahasa lainnya, ada indikasi yang terjadi hari ini tak sekadar “post truth” melainkan sudah terjadi “lost truth”. Idiom ini jika kita merujuk ke dalam beberapa literatur sudah ada yang mengkajinya sejak dulu.
Ada banyak buku karya Kim Harrison yang mengilustrasikan soal truth: kebenaran. Meski fiksi, kita perlu menelaah buku Harrison mulai dari First Truth (2002), Forgotten Truth (2003), Lost Truth (2004). Jauh sebelum Harrison, Huston Smit juga telah menulis Forgotten Truth: The Common Vision of the World’s Religions (1976).
Kebenaran atau truth dalam karya-karya itu tentu dapat kita jadikan paradigma dalam kebenaran sebagai produk akhir dari pers yaitu sebagai produsen informasi yang dapat menjadi sebuah pengetahuan dan kebenaran.
Kebenaran dalam pers dapat kita terjemahkan melalui epistemologi barat seperti rasionalisme, empirisme, kritisisme, intuisionalisme, dan lainnya. Dalam epistemologi Al-Jabiri, ada istilah Bayani, Burhani dan Irfani yang jelas-jelas mengarah kepada masalah sumber kebenaran. Bisa dari wahyu, teks suci, akal, literatur, dan alam. Namun masalahnya, pers kita hari ini mendapat banyak pesaing “produsen informasi” yang bebas nilai dan laiknya hutan belantara, yaitu medsos meski tidak semua warganet berpola demikian.
Namun dampaknya sangat besar. Sebab, di era banjir informasi, big data seperti ini informasi “pating sliwer” tidak jelas sumber dan kebenarannya. Maka wajar orang membaca teks, menonton video dan mendengarkan suara hanya untuk hiburan dan iseng, bukan lagi untuk mendapatkan pengetahuan apalagi kebenaran.
Pers dan Misi Kenabian
Bagi pers, kebenaran menjadi harga mati. Alasannya karena pers membawa misi kenabian. Kata berita, kabar, itu berasal dari “naba a”. Kata nabi sendiri berasal dari “naba” yang artinya yang dimuliakan, ditinggikan, diunggulkan, dan dari kata “naba a” yang berarti berita. Intinya, secara bahasa, nabi merupakan orang yang memberinya wahyu (berita) yang ditinggikan derajatnya oleh Allah.
Melihat tugas pers dan nabi itu sama; kompatibel. Hal itu juga didorong teologi pers dengan dasar hadis Nabi Muhammad yaitu “katakan kebenaran, sekalipun itu pahit”. (H.R.Ahmad).
Kebenaran itu memang pahit. Namun laiknya obat, pil/kapsul, jamu, semuanya pahit tapi ia dapat menjadi sarana mengurangi rasa sakit dan dapat menyembuhkan.
Tugas-tugas mewartakan truth atau kebenaran inilah yang dapat dicapai pers dari sebuah kepercayaan atau trust. Dari trust menuju truth inilah pekerjaan berat namun sangat mulia. Ketika ada pejabat korupsi Rp 1 miliar, pers wajib mewartakan seperti itu dan tidak boleh memelintir atau bahkan melakukan falsifikasi.
Soal truth variannya bisa kita jajarkan dengan fakta, kebenaran, dan semua itu tidak lepas dari peran pers. Entah dari organisasi persnya; PWI, AJI, IJTI, atau perusahaan persnya; Kompas, Media Indonesia, Tempo, atau pekerja persnya; pimred, wartawan/jurnalis/reporter, editor dan lainnya.
Mereka mau tidak mau, bertanggungjawab atas tersedianya kebenaran yang implisit maupun eksplisit terhadap produk persnya. Baik itu media massa cetak (koran, majalah, tabloid, buletin), media massa online, radio, televisi atau sejenisnya.
Pers dan “Lost Truth”
Fungsi pers sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 menyebut sebagai media komunikasi/informasi, edukasi, hiburan dan ekonomi/bisnis. Dari dasar hukum ini sebenarnya sudah jelas. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran juga diatur bagaimana alur siaran agar menjalankan fungsi-fungsi tersebut.
Masalahnya, media-media pers di atas saat ini sudah “dikalahkan” atau digeser oleh media sosial; Facebook, Twitter, Instagram, Path, Pinterest, TikTok, layanan pesan; WhatsApp, Line, Messengger, Wechat (Weixin), media baru; Netflix, Youtube dan sejenisnya.
Inilah asumsi saya yang menyebabkan lahirnya lost truth alias kebenaran yang hilang atau hilangnya kebenaran. Bukan sekadar pascakebenaran atau post truth. Seperti contoh; orang acuh dengan adanya berita di media massa cetak koran. Yang baca paling orang-orang pensiunan dan pengunjung perpustakaan karena di sana ada koran.
Namun ketika ada unggahan gambar, kata-kata, video di Facebook, bahkan WhatsApp, semuanya dianggap sebagai sebuah informasi bahkan kebenaran. Konvergensi informasi dan kebenaran atau fakta dari media massa pers ini telah diambil alih oleh media sosial.
Minimnya tabayun, disiplin verifikasi warganet menjadikan kebenaran bias bahkan lost. Psikologi mereka juga meneruskan paradigma kuno “bad news is good news”. Belum lagi menjamurnya hoaks, berita palsu, ujaran kebencian, menjadi kebenaran seolah-olah memang tidak ada di dunia digital kita.
Padahal jumlah pengguna media sosial di negara ini super banyak. Indonesian Digital Report 2020 menyebut jumlah populasi (penduduk) Indonesia 272,1 juta. Dari data ini toral pengguna mobile unik: 338,2 juta, internet: 175,4 juta dan konsumen medsos aktif: 160 juta. Jumlah pengguna Facebook di Indonesia tahun 2020: 130 juta jiwa, pengguna Instagram di Indonesia tahun 2020: 63 juta jiwa.
Dari data ini belum termasuk data lain yang tiap tahun makin bertambah karena akibat pandemi covid-19, hampir semua anak, siswa dan mahasiawa menggunakan gawai untuk sekolah. Karena intensitas mereka mengonsumsi medsos lebih tinggi daripada belajar daring.
Dari problem ini, pers harus mencari formula agar misi kenabian di atas dapat direbut kembali dari tahta media massa. Pers harus bebas dari “kepentingan politik” dan cengkeraman kepentingan.
Rumusnya; berpihak kepada kebenaran, masyarakat dan teologi pers harus dapat dilakukan. Pers harus tegas berani menolak “titipan-titipan” berita yang mengaburkan kebenaran aslinya dan hanya menguntungkan orang atau kelompok tertentu.
Momentum Hari Pers Nasional 2021 yang diperingati 9 Februari 2021 ini harus menjadi pemicu kebangkita. Apalagi temanya “Bangkit dari Pandemi, Jakarta Gerbang Pemulihan Ekonomi, Pers Sebagai Akselerator Perubahan”. Maka hukumnya wajib bagi pers untuk selalu berkomitmen mewartakan kebenaran; real truth bukan post apalagi lost truth.
Pers juga harus cerdas dalam melakukan inovasi agar masyarakat tetap percaya dan mengonsumsi produk pers mereka daripada produk medsos yang bias, tanpa filter dan bebas nilai. Pers itu ada organisasinya, redaksinya, aturannya, jelas orangnya. Sedangkan medsos?
Maka saya berani berasumsi bahkan yang lost truth itu bukan persnya melainkan medsosnya.
Lalu, apakah kita akan membiarkan lost truth ini semakin merusak akal sehat dan cara berpikir masyarakat kita?
–Penulis adalah Koordinator Gerakan Literasi Ma’arif (GLM) LP. Ma’arif PWNU Jawa Tengah, Dewan Pengawas Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL) Temanggung TV.