Oleh Slamet Makhsun
Paradigma aktif yang dibangun Nahdlatul Ulama (NU) dari sejak berdirinya, memanglah keren. Pada awalnya, ormas Islam terbesar di dunia ini hanyalah sekumpulan kyai dan santri yang merespon adanya gerakan dari tokoh-tokoh pembaharu Islam. Khawatirnya, para pembaharu Islam tersebut akan memberangus nilai-nilai khas budaya Islam-Nusantara yang sejak era Walisongo diajarkan.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa para pembaharu Islam yang baru datang ke Indonesia kisaran awal abad 19 ini, menganut ideologi Wahabi yang radikal dalam ajarannya. Akibatnya, mereka dengan tegas menolak lokalitas budaya Nusantara. Di Jawa semisal, acara adat seperti Sekaten, Sedekah Bumi, Tahlilan, atau Maulidan oleh mereka dianggap bid’ah sehingga wajib dihilangkan. Belum lagi dalam penerapan hukum-hukum fiqh yang cenderung keras dan saklek, tentu sangat kontras dengan ihwal budaya masyarakat Muslim Indonesia.
Bahkan pula, pada tahun 1924, kerajaan Saudi Arabia yang baru berdiri itu, membuat kegegeran di jagad dunia Muslim. Atas prakarsa aliran Wahabi yang mendominasi Saudi Arabia ini, maka kerajaan tersebut ingin membuat aturan baru. Pertama, Ka’bah yang dulunya boleh untuk semua madzhab, dirubah hanya Madzhab Maliki (madzhab yang dianut Kerajaan Saudi) saja yang diperbolehkan.
Kedua, menghancurkan makam Rasulullah SAW dan tempat-tempat bersejarah Islam. Alasannya, banyak orang yang berziarah ke tempat-tempat tersebut dan oleh Wahabi, hal itu dikatakan syirik. Maka untuk menghindari kesyirikannya itu, jalan tarakhirnya dengan menghancurkan tempat-tempat tersebut.
Dengan dibentuknya Komite Hijaz pada tahun 1924 oleh KH Hasyim Asy’ari, maka diutuslah Syech Ghanaim Almishri dan KH Wahab Hasbullah—murid dari KH Hasyim Asy’Ari—untuk mewakili ulama Nusantara dalam kaitannya melobi Pemerintah Saudi Arabia. Maka, Pemerintah Saudi hanya mengabulkan permintaan yang kedua, yaitu tempat-tempat bersejarah dan makam Nabi SAW tetap dipertahankan. Sedangkan aturan madzhab yang dipakai di Mekkah tetap menggunakan Madzhab Maliki.
Selang dua tahun dari dibentuknya Komite Hijaz, kemudian perkumpulan ulama dan kyai Nusantara mendirikan Nahdlatul Ulama. Bisa dikatakan, Komite Hijaz adalah cikal bakal dari lahirnya NU.
Setelah NU resmi berdiri, maka proksi tugasnya pun semakin luas. Tidak hanya mengemban misi dakwah rahmatal lil ‘alamin, tapi menjadi ormas yang secara keseluruhan membela dan mencerdaskan bangsa serta ikut menjaga perdamaian dunia.
NU berhasil mendirikan cabang-cabang kepengurusan di berbagai daerah. NU sukses menggaet massa yang cukup banyak. Mulailah sibuk mendidik anggotanya dalam sekolah-sekolah dan pondok pesantren. Melakukan latihan militer untuk melawan penjajah. Puncaknya, pada pertempuran 10 November di Surabaya, berdasar fatwa jihad dari KH Hasyim Asy’ari, NU dengan para santri dan masyarakat umum serta para TKR (Tentara Keamanan Rakyat), berhasil mengalahkan tentara Sekutu (Belanda dan Inggris). Bahkan jenderal besar Inggris—AWS Mallaby—ikut terbunuh.
Seiring waktu, kepengurusan NU semakin rapi. Badan-badan otonom diperbanyak. Mulai dibedakan organisasinya seperti kalangan pelajar masuk dalam IPNU-IPPNU, ibu-ibu dalam Fatayat dan Muslimat, para pemuda dalam GP Ansor dan Banser, serta pembagian-pembagian yang lain.
NU, bukanlah organisasi keagamaan semata. Memang, dalam visi-misinya mengandung semangat menjaga dan melestarikan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jama’ah. Tapi, yang lebih besar dari itu, NU—bagi saya—adalah organisasi keagamaan yang mampu mengontrol negara ini menuju keadaan yang lebih baik. Kalau dalam film kartun Power Rangers, NU menjadi semacam tokoh utama yang mampu mengalahkan semua musuh-musuhnya.
Lihat saja, eranya Soekarno, NU adalah ormas yang paling berani menentang PKI. Dalam banyak buku sejarah, Soekarno memang memiliki kedekatan khusus dengan PKI. Tentu, hal itu menyalahi UUD ’45 bila mana Indonesia merupakan negara yang menjamin keberagamaan, bukan negara ateis apalagi komunis.
Zamannya Suharto juga sama. NU juga kerap kali menentangnya. NU dengan membusungkan dada, terang-terangan mengkritik Suharto. Padahal, Suharto memiliki kekuasaan dan basis militer yang kuat. Tak heran, banyak tokoh-tokoh NU yang dijegalnya. Bahkan, ia juga membuat muktamar NU tandingan untuk memecah belah kekuatan jamaah NU. Nyatanya, Suharto pun gagal. NU tetap solid. Malah Suharto yang turun dari jabatannya dengan aib yang memalukan. Ia didemo dan dipaksa turun oleh rakyatnya sendiri setelah berkuasa selama 32 tahun.
Di periode kedua dari pemerintahan Jokowi ini, NU juga semakin lantang bersuara membela rakyat. Padahal, KH Ma’ruf Amin—wakil presiden sekaligus dewan penasihat NU—berdiri dibelakang Jokowi. Terlepas dari intrik politik, saya kira, penolakan tegas NU dalam Undang-Undang Cipta Kerja, membuktikan bahwa NU adalah ormas keagamaan yang kritis dan berani.
Di ranah internasional pun, NU sudah vokal dalam menyuarakan perdamaian dunia. Semisal membela rakyat Uyghur, Rohingnya, atau menyerukan kemerdekaan Palestina dari kolonialisme Israel. Dalam forum-forum dunia, NU juga acapkali ikut mewakili sebagai representasi Islam rahmah. Bahkan, NU sudah berhasil mendirikan cabang-cabang istimewanya di 194 negara di dunia.
Lalu, masihkah ada yang ragu dengan kapabilitas NU sebagai ormas keagamaan yang rahmah dan progresif? Masihkah ada pihak-pihak yang menyepelekan jasa-jasa NU selama ini? Atau, masihkah ada pihak-pihak yang berani mengusik dan mau menghancurkan NU?
Di titik ini, saya sangat bersyukur dilahirkan dalam keluarga yang berlatar belakang NU. Dididik dan dibesarkan dalam Islam ala NU yang rahmah. Menjadi impian saya dalam waktu-waktu mendatang, untuk mengabdi dan memperjuangkan NU sebagai wujud dari Islam yang rahmatal lil ‘alamin.
-Slamet Makhsun lahir tanggal 31 Mei 2001. Alumni PP Muntasyirul Ulum asuhan Kyai Ali Affandi ini memiliki hobi ngopi dan membaca buku. Dia juga aktif menjadi pegiat literasi di Garawiksa Institute dan anggota aktif di IPNU kecamatan Parakan kabupaten Temanggung. Kini menempuh pendidikan di Fakultas Ushuludin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga. Minat kajiannya tentang isu-isu keislaman.
Refleksi Nilai Juang NU
Leave a comment
Leave a comment