Oleh Sam Edy Yuswanto
Di tengah pandemi Covid-19 yang entah kapan akan berakhir ini, banyak penerbit yang memilih mengurangi menerbitkan buku-buku setiap bulannya. Mungkin penerbit yang sebelumnya menargetkan sekian judul buku terbit setiap bulannya, kini mulai membatasinya. Secara otomatis hal ini berimbas kepada para penulis yang kehilangan lahan untuk berkarya.
Saya juga mengalami hal tersebut. Salah satu buku saya (genre fiksi) yang semula dijadwalkan terbit Januari 2020 di salah satu penerbit mayor di Jawa Tengah, ternyata mundur hingga akhirnya baru terbit September 2020. Dan yang mengejutkan, jumlah eksemplar yang rencananya ditargetkan sekitar 2000-an, dikerucutkan menjadi 500 eksemplar saja. Salah satu alasannya karena musim pandemi “susah banget” jual buku.
Sementara itu, buku nonfiksi saya, yang sudah diterima dan lolos seleksi salah satu penerbit mayor di wilayah Jakarta pada bulan Maret 2020, hingga kini juga belum ada kejelasan kabarnya. Ya, saya tentu sangat memakluminya. Karena tak berselang lama usai naskah saya dinyatakan lolos dan akan diterbitkan, tiba-tiba virus Corona mewabah begitu cepat di berbagai daerah yang ada di negeri tercinta ini dan menyebabkan banyak toko buku tutup.
Simpulannya, musim pandemi ini telah melumpuhkan berbagai lini kehidupan, terlebih di sektor ekonomi yang menjadi tempat orang-orang selama ini mengais rezeki. Termasuk dunia percetakan buku yang sangat merasakan dampaknya karena toko-toko buku harus tutup untuk sementara waktu. Bahkan ada sebagian toko buku yang memilih gulung tikar alias tidak beroperasi lagi.
- Iklan -
Kini, orang-orang yang hobi membaca buku banyak yang membeli buku secara online. Perihal beban ongkos kirim sepertinya saat ini tak menjadi persoalan. Terlebih gaya hidup berbelanja berbagai kebutuhan (mulai sandang hingga pangan) kini sudah beralih melalui online. Prektis dan tak ribet. Selain itu, toko-toko buku online dan penerbit saat ini kerap memberikan diskon yang lumayan. Anggap saja diskon tersebut sebagai pengganti dari biaya ongkos kirim.
Menyusutnya penjualan buku-buku dari berbagai penerbit mayor di negeri ini tentu sangat memprihatinkan. Selain faktor pandemi Covid-19, ditambah mayoritas masyarakat negeri ini yang memang tidak memiliki hobi membaca. Inilah yang menjadi PR (Pekerjaan Rumah) kita bersama, bagaimana caranya mengajak masyarakat agar gemar membaca (dan membeli) buku. Menurut saya, bisa dimulai dari keluarga kita sendiri. Misalnya, ketika dalam satu keluarga ada yang senang membaca buku, tularkan pada anggota keluarga lainnya. Usahakan setiap bulan ada anggaran untuk membeli buku, meski pun hanya satu judul buku.
Alternatif Penerbit Indie
Ketika penerbit mayor memilih membatasi jumlah buku yang diterbitkan, maka hal ini menjadi persoalan serius bagi para penulis yang selama ini rajin berkarya dan mengirimkannya ke berbagai penerbit mayor. Menurut saya, untuk mengatasi masalah ini, sebagai penulis kita bisa mencari cara lain agar karya kita tetap bisa diterbitkan, yakni melalui jalur penerbit indie yang keberadaannya kini kian menjamur di berbagai kota.
Memang harus saya akui, menerbitkan melalui jalur indie selain kurang memuaskan juga ribet, karena harus mengeluarkan dana sendiri, ditambah lagi harus menjual sendiri buku-bukunya. Meski pun sebenarnya kita bisa bekerja sama dengan pihak penerbit indie untuk ikut memasarkan karya kita, tapi menurut saya tetap saja masih kurang efektif. Intinya, ketika menerbitkan buku di penerbit indie, maka kita harus siap capek berkali-kali lipat; rajin mempromosikan buku-buku kita di media sosial, toko-toko buku online seperti Lazada dan Shopee, dan tentu saja membungkus sendiri buku-buku yang hendak kita kirimkan ke para pemesan.
Saya pikir, ketika kita sudah memiliki fans atau orang-orang yang menggemari karya kita, justru menerbitkan buku di penerbit indie malah lebih menguntungkan. Karena kita sendiri yang menentukan harganya. Namun kendati demikian tentu tak elok rasanya bila kita mematok harga yang terlalu tinggi. Buatlah harga yang sewajarnya. Kalau bisa sangat terjangkau oleh masyarakat umum. Jangan sampai karena ingin lekas dapat keuntungan banyak, kita menaikkan harga sehingga alih-alih buku terjual, yang ada malah menumpuk tak ada yang sudi membeli.
Hal terpenting yang tak boleh diabaikan, ketika ingin menerbitkan buku di penerbit indie, kita harus selektif memilih penerbit indie yang memiliki kualitas cover, layout, dan cetakan yang bagus. Minimal setara dengan kualitas penerbit mayor. Jangan sampai kita tertipu oleh penerbit indie abal-abal; asal cetak buku tanpa memedulikan kualitas. Biasanya, buku-buku yang dicetak secara serampangan cover atau sampul dan beberapa halamannya mudah lepas. Hasil cetakan juga ngeblur seperti fotocopy-an sehingga sangat tidak nyaman ketika dibaca.
Oleh karenanya, agar kita tidak tertipu dengan penerbit indie abal-abal, sebaiknya kita bertanya-tanya terlebih dahulu kepada teman-teman yang sudah pernah menerbitkan lewat jalur indie. Saya yang pernah menerbitkan buku di penerbit indie, biasanya juga suka bertanya-tanya pada teman yang sudah menerbitkan buku di penerbit indie.
Di antara hal yang perlu ditanyakan saat ingin menerbitkan karya lewat jalur indie misalnya berapa harga per eksemplar, biaya cover buku dan layout, dan jenis bank yang dipakai untuk transfer. Kalau bisa cari yang bank transfernya sama dengan bank kita, agar tak dikenai biaya ongkos transfer.
Tak dipungkiri, memang ada sebagian penulis yang merasa kurang sreg bahkan memandang sebelah mata dengan penerbit indie. Hal ini dapat dimaklumi karena menerbitkan buku jalur indie tanpa proses seleksi terlebih dahulu. Asalkan kita punya naskah yang siap diterbitkan, bisa langsung terbit kapan pun. Berbeda dengan penerbit mayor yang harus melalui jalur seleksi yang ketat dan cukup lama. Ditambah ada tim editor yang akan meneliti karya kita agar bisa tampil lebih sempurna dan minim typo atau kesalahan penulisan. Kendati menerbitkan buku di penerbit mayor pun belum tentu jaminan hasilnya bagus. Karena saya pernah membaca sebagian buku di penerbit mayor yang kualitas karyanya tidak bagus, bahkan banyak juga typo-nya.
Prinsip saya sih, selama kita sudah memiliki jam terbang tinggi di dunia kepenulisan, misalnya karya kita sudah kerap dimuat di berbagai media massa terkemuka dan sering menerbitkan buku di penerbit mayor, maka tak menjadi masalah bila kita kemudian memilih untuk menerbitkan buku lewat jalur indie. Namun akan menjadi persoalan yang sangat serius bila kita masih dalam tahap belajar menulis, belum memiliki banyak pengalaman, tapi tiba-tiba ingin memiliki buku secara instan. Tentu hasilnya akan sangat mengecewakan.
-Sam Edy Yuswanto, penulis lepas, mukim di Kebumen.