Oleh Suta Sartika
Sastra menjadi kata yang tidak asing di telinga. Terkadang tanpa disadari, sastra menjadi bagian sehari-hari dalam hidup yang penuh kebimbangan dan tanda tanya. Kebanyakan orang mengenal sastra hanya sebatas karya yang fiksi, sesuatu yang indah, serta sesuatu yang memiliki kiasan atau makna.
Pada waktu yang lalu, sastra menjadi sorotan karena seorang tokoh bernama Rocky Gerung membuat pernyataan bahwa “Kitab Suci adalah Fiksi” sontak pernyataan ini membuat publik ramai menanggapi pernyataan tersebut. Kaitannya dengan fiksi dan kenyataan, sastra masuk dalam dua sisi tersebut secara bersamaan. Di satu sisi karya sastra memang fiksi, namun karya sastra juga lahir dari kenyataan yang ada sehingga dapat dituliskan melalui penginderaan manusia.
Definisi sastra beragam bentuknya. Dalam bahasa Indonesia kata sastra berasal dari bahasa Sanskerta; akar kata hs- , dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, atau intruksi. Akhiran –tra biasanya menunjukan alat atau sarana. Maka dari itu sastra dapat berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku intruksi, atau pengajaran (Teeuw, 2015). Dari uraian tersebut, sastra dijelaskan sebagai alat atau petunjuk berupa buku (lembaran) dan dipergunakan dalam pembelajaran.
- Iklan -
Sastra juga diartikan sebagai ungkapan pribadi manusia berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran kongkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa (Sumardjo & Saini, 1986). Dari uraian tersebut sastra juga berupa ungkapan pribadi yang dirasakan secara langsung ataupun tidak langsung oleh penginderaan seseorang untuk mengungkapkan suatu hal yang bermakna dan mempunyai pesan.
Kaitannya dengan konteks keuniversalan, segala yang memiliki keindahan dan pemaknaan mendalam tentang suatu hal yang ada pada kehidupan manusia dapat juga dikatakan sebagai sastra.
Pada sejarahnya di Nusantara, sastra sebagai bagian dari kebudayaan menjadi bagian yang tidak bisa dilepaskan dari perkembangan zaman. Dari zaman Hindu/Budha, Islam, era penjajahan dan kemerdekaan, serta hingga kini sastra ikut mendokumentasikan apa yang terjadi. Setiap perubahan zaman yang terjadi, selalu ada sastra yang juga ikut berkembang.
Di Nusantara, budaya tulis menulis yang terekam sejarah dimulai sejak abad ke IV Masehi, dengan temuan pertama pada prasasti Yupa. Prasasti peninggalan Kerajaan Kutai ini ditulis dalam bentuk puisi anustub, isinya menjelaskan tentang Raja Mulawarman yang memberikan sumbangan Sapi yang banyak kepada kaum Brahmana.
Kemampuan manusia membuat catatan tertulis terus berkembang hingga masuknya agama Islam dengan aksara arabnya dan masuknya bangsa Eropa dengan aksara latinnya. Era Hindu/Budha sastra menjadi bagian terpenting yang merekam dan mengabadikan apa yang terjadi pada bangsa atau kerajaan masyur pada masanya, seperti Kitab Negara Kertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca yang menceritakan kerajaan Majapahit. Selain itu, epos Hindu terkenal Mahabarata juga digubah menjadi sebuah kitab epik Baratayudha dengan menggunakan bahasa Jawa oleh Mpu Sedah dan Mpu Panuluh dengan tambahan tokoh yang baru.
Selesainya zaman Hindu/Budha tidak menjadikan sastra selesai juga. Saat Islam masuk ke Nusantara, sastra juga turut berkembang. Pada penyebarannya di Jawa oleh Wali Songo, pendekatan kebudayaan seperti wayangan dan sulukkan menjadi tren yang paling damai dalam mengajarkan Islam. Pada masa ini lahirlah Suluk Wujil, tembang Lir-ilir, Turi-turi Putih yang dibuat oleh Wali Songo. Sementara di wilayah lain, sastra seperti syair, gurindam, pantun, dan juga hikayat tumbuh subur di dataran Melayu. Contoh yang terkenal adalah Hikayat Bayan Budiman, Gurindam Cilaka Duabelas juga Syair Ken Tambunan.
Di masa kolonial Belanda, sastra berubah menjadi sebuah tulisan yang kerap membangkitkan semangat berjuang merdeka dari penjajah. Kecerdikkan Belanda pada masa ini yaitu membuat atau mendirikan Balai Pustaka yang bertujuan untuk menyisir karya sastra yang dianggap berbahaya. Alhasil, sastra berhasil dikendalikan sehingga tulisan tajam dan membakar semangat tidak begitu muncul dipermukaan publik. Pada era ini, karya sastra yang terkenal adalah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Hamka dan Siti Nurbaya karya Marah Roesli. Kelompok lain yang tak merasa puas dengan sikap Belanda yang membatasi sastra, membentuk Pujangga Baru yang di dalamnya termuat karya yang berlandaskan nasionalisme dan semangat merdeka. Karya yang terkenal pada era ini adalah Layar Terkembang dari Sutan Takdir Alisjahbana dan Belenggu karya Armjin Pane.
Masuk ke masa angkatan 45, yaitu lahirnya para penyair yang sajaknya menusuk hati dan membakar jiwa merdeka. Tokoh terkenal pada zaman ini yaitu Chairil Anwar, yang tanggal lahirnya kini dijadikan sebagai Hari Puisi Nasional.
Era 50-60 sastra mulai berubah gaya dan aliran pemaknaan. Tesa-tesa perjuangan masiha ada, namun bertambah dengan bahasan sosial, ketidakberdayaan rakyat kecil, atau hal lain yang berbau pendindasan oleh para borjuis dan kapitalis. Pada era ini, ideologi sosialis dan komunis juga turut membumbui karya sastra yang ada. Tokoh terkenal era ini yaitu Pramoedya Ananta Toer, yang seringkali mendapat nominasi nobel sastra dunia tapi tidak pernah terpilih karena dicap sebagai penganut ideologi yang dilarang pada zaman orba.
Zaman terus berjalan dan berganti, begitu juga sastra. Pada era menjelang reformasi, sastra menjadi senjata yang ditakuti pemerintah orba. Ketakutan itu dibuktikan dengan menghilangnya penyair dan juga aktivis buruh, Wiji Thukul. Puisi Thukul yang terkenal hingga saat ini adalah Peringatan, seringkali dibawakan saat demonstrasi.
Pada era reformasi ini, lahir gaya kepenulisan baru yang lebih terbuka dan berani menabrak hal tabu seperti seksualitas. Penulis beraliran feminisme pun tumbuh subur setelah jatuhnya orde baru. Saman dari Ayu Utami menjadi gerbang pembuka untuk sastrawan feminis lainnya.
Di masa sekarang, karya sastra terbatas pada pembagian yang terdiri atas prosa fiksi (cerpen dan novel), puisi, dan drama. Penyempitan ini menjadi bagian dari perkembangan sastra yang ada. Kini, sastra menjadi sebuah bagian yang tak terpisahkan dari orang-orang yang membaca buku. Kumpulan cerpen, novel, puisi setiap harinya semakin bertambah dan berkembang. Gaya kepenulisan pun sudah tak ada sekat seperti pada zaman sebelumnya. Dari panjangnya sejarah yang ada, ternyata sastra menjadi saksi dan merekam perubahan zaman yang ada di Indonesia.
–Suta Sartika, lahir di Tegal 18 Maret 1998. Buku pertama yang ia tulis sendiri adalah kumpulan puisi yang berjudul “Tuhan, Aku Tersesat”. Berkegiatan sebagai Pejalan Serabutan, Pekerja Teks serta menjadi Relawan di Rumah Kreatif Wadas Kelir. Penulis beralamat di Karangklesem, Purwokerto Selatan, Banyumas. Penulis dapat ditemui di media sosialnya (instagram: suta_sartika).