Oleh Ahmad Farisi*
Beberapa hari terakhir, perkembangan keberagamaan umat Islam di Tanah Air betul-betul memprihatinkan. Dalam kehidupan sosial-berbangsa kita kini, Islam tampak menjadi sumber kekacauan daripada menjadi solusi atas kehidupan beragama dan berbangsa kita.
Diakui atau tidak, sebenarnya hal ini memang bukanlah hal baru dalam kehidupan keberagamaan dan keberislaman kita. Namun, hal itu kini tampak terasa semakin menemukan puncaknya. khususnya pasca kepulangan imam besar FPI, yang tak lain adalah Habib Rizieq Sihab—dari Arab Saudi setelah beberapa tahun menetap di sana.
Di satu sisi, kepulangan Habib Rizieq, telah menciptakan kebahagiaan dan semangat keislaman yang luar biasa bagi pendukungnya. Namun, pada sisi yang lain, hal itu juga telah menciptakan keresahan bagi sebagian umat muslim lainnya.
- Iklan -
Keresahan itu, bukan karena tak senang atau tak suka atas kepulangannya. Tapi, lain daripada itu lebih karena pola berislam yang dianutnya dan beribu-ribu pendukungnya menunjukkan ciri berislam yang keras yang barang tentu sangat berbahaya terhadap kohesi keberagamaan dan keberbangsaan kita.
Kondisi keberislaman dan keberagaman kita kini, seperti yang sedikit saya singgung di atas benar-benar ironis. Pasalnya, kondisi yang seperti itu setidaknya akan mendorong kita masuk pada sebuah pertanyaan: Islam, sebagai solusi atau sebagai sumber kekacauan?
Tentu, kita tidak sepakat dan rela jika Islam disebutkan sebagai sumber kekacauan. Tapi, mau bagaimana lagi, beras telah jadi bubur; kondisi keberislaman kita di Tanah Air memang sudah demikian. Mau tidak mau kita harus mengakui itu, dan menjadikannya alarm keras untuk segera berbenah untuk kemudian mewujudkan Islam yang ramah dan penuh dengan semangat perdamaian.
Karena hal itu, penting bagi semua umat Islam untuk segera evaluasi diri dan memikirkan langkah solutif apa yang bisa dilakukan untuk merestorasi Islam sebagai agama sumber kedamaian, bukan kekacauan.
Dari situ, satu hal yang menurut saya penting untuk dilakukan adalah dengan cara membangun sikap toleransi secara baik dalam kehidupan berislam kita. Karena, harus diakui sejauh ini penerapan sikap toleransi dan saling menghormati antara satu dan lainnya dalam sebuah perbedaan masih terbilang lemah.
Contoh dan bentuk nyata dari semua itu tak lain adalah masifnya perdebatannya tentang keislaman di ruang publik yang hanya karena berbeda pendapat yang ujung-ujungnya berakhir dengan caci-maki; sebuah perbuatan yang oleh Islam sendiri amat tak diamini.
Pertama, untuk mengimplementasikan sikap toleransi secara baik dalam kehidupan keberagamaan dan keberislaman kita itu, penting bagi semua umat muslim untuk terus belajar memahami Islam secara komprehensif bahwa, keberagamaan dan perbedaan pendapat dalam Islam itu adalah hal niscaya.
Dan, jika memang ada perbedaan pendapat yang harus diluruskan, dalam artian ada pendapat yang melenceng dan sesat, Islam mengajarkan kita untuk berdialog, berdiskusi untuk menuntaskan duduk perkara yang dipermasalahkan. Bukan dengan cara komentar-mengomentari di media sosial. Itu tak baik dan tak diajarkan oleh Islam dan Rasulullah Saw.
Kedua, penting bagi setiap pimpinan dan tokoh agama untuk selalu mengampanyekan arti sebuah toleransi dalam kehidupan beragama di negeri plural seperti Indonesia ini. Bukan malah mengompori agar membenci dan menyalahkan kelompok dan golongan yang dianggap tidak sepaham. Niscaya, dengan demikian, akan terwujudlah kehidupan keberagamaan dan keberislaman kita yang penuh kedamaian bukan kekacauan seperti ini.
“Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam”, begitu kata (Q.S. Al-Anbiya: 107) mengapa Nabi Muhammad Saw. diutus untuk menyebarkan Islam. Lalu, masihkah dengan alasan ‘demi membela Islam’ kita mau berlaku kasar dan keras dalam menuyikapi perbedaan paham, pendapat dan keberagaman dalam Islam? Semoga Anda dapat menjawabnya dengan bijak. Wallahu a’lam.
*) Penulis, tinggal di Yogyakarta