Oleh : Mohamad Muzamil
Sangat populer bahwa al-Islam ya’lu wa la yu’la alaih, Islam itu sangat tinggi dan tidak ada yang bisa melampaui tingginya. Artinya Islam adalah agama yang sangat mulia dan tidak ada yang melampaui kemuliaannya. Islam agama yang lengkap mengatur semua aspek kehidupan manusia, lahir maupun batin, dunia dan akhirat, agar manusia dapat selamat, bahagia selamanya.
Namun mengapa kondisi umat Islam masih memprihatinkan? Konflik masih terus berlangsung di kawasan penduduknya mayoritas beragama Islam, antar berbagai kelompok umat Islam terlibat konflik, masih banyak terjadi kemiskinan dan ketertinggalan di berbagai bidang kehidupan, terutama dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Memang lahir para pemikir agar umat Islam terlepas dari masalah-masalah kultural dan struktural yang membelenggu dari kemiskinan dan kebodohan, namun masalah tak kunjung selesai.
- Iklan -
Diantara para pemikir pembaharu seperti Syaikh Muhammad Abduh bahkan berkesimpulan bahwa al-Islam mahjubun bi al-muslimun, Islam terhalang oleh para pemeluknya. Karena itu ketika ia bertemu dengan Hadratus Syaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari, dia menawarkan solusi agar dilakukan gerakan pemurnian Islam dari bid’ah dan khurafat. Sebagaimana diceritakan oleh KH Abdurrahman Badjuri, salah seorang santri Hadratus Syaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari, gurunya itu setuju dengan konsep pemurnian Islam dari bid’ah dan khurafat. Kemudian Syaikh Muhammad Abduh mengajak kepada Rais Akbar NU itu untuk meninggalkan imam madzhab, namun Hadratus Syaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari tidak sependapat dengan Syaikh Muhammad Abduh jika harus meninggalkan imam madzhab empat. Bagi Hadratus Syaikh KH Muhammad Hasyim Asy’ari, umat Islam wajib mengikuti salah satu dari imam madzhab empat, supaya pemahamannya tentang Islam tidak keluar dari manhaj ulama al-salaf al-shalih. Sebab Ulama al-salaf al-shalih lah seperti Imam madzhab empat yang memiliki sanad ilmu dan amal kepada para tabi’in, para tabi’in memiliki sanad kepada para sahabat dan para sahabat memiliki sanad langsung kepada Nabi Muhammad Saw.
Sedangkan Syaikh Muhammad Abduh tetap pada pendiriannya meninggalkan imam madzhab empat, dan justru ia mengajak agar umat kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Menurut KH Abdurrahman Badjuri, dengan berpegang pada imam madzhab empat, bukan berarti umat meninggalkan sumber primer Islam, yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Justru hasil ijtihad imam madzhab empat adalah panduan praktis dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Al-Qur’an dan Al-Hadits bukan turun sekaligus, namun diturunkan berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, baik ketika Nabi Muhammad Saw di Mekkah maupun di Yatsrib. Untuk memahami kedua sumber Islam tersebut sebagaimana pemahaman Nabi Muhammad Saw bukan perkara yang mudah. Artinya diperlukan ilmu-ilmu pendukung seperti ilmu nahwu Sharaf, balaghah, badi’, mani’, asbab al-nuzul, asbab al-wurud, ulum Al-Qur’an, ulum Al-Hadits, ilmu Ushul al-fiqh, dan sejenisnya.
Nabi Muhammad Saw sendiri juga menganjurkan agar ulama mendidik umat disesuaikan dengan tingkat kemampuannya. “Khotibu al-naas ala qadri uqulihim”, berbicaralah kepada manusia sesuai tingkat akalnya. Karena itu mayoritas ulama membagi ilmu-ilmu tersebut ada yang fardhu ain untuk dipelajari dan ada pula yang tergolong fardhu kifayah. Ilmu-ilmu yang wajib dipelajari setiap orang muslim (fardhu ain) adalah ilmu yang diperlukan untuk ibadah keseharian, baik ibadah mahdhoh maupun ibadah mu’amalah. Sedangkan ilmu-ilmu yang wajib dikuasai oleh komunitas muslim (fardhu kifayah) dalam suatu daerah adalah seperti ilmu ekonomi, ilmu pertanian, ilmu kesehatan, ilmu teknik, ilmu kebidanan, farmasi, dan seterusnya yang menjadi kebutuhan umum masyarakat.
Dengan demikian umat Islam harus mau berbagi tugas, ada yang khusus mempelajari ilmu-ilmu syariah secara mendalam seperti dilakukan ulama al-salaf al-shalih, dan harus ada juga yang secara khusus mempelajari ilmu-ilmu yang menjadi kebutuhan umum masyarakat Islam, namun dengan sebelumnya tetap harus mempelajari ilmu-ilmu agama untuk bekal ibadahnya sehari-hari.
Yang sekarang terjadi justru mereka yang mempelajari ilmu-ilmu yang menjadi kebutuhan umum masyarakat, sama sekali tidak dibekali oleh orang tuanya dengan ulumu syariah yang cukup untuk menjalankan ibadah keseharian, sehingga pada akhirnya ia menjadi ilmuwan yang “liberal” di satu pihak, atau menjadi ilmuwan yang “fundamental” di pihak lain.
Padahal yang diperlukan oleh umat adalah ilmuwan yang bersikap “jalan tengah” atau tawasuth, sehingga menjadi rujukan ummat Islam dalam menghadapi masalah mereka.
Wallahu a’lam.