Oleh Nur Kholis
Judul Buku : PBNU, Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama
Penulis : Yahya Cholil Tsaquf
Penerbit : Mataair Publishing
Tebal Buku : 148 halaman
Cetakan : 2020
ISBN : 978-602-74657-6-3
KH. Achmad Shiddiq, Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 1984-1991, adalah orang pertama yang mengenalkan istilah Ukhuwah Wathoniyah (persaudaraan dengan sesama anak bangsa), Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan dengan sesama umat muslim), dan Ukhuwah Basyariyah (persaudaraan dengan sesama umat manusia) kepada nahdliyin atau warga NU.
Istilah tersebut digaungkan KH. Achmad Shiddiq kali pertama saat Mukhtamar NU ke-27 di Situbondo, 1984. Pada saat itulah Mbah Achmad Shiddiq terpilih sebagai Rais Aam PBNU. Sampai saat ini, istilah itu begitu melekat dan menghujam di hati nadliyin. Menurut murid KH. Hasyim Asy’ari ini, dari ketiga ukhuwah itu, yang paling mendasar adalah ukhuwah basyariyah atau solidaritas dan persaudaraan sesama manusia.
- Iklan -
Tentu saja, pada saat itu, tidak ada yang mengerti maksud KH. Achmad Shiddiq. Tak seorang pun yang paham korelasi antara ukhuwah basyariyah dengan konteks saat itu. Namun, belakangan kita baru menyadari akan pentingnya ukhuwah basyariyah bagi kehidupan hari-hari ini.
Di era globalisasi yang melenyapkan batas-batas negara di dunia, yang diakibatkan oleh faktor ekonomi, teknologi informasi, transportasi, perdagangan, dan masyarakat multikultural seperti ini, tentu kita dituntut untuk saling bergendengan tangan dengan manusia di seluruh dunia untuk menciptakan peradaban yang humanis, dunia yang tenang nan menentramkan.
Yahya Cholil Tsaquf dalam buku PBNU, Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama ini menyebutkan bahwa isyarat yang disampaikan oleh KH. Achmad Shiddiq adalah sebuah alarm atau peringatan dini tentang sesuatu agar kita waspada sebelum kita menyadari sesuatu yang bakal terjadi di kemudian hari. Setelah berjarak 35 tahun, baru sekarang kita bisa dengan jernih menyadari betapa pentingnya pernyataan tersebut (hlm 11).
Dalam konteks kekenian, misalnya, kita cukup gembira melihat panggung dunia yang sudah cukup kondusif. Bahkan, di masa pandemi Covid-19 seperti sekarang, Unicef pada November tahun lalu mengumumkan akan mengirim 2 miliar dosis vaksin Covid-19 ke negara-negara tertinggal. Hal demikian menunjukkan bahwa hubungan solidaritas, sikap welas asih antar-manusia di dunia terjalin cukup baik, dan tentu saja hal seperti ini menggembirakan banyak pihak.
Berbeda sekali dengan puluhan tahun silam, bagaimana dunia diliputi dengan suasana yang menegangkan. Kemelut perang dunia antar negara sekutu dan non sekutu sangat meresahkan segenap umat manusia di dunia. Bahkan hampir saja meruntuhkan peradaban dunia. Tentu kita tidak mau mengulangi peristiwa kelam masa lalu.
Meski begitu, hingga saat ini, kita masih saja menjumpai praktik-praktik permusuhan di dunia, baik yang sifatnya terang-terangan berperang dengan senjata, maupun perang tanpa senjata. Sebut saja perang dagang antar Cina dan Amerika, perseteruan panjang Rusia dan Amerika, hingga konflik saudara di Timur Tengah yang sampai saat ini tak kunjung menemui titik terang.
Jika permusuhan dan kemelut perang seperti itu tidak segera diselesaikan, akibatnya ekonomi di dunia akan bergejolak. Kelaparan akan terjadi di mana-mana, kemiskinan akan merajalela, dan tentu saja kita tinggal menunggu waktu runtuhnya peradaban dunia.
Yahya Cholil Tsaquf melalui buku ini menyebutkan, jika umat manusia di dunia berpegang teguh pada ukhuwah basyariyah yang telah diajarkan oleh ulama NU, maka manusia akan menuju ke arah persatuan umat manusia, peradaban di dunia akan baik-baik saja. Kemelut peperangan antar-negara barangkali tak akan pernah terjadi. Untuk itu, menurut dia, NU harus segera memainkan perannya, menjadi pelopor sekaligus menawarkan jawaban tehadap masalah-masalah sekarang ini.
Ahmad Syafi’i Maarif, Ketua Umum PP Muhammadiyah 1998-2005, dalam kolom opini Kompas (5/1/21) mengatakan bahwa NU dan Muhammadiyah yang mewakili arus utama Islam Indonesia harus semakin menancapkan jangkarnya di Samudra Nusantara sedalam-dalamnya. Generasi baru dari kedua arus utama ini harus berpikir besar dan strategis dalam upaya menjaga dan mengawal kepentingan keindonesiaan yang kadang-kadang terasa masih goyah.
Tak hanya itu, ia juga berpesan agar NU dan Muhammadiyah benteng utama untuk membendung infiltrasi ideologi yang telah kehilangan perspektif masa depan untuk Islam, keindonesian, dan kemanusiaan. Oleh sebab itu, peran keduanya sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat luas. Bagaimana NU dan Muhammadiyah berbagi peran untuk membawa bahtera bernama Indonesia menuju kesuksesan dan menjadi contoh pengawal peradaban umat manusia di panggung dunia.
Membaca buku ini, kita tak akan mengerti sejarah dan perjuangan ulama NU saja, namun kita akan mengetahui kondisi politik global yang melatar belakangi dan mendorong KH. Wahab Hasbullah untuk mendirikan NU. Pendek kata, cita-cita para pendiri NU persis dengan cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebagaimana yang telah termaktub dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yakni cita-cita peradaban umat manusia seluruh dunia.
Walhasil, buku ini wajib dibaca oleh warga NU, terlebih generasi milenial NU, agar tahu asal-usul atau sejarah berdirinya NU dengan mendalam. Tak hanya itu, buku ini juga menyuguhkan wawasan, strategi segar, tantangan, bahkan kritikin tajam bagi warga NU untuk menyambut perubahan di masa mendatang.
*Nur Kholis, Penulis lahir di Rembang, Jawa Tengah. Tulisannya telah dimuat sejumlah media. Saat ini menjadi mahasiswa di Prodi KPI IAIN Surakarta.