Oleh Sam Edy Yuswanto
Berdasarkan pengamatan dan pengalaman saya selama ini, ternyata ada kesamaan antara menulis dan menyanyi. Yakni, sama-sama harus menggunakan perasaan atau hati. Pada hakikatnya, menulis, sebagaimana menyanyi, memang merupakan pekerjaan yang sangat berkaitan erat dengan hati. Oleh karenanya, diperlukan perasaan yang tulus saat menjalankannya.
Nyatanya, suara yang bagus dan merdu tak menjamin seseorang mampu bernyanyi dengan baik dan menyentuh perasaan para pendengarnya. Hal ini menjadi bukti bahwa dalam bernyanyi dibutuhkan hati atau bahasa lainnya penjiwaan. Di antara cara menjiwai sebuah lagu ialah dengan meresapi bait demi bait lagu tersebut seraya ikut merasakan apa yang tersirat dalam lirik lagu tersebut. Tentu akan lebih baik lagi bila isi lagu tersebut ternyata memiliki kesamaan dengan kisah hidup si penyanyi, sehingga ketika bernyanyi ia bisa lebih meresapi atau menjiwai lirik lagunya.
Begitu halnya seseorang yang mampu menguasai teknik atau teori menulis dengan baik, bahkan ia kerap mengikuti berbagai seminar kepenulisan dan memiliki puluhan bahkan ratusan sertifikat (sebagai bukti bahwa ia telah mengikuti pelatihan menulis). Belum menjadi sebuah jaminan baginya untuk menghasilkan tulisan bagus yang dapat menyentuh hati para pembacanya. Hal ini tentu menjadi sebuah bukti nyata bahwa menulis dan menyanyi sama-sama (harus) menggunakan hati atau rasa.
- Iklan -
Lantas, bagaimana caranya agar kita bisa menulis dengan hati atau perasaan? Menurut saya, agar kita dapat menulis dengan hati maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, berusaha menguasai tema yang akan ditulis. Ini sangat penting digarisbawahi, agar ketika menulis kita tidak keliru dalam menyampaikan informasi kepada para pembaca. Sebab, informasi yang kurang tepat, apalagi sampai keliru dan hoaks, tentu akan melahirkan kritikan dari para pembaca yang lebih mengetahui informasi tersebut.
Saya sendiri pernah mengalami hal yang menurut saya sangat-sangat memalukan. Jadi pada suatu hari, saya menulis tema yang belum benar-benar saya kuasai. Namun saya tetap memaksa menulis tema tersebut dengan referensi yang minim alias ala kadarnya. Alhasil, ketika tulisan tersebut selesai dan akhirnya berhasil menembus media cetak, ada pembaca yang mengkritik tulisan saya. Ternyata ada bagian tulisan yang ternyata saya keliru dalam menafsirkannya. Saya langsung merasa malu dan menyadari kekeliruan tersebut. Tak lupa saya pun berterima kasih kepada si pengkritik. Saya pun langsung introspkesi diri, beruntung sekali ada pembaca yang mengkritisi tulisan saya, sehingga saya dapat secepatnya membenahi diri dan berusaha menulis lebih baik ke depannya.
Mungkin, kalau tidak ada pembaca yang mengkritik, saya tidak akan pernah tahu kekeliruan saya di mana dan hal ini adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Dari sini saya akhirnya belajar bahwa untuk menulis sebuah tema, selain harus mendalami tema tersebut, juga diperlukan landasan (referensi) yang akurat dan tepercaya.
Kedua, pernah mengalami hal (tema) serupa atau minimal pernah mendengarkan cerita dari orang yang mengalami hal (tema) yang akan kita tulis. Misalnya begini, saat kita hendak menulis tema tentang kasus pencopetan di sebuah kendaraan umum, minimal kita harus mewawancarai atau mendengarkan kisah orang-orang yang pernah kecopetan. Atau, ini tentu akan baik lagi, bila kita sendiri pernah mengalami hal tersebut (saat naik bus umum misalnya).
Jujur, saya juga pernah mengalami kejadian pencopetan saat naik bus umum. Kejadian ini sudah sangat lama dan saat itu saya belum menekuni dunia kepenulisan di media massa. Belum lama ini, saya kepikiran untuk menuangkannya dalam sebuah tulisan opini dengan gaya bahasa santai. Saya berharap bila tulisan berdasarkan pengalaman saya itu dibaca oleh banyak orang, dapat diambil hikmahnya. Minimal bisa lebih meningkatkan kewaspadaan kita saat menggunakan kendaraan umum. Alhamdulillah, tulisan tersebut berhasil menembus media massa online. Tak hanya itu, tulisan tersebut juga terpilih sebagai tulisan terpopuler ketiga (edisi September tahun ini) di media massa tersebut.
Ketiga, menggunakan tata bahasa yang baik dan benar sesuai PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia) dan juga memiliki perbendaharaan kata (diksi) yang luas. Tujuannya, agar ketika menulis kita bisa memilih diksi yang pas (cocok) dan mampu menyentuh hati pembaca. Nah, satu-satunya cara agar kita memiliki kekayaan diksi ialah dengan rajin membaca beragam jenis bacaan, baik fiksi maupun nonfiksi. Saya sangat yakin, tanpa diiringi rutinitas membaca beragam jenis bacaan, rasanya sangat mustahil kita akan memiliki perbendaharaan diksi yang banyak sebagai bekal dalam menulis. Saran saya, perbanyaklah membaca apa saja, terlebih membaca media-media (koran) nasional dan buku-buku berkualitas. Ketika kita memiliki jam terbang membaca yang tinggi, saya yakin kualitas tulisan kita dari hari ke hari akan semakin mengalami peningkatan. Selain itu, dengan banyak membaca juga dapat menjadi bahan pembelajaran bagi kita tentang bagaimana cara menuliskan kata-kata yang tepat sesuai PUEBI.
Keempat, menulislah ketika kondisi hati dan pikiran sedang tenang. Artinya, tidak sedang dalam kondisi emosi (marah). Sebab, seseorang yang menulis saat emosi negatifnya tengah meledak-ledak, biasanya cenderung mengeluarkan kata-kata yang kasar, menyinggung dan menyakiti pembaca, dan penuh penghakiman. Seorang pembaca tentu akan merasa jengah dan malas membaca tulisan-tulisan kaku dan penuh penghakiman. Kita tentu tahu bahwa setiap orang tidak ada yang sudi bila dihakimi oleh orang lain, baik penghakiman lewat ucapan maupun dalam bentuk tulisan.
Kelima, mendasari ketulusan hati ketika sedang (atau akan memulai) menulis. Atau dengan kata lain, berusahalah menulis dengan hati tulus dan ikhlas. Niatkanlah agar tulisan kita bisa memberikan kemanfaataan untuk sesama. Menulis, memang perkara yang mubah (boleh-boleh saja). Namun saya yakin, insya Allah akan bernilai ibadah dan mendatangkan pahala yang besar bila kita meniatkannya untuk menebar kebaikan.
Coba sekarang bayangkan, ketika kelak kita telah tiada, kemudian tulisan-tulisan kita masih dibaca oleh banyak orang dan mampu menginspirasi mereka untuk berbuat kebaikan-kebaikan, tentu ini dapat menjadi amal jariyah atau semacam ladang pahala bagi kita. Inilah yang menjadi salah satu alasan saya, mengapa hingga saat ini saya belum kepikiran untuk berpaling dan meninggalkan dunia kepenulisan.
Dengan menulis, saya tentu sangat berharap dapat menghasilkan karya tulis yang meninggalkan pesan-pesan positif dan pelajaran berharga bagi para pembaca di mana pun berada. Mudah-mudahan tulisan sederhana dan singkat ini bermanfaat. Wallahu a’lam bish-shawaab.
–Sam Edy Yuswanto, penulis lepas mukim di Kebumen.