Oleh: Moh. Rofqil Bazikh
Ketika dihadapakan dengan kenyataan yang begitu pelik, apa yang ada dipikiran semua orang. Khususnya generasi milenial yang merupakan harapan dalam melanjutkan estafet perjuangan. Tidak ada begitu banyak harapan, selain hanya mencoba mencari-cari solusi agar segala bentuk masalah terpecah. Bermacam upaya telah dilakukan untuk melawan segala sesuatu yang problematik. Persoalan-persoalan yang sudah jamak kita hadapi sepanjang hari.
Selesai masalah satu, tumbuh masalah lain. Tidak jauh beda denga ungkapan, gugur satu tumbuh seribu. Ini adalah kenyataan pelik, tetapi harus dihadapi. Sama-sama mencoba untuk memecahkan dengan beragam bentuk eksperimen. Kita sedang dikerubungi masalah dan tentu hal tersebut perlu adanya kesadaran kolektif.
Masalah tidak akan menjadi masalah jika ia tidak dipermasalahkan. Dengan kata lain, kesadaran—baik individu maupun kolektif—terhadap masalah harus ditumbuhkan sebisa mungkin. Bukan untuk menambah beban hidup yang berat, tetapi membangun kesadaran bahwa kita sedang berada di fase tidak baik-baik saja. Hanya begitu berbagai macam persoalan akan lebih mudah untuk dipatahkan.
- Iklan -
Sebut saja misal persoalan korupsi, kekerasan atas nama agama, intoleransi, dan konsep pendidikan. Masalah-masalah tersebut yang kadang luput dari perhatian atau mendapat perhatian, tetapi tidak tetap tidak terselesaikan. Dengan banyaknya permasalahan tersebut, sesungguhnya membuktikan bahwa masih banyak hal yang harus diperhatikan bersama. Ini menjadi tanggung jawab bersama sebagai warga dan pemilik saham negeri ini.
Masalah yang tidak kalah serius adalah masalah pendidikan. Hal ini jelas harus mendapat perhatian lebih, karena perdaban sebuah bangsa dibangun dari arah pendidikan ini. Mengutip sebuah pernyataan dari Milan Kundera, salah satu novelis asal Republik Ceko, jika ingin menghancurkan suatu bangsa dan perdaban, bakarlah buku-bukunya. Maka, niscaya bangsa dan peradaban itu musnah.
Inti dari pernyataan tersebut sejatinya mudah ditebak, dan alur pikir Milan Kundera mudah dicerna. Karena dalam bayangannya yang paling menentukan bangsa(beserta perdaban di dalamnya) adalah pendidikan, sementara pendidikan esensinya lahir dari literasi yang ketat. Dengan umpama yang lain, bahwa buku sangat berpengaruh dalam proses pendidikan.
Ketika ditarik dalam konteks bangsa Indonesia, hal ini seakan menghadapi sebuah kericuhan besar. Meski seringkali mayoritas tidak pernah peduli terhadap hal tersebut. hal tersebut disebabkan karena ada sebuah masalah yang besar di dalam konsep pendidikan kita. Masalah-masalah tersebut yang juga haru dipecahkan bersama-sama.
Wajah Pendidikan Mutakhir
Dengan sangat mudah diamati bagaimana dinamika pendidikan kita selama dua dekade terakhir. Itu bukan fenomena yang baru dan langka, tetapi persoalan yang dibiarkan beranak-pinak. Tidak adanya solusi, atau barangkali, tidak maksimal dalam menjalankan solusi tersebut. Ada sebuah batu sandung terbesar dalam menjalankan konsep pendidikan, yakni alergi terhadap dunia baca.
Di saat bacaan mudah diakses, tetapi jauh panggang dari api, tidak pernah digunakan semaksimal mungkin. Mungkin bisa beralibi, bahwa banyak hal lain yang lebih menarik dari membaca. Tetapi kita, lebih-lebih saya, seringkali alpa dalam mengingat manfaat dari membaca tersebut. Justru hal-hal lain yang sering menjadi prioritas lebih daripada membaca itu sendiri.
Ini tantangan pendidikan yang paling transendetal, pendidikan bukan hanya sekadar transfer pengetahun dari guru ke murid. Lebih dari itu, ada banyak aspek yang memang selayaknya diperhatikan. Tentu keterlibatan orang tua, bacaan, dan sekitarnya turut mewarnai konsep pendidikan. Jika tidak, ada sebuah hal yang sangat riskan, yakni pendidikan kehilangan pijakan dasarnya.
Hal ini juga selaras dengan tujuan utama dari pendidikan itu, membentuk peradaban dan insan kamil. Lebih-lebih kalau pendidikan berhasil menumbuhkan kepekaan terhadap sekitar, kepekaan emosional(emotional question). Tentu itu sebuah pencapaian yang besar dalam mendorong sebuah peradaban negeri. Tetapi apakah semudah itu mencapinya? Tentu tidak. Sekali lagi, ada banyak hambatan yang harus diperhatikan.
Dalam Kepala Borges
Jorge Luis Borges salah satu penulis asal Argentina yang popular dan dianggap salah satu tokoh sastra terbesar. Ia menulis berbagai macam genre tulisan, mulai dari fiksi sampai non fiksi. Tentu dalam karier kepenulisannya, tidak pernah abstain yang namanya kegiatan membaca. Hal itu yang kemudian mendorong terlahirnya sebuah kutipan fenomenal darinya. I have imagined that paradise will be a kind of a library. Borges mengkonsepsikan dan menggabungkan dengan kekuatan imajinernya bahwa surga yang ada dalam kepalanya seperti perpustakaan.
Tentu konsepsi semacam itu yang terlontar dari Borges bukan hanya sesuatu yang imajinatif. Kongkretnya dapat disimpulkan bahwa buku tersebut dapat menjadi semacam surga(paradise) kedua. Ini sangat masyuk, apalagi memang buku—tentu dengan kegiatan membacanya—dapat dengan mudah menggenggam peradaban.
Kebanjiran bacaan seharusnya merupakan sesuatu yang wajib disyukuri. Bagaimanapun tidak semua orang bisa mengakses bacaan dengan mudah. Tetapi realita yang ada, hal tersebut lebih menjurus kepada keadaan yang cenderung menyia-nyiakan bacaan. Berapa ratus atau bahkan ribu buku yang nganggur di perpus sekolah, universitas, dan semacamnya. Paling banter cuma mahasiswa kelas akhir yang selalu bergelut dengan buku sebagai referensi skripsi sampai tesis. Selebihnya tidak ada yang peduli.
Kecintaan dalam membaca masih sangat minim dan perlu untuk terus ditingkatkan. Ini hanya sedikit saran solutif dalam membantu konsep pendidikan yang seakan stagnan. Tidak ada perkembangan sama sekali, selain dari desain luring menjadi daring. Selebihnya tetap berjalan di tempat dan tidak bergerak ke depan. Sebagai langkah terwujudnya insan yang dapat menjawab tantangan zaman dengan berbagi macam perosoalan.
Ketidaksadaran lain justru muncul dari praktik pendidikan yang cenderung menjadikan murid sebagi objek. Murid hanya menerima, jadi tidak ada pertukaran pandangan atau bahkan praktik dialektif. Ini ibaratnya dengan orang yang menyuapi bayi, sehingga muncul semacam kemanjaan di dalamnya. Seharunya pendidikan dan seluruh praktiknya lebih merangsang peserta didik.
Di dalam diri murid terdapat kelebihan-kelebihan yang harus dirangsang. Kreativitas tersebut selayaknya dipancing oleh guru sebagai konseptor dari pendidikan itu. Ruang kelas yang pengap, ditambah lagi tidak ada kipas angin, akan terasa lebih mencair. Tidak menjenuhkan sebagaimana yang sudah-sudah.
Akhirnya, benar apa yang diucapkan Borges. Ia mencoba mengsumsikan perdaban dengan memulai terlebih dahulu dari segi bacaan. Hal ini yang justru lebih urgen dari konsep pendidikan yang selama ini digeluti dan terasa melelahkan. Gerak yang cenderung stagnan dan seperti tidak merubah apa-apa. Selain hanya nilai di akhir semester dan angka-angka yang sifatnya formalitas. Dan peradaban tidak pernah dimulai dari kuantitas, melainkan kualitas.
Yogyakarta, 2020
-Moh. Rofqil Bazikh Mahasiswa Perbandingan Mazahab Fakultas Hukum dan Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.