Oleh Isna Maulida Ahmad
Apakah benar orang yang merasa dirinya muslim sudahkah sah dianggap muslim? Sampai saat ini rasanya masih malu jika mengaku-ngaku sebagai seorang muslim namun banyak syariat yang ditinggalkan. Memang benar sudah menjadi muslim secara status sejak dalam kandungan hingga lahir di bumi pertiwi, namun dalam melaksanakan syariat masih banyak amalan yang ditinggalkan. Lantas hal ini yang menjadi cambukan supaya terus bersemangat belajar dan membenahi diri.
Saya teringat kata-kata luar biasa dari salah satu dosen mengatakan “Manusia untuk berbuat baik sejatinya bisa dilakukan tanpa beragama. Lantas apa artinya? Ini adalah sindiran bagi manusia yang beragama, bahwasanya karena mereka beragama seharusnya bisa menjadi lebih baik”. Saya percaya bahwa semua agama mengajarkan kebaikan. Dan semua agama benar menurut pemeluknya masing-masing. Dengan seperti ini, tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Menumbuhkan sikap toleransi sedari dulu memang penting, terlebih saat ini banyak terjadi isu-isu kekerasan yang berkedok agama. Agama dijadikan alat untuk membenarkan tindakan kekerasan, apa Tuhan tidak marah melihat ini? Perdamaian lebih nikmat daripada permusuhan. Marilah kita selalu berdamai.
Karena saya beragama islam, maka sudah selayaknya mulai mengenal agama sendiri dengan baik. Ibaratkan manusia punya kekasih kemudian menyatakan cintanya hingga akhirnya mejalin suatu ikatan, tapi sebenarnya mereka berdua secara pribadi tidak saling mengenal. Maka lebih baik sebelum menyatakan hubungan kenali dulu kekasihnya. Begitu juga dalam beragama, kerap kali sejak lahir sudah menjadi muslim karena orang tua. Di lain sisi tidak diberikan kebebasan untuk memeluk keyakinan. Maka dalam kasus seperti ini tugas orang tua ada dua, jika ia menginginkan sang buah hati ikut bersamanya, maka sudah seharusnya sedari dini dikenalkan tentang ajaran islam dengan baik. Namun jika orang tua lebih membebaskan pilihan anak, maka harus lebih menoleransi pilihan mereka. Dari sini tampak orang tua memiliki peran yang sangat besar dalam menentukan pilihan-pilhan anak ke depanya.
- Iklan -
Sangat bersyukur tumbuh di lingkungan muslim yang penuh kedamaian. Tidak menggunakan kekerasan dalam menanggapi segala perbedaan. Semua diselesaikan dengan baik dan saling menghormati. Mengenal agama sendiri bagi saya sangat penting. Sebanyak apapun ilmu duniawi, rasanya tidak adil jika ilmu akhirat tidak dipelajari. Belajar agama memang tidak mudah tapi mencobanya jauh lebih baik.
Salah satu proses belajar yang paling disuka dari pengajaran ala NU ialah pembacaan albarzanji. Tabuhan rebana dan lantutan selawat membuat hati tenang. Sedari kecil sudah diperkenalkan dengan budaya pembacaan albarzanji sehingga tidak asing. Layaknya seseorang yang sedang bernyanyi, albarzanji juga melantunkan ayat-ayat selawat sembari diiringi tabuhan musik rebana.
Namun proses albarzanji tidak se-sederhana itu. Para pelantun hingga pendengar diharapkan menghayati dan memahami makna dari lantunan yang diucapkan. Kalimat albarzanji menggunakan bahasa arab sehingga terkadang tidak tahu makna di balik kalimat tersebut. Jika makna tidak diketahui, albarzanji hanya akan menjadi kegiatan rutin dengan bacaan yang sekedar dihafalkan.
Di desa tidak asing dengan adanya kegiatan albarzanji keliling beranggotakan pemuda hingga orang tua. Kerap kali kegiatan ini hanya dijadikan aktivitas rutinan satu minggu sekali. Sudah seharusnya pemimpin dari albarzanji juga melungakan waktu beberapa menit untuk diisi dengan materi penjelasan setiap ayat albarzanji, sehingga para jamaah mengetahui makna dan alasan mengapa albarzanji sangat dianjurkan.
Sejauh pengalaman saya, mulai dari SD hingga SMP melantunkan albarzanji bisa menumbuhkan semangat yang luar biasa, sehingga tidak jarang kita saling keras-kerasan suara. Namun ketika menginjak dunia pesantren, yaitu masa SMA. Pemaknaan saya terhadap albarzanji mulai berbeda. Saya menemukan bahwa albarzanji bukan hanya sekedar keras-kerasan suara atau menunjukan keahlian dalam menabuh rebana dengan baik. Melainkan mengetahui esensi dari setiap ayat yang dilantunkan.
Sejatinya ayat-ayat albarzanji merupakan kalimat kiasan, atau lebih banyak juga menjelaskan mengenai kepribadian, perilaku, maupun ciri fisik Nabi Muhammad. Dari sana cara pelantunan albarzanji menjadi lebih dewasa yaitu penuh dengan pengkhidmatan dan penghayatan. Hanya bisa direnungi jika tahu makna dibalik ayat-ayat tadi.
Bagian albarzanji yang paling nikmat bagi saya ialah saat melantunkan mahalul qiyam sembari bernostalgia ketika Nabi Muhammad disambut oleh kaum anshor menggunakan tabuhan rebana. Selain itu juga dipercaya ketika membaca mahalul qiyam nabi hadir di tengah-tengah pembacaan selawat tersebut. Ini yang mampu memberikan kenikmatan selawat sekaligus membuat bulu kuduk berdiri.
Saat sesi mahalul qiyam, jamaah berdiri dan mengosongkan bagian tengah untuk menyambut kehadiran Nabi Muhammad. Saat itu, tidak sedikit santri yang menangis membacakan lantunan ini. Setiap kata tampak memiliki makna yang dalam penuh penghayatan sembari mengingat perjuangan rasul saat menyebarkan Agama Islam. Bagaimana tidak, saat melantunkan ayat itu, kita membayangkan rasul datang melewati jamaah dan berdiri di tengah-tengah. Karena dipercaya saat itu rasul datang, maka santri memberikan sambutan dan mengoleskan wangi-wangian ke baju mereka secara bergilir.
Walaupun secara logika maupun penglihatan mata adalah hal yang abstrak, namun suasana itu dapat dirasakan. Terlebih jika seandainya dapat melihat Nabi Muhammad secara langsung akan membawa keberkahan yang sangat besar. Sungguh beruntung orang-orang jaman dulu yang dapat berinterkasi maupun melihat rasul.
Ini merupakan representasi keimanan seseorang. Bahwasanya mereka percaya bahwa Nabi Muhammad benar-benar ada walaupun tidak pernah bertemu langsung. Mungkin ada beberapa pihak yang tidak setuju dan menganggapnya sebagai kepercayaan halusinasi dan butuh penjelasan yang lebih logis. Namun bukankah jika sudah percaya tidak perlu klarifikasi? Lantas jika masih bertanya-tanya apakah itu berarti belum percaya?
Diibaratkan ketika menyanyikan lagu favorit yang mengingatkan kenangan tentang kekasih. Membayangkan kekasih hadir di sisi kita sembari mendengarkan lagu yang merdu. Tentu akan membuat orang itu terharu dan bisa jadi meneteskan air mata. Secara logika hal tersebut juga abstrak, hanya perasaan yang dapat menjelaskan. Jika mengingat kekasih yang paling dirindukan ialah kenangan berdua, namun jika membaca mahalul qiyam yang diingat ialah perjuangan rasul dalam membela agama dan menyelamatkan umatnya. Sungguh luar biasa.
Terdapat latar belakang mengapa banyak orang berdiri saat mahalul qiyam. Seorang Ulama ahli hadis bernama Tajuddin As-Subkhi yang mengawali anjuran berdiri ketika sampai pada bagian mahalul qiyam. Beliau adalah ulama yang telah mencapai derajat hujjatul islam (orang yang hafal lebih dari tiga ratus ribu hadis, dengan seluruh sanad dan matannya).
Pada suatu hari, Tajuddin As-Subkhi sedang berselawat dengan para muridnya dan beberapa ulama. Tiba-tiba beliau memegang tongkatnya dan berdiri, jamaah yang hadir kemudian mengikutinya. Para ulama menilai apa yang dilakukan Tajuddin As-Subkhi tersebut sebagai bentuk penghormatan kepada Rasulullah saw.
Sayid Bakri bin Sayid Muhammad Syatha Ad-Dimyathi dalam I‘anatut Thalibin berpendapat;
“Sudah menjadi tradisi bahwa ketika mendengar kelahiran Nabi Muhammad saw disebut-sebut, orang-orang akan berdiri sebagai bentuk penghormatan bagi rasul akhir zaman. Berdiri seperti itu didasarkan pada istihsan (anggapan baik) sebagai bentuk penghormatan bagi Rasulullah saw. Hal ini dilakukan banyak ulama terkemuka panutan umat Islam.”
Hal ini yang membuat jamaah dianjurkan untuk berdiri saat sesi mahalul qiyam. Mencapai perasaan paling nikmat saat selawat mahalul qiyam memang susah jika tidak mengetahui substansi dibalik selawat. Harus memiliki keyakinan yang kuat bahwa rasul memang benar-benar hadir di majelis.
Terlepas dari nikmatnya mahalul qiyam, sejatinya semua bagian dari albarzanji memiliki keistimewaanya masing-masing. Orang yang suka dengan berselawat akan menimbulkan perasaan ketagihan, sangat suka setiap mendengar tabuhan rebana, hadir dalam majelis-majelis selawat, hingga hampir hafal semua lantunanya. Saking berkesanya albarzanji ini, banyak dibentuk kelompok-kelompok selawat, seperti syekher mania. Hal ini perlu diapresiasi atas kemauan diri untuk hadir dalam setiap majlis selawat. Itu juga bentuk dari kekuatan modal sosial budaya masyarakat Indonesa. Bahwasanya nilai kebersamaan masih melekat dengan kuat dalam diri setiap kelompok.
Kelompok majelis selawat seperti itu, memiliki kepercayaan kolektif dan kesamaan pandangan bahwa dengan selalu hadir dalam majelis selawat akan mendatangakan keberkahan. Sehingga tidak heran jika sering menemukan kelompok tersebut dalam majelis-majelis selawat. Layaknya pecinta musik yang mengidolakan grup band. maka tidak segan mereka juga rela hadir di berbagai kota demi menyaksikan idolanya tampil.
Hal yang penting dari adanya kelompok seperti ini merupakan representasi dari perilaku yang bersumber dari kebudayaan masyarakat Indonesia. Masyarakat sangat menyukai hidup berkelompok sehingga kerumunan juga mudah dibentuk. Mewadahi orang-orang yang memiliki pandangan sama memang bagus, namun jangan sampai terjadi fanatik secara berlebihan, sehingga pimpinan majelis atau idola dari suatu band layaknya berperan sebagai influencer memiliki peran besar dalam membina kelompoknya.
Membahas mengenai kelompok-kelompok selawat tampaknya sangat menarik, sebagai representasi modal sosial budaya rakyat Indonesia yang bersumber dari budaya keagamaan. Mengingat Negara Indonesia mengakui ketuhanan Yang Maha Esa, sudah selayakanya kelompok-kelompok seperti ini mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat maupun pemerintah. mereka bisa diberdayakan untuk melakukan pembangunan berdasarkan sosial budaya komunal.
-Penulis adalah Mahasiswi Antropologi Sosial-Universitas Diponegoro.