Semarang – Forum Pendidikan Madrasah Inklusi (FPMI) memperingati Hari Disabilitas Internasional (HDI) dengan menggelar seminar nasional secara virtual dengan tema “Sinergi untuk Masa Depan Pendidikan Inklusi di Madrasah” pada Kamis, 3 Desember 2020.
Zoominar yang dihelat bersamaan dengan pengukuhan kepengurusan Forum Pendidikan Madrasah Inklusi (FPMI) Pusat ini menghadirkan narasumber Dr Sujarwanto, M.Pd, Dewan Pakar FPMI dan Wakil Rektor Bidang Perencanaan dan Kerjasama Unversitas Negeri Surabaya, Tubagus Arie Rukmantara, Kepala Perwakilan Unicef untuk Wilayah Jawa, dan Sita Thamar Van Bemmelen, Konsultan Pendidikan Inklusi Inovasi.
Ketua FPMI Pusat, Supriyono menyampaikan rasa terima kasih kepada Kementerian Agama RI dan semua pihak yang mendukung terbentuknya FPMI. Dia menuturkan ada sekitar 1,5 juta penyandang disabilitas usia sekolah di Indonesia, dan sementara ini yang bisa mendapatkan pendidikan baru sekitar 16 % nya. “semoga semakin banyak madrasah yang siap memberikan layanan yang baik kepada semua anak, termasuk ABK. Saudara-sadara kita yang disabiltas adalah sama dengan kita, bahkan mungkin lebih baik dari kita” tutur pria yang kerap disapa Leck Pri ini.
Direktur Guru dan Tenaga Kependidikan, Muhamad Zain memberikan ucapan selamat atas berdirinya FPMI pada peringatan Hari Disabilitas Internasional (HDI) tahun ini. Menurutnya tujuan pendidikan inklusif adalah untuk memastikan semua anak memiliki akses yang sama terhadap pendidikan, tanpa ada pengecualian. Dan Kementerian Agama siap bersinergi dengan semua pihak untuk mewujudkan pendidikan inklusif di madrasah. “semoga madrasah bisa mengambil peran yang penting dalam pendidikan inklusi” harapnya.
- Iklan -
Narasumber pertama, Sujarwanto, menyampaikan masih perlu perbaikan sistem terkait pendidikan inklusi baik di Kemendikbud maupun Kemenag. Misalnya terkait persepsi guru yang mengajar anak-anak berkebutuhan khusus harus dari lulusan S 1 Pendidikan Khusus. Menurutnya semua guru bisa mendapatkan tugas mengajar ABK sebagaimana diterapkan di beberapa negara. “Di beberapa negara justru yang pertama kali diakses calon guru adalah memahami anak-anak dengan disabilitas, sehingga ketika mereka mengajar dimanapun tidak akan kaget jika ada ABK nya. Ini harus menjadi perhatian kita semua” jelasnya.
Arie Rukmantara memaparkan pengalaman menggagas dan menggelorakan pendidikan inklusi di Jawa Tengah oleh Unicef bersama LP Maarif PWNU Jawa Tengah. Program pendidikan inklusi kemitraan LP Maarif PWNU Jawa Tengah – Unicef sekitar 4 tahun ini berfokus pada pendampingan madrasah di 4 kabupaten yaitu Kabupaten Semarang, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Kebumen, dan Kabupaten Brebes. Namun pada prakteknya ada beberapa sekolah baik negeri atau swasta di kabupaten sasaran dan beberapa kabupaten lain di Jawa Tengah yang diikutsertakan dalam proses-proses workshop dan pelatihan. “program kemitraan ini memperoleh banyak pihak di Jateng. Dukungan Pemerintah Pusat juga luar biasa dengan berbagai kebijakannya” ungkap Arie.
Sementara Sita Thamar Van Bemmelen menjelaskan implementasi program pendidikan inklusi yang dilakukan oleh Inovasi di beberapa madrasah pilot di Lombok Tengah, Sumba Timur, dan Jawa Timur. Sita menilai kebijakan Kementerian Agama sangat baik dalam mendukung terselenggaranya pendidikan inklusi.
Dukungan kebijakan itu bisa dilihat dengan dikeluarkannya SK Dirjen Pendis tentang 22 madrasah inklusi, dan Peraturan Menteri Agama tentang Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan. Pihaknya juga masih menunggu kebijakan-kebijakan yang lain. “kami menunggu adanya Permenag tentang pendidikan inklusi, penetapan madrasah inklusi baru, dan kebijakan mengenai guru pendamping khusus” tegasnya.
Pada sesi diskusi banyak pertanyaan peserta mengenai pendidikan inklusi dan teknis pelaksanaan pembelajaran dan pelayanan yang baik terhadap peserta didik berkebutuhan khsusu di madrasah inklusi. Kegiatan seminar virtual ini diikuti oleh 500 peserta melalui aplikasi zoom, sedangkan channel youtube yang disediakan GTK Madrasah tercatat ada lebih dari 2700 pemirsa. (*)