Oleh Agus Wedi
Pengelola Komunitas Serambi Kata Surakarta
Judul Buku: Memoar Bahagia Bersama Anak Tercinta
Penulis: Ngadiyo
- Iklan -
Penerbit: CV. Diomedia
Tahun: 2020
Tebal: 410 Halaman
ISBN: 978-623-92312-4-8.
Pertumbuhan anak dipengaruhi oleh tangan dingin orang tua. Pertemuan ragawi: tubuh, wajah, tangan dan struktur lainnya membuat jejak vitalitas kasih. Daripadanya anak bisa mengontruksi semesta cerita dan fenomena yang mengitarinya dengan membandingkan cerita dan dekapan tangan sayang orang tua.
Di antaranya, yang dapat membentuk ingatan anak adalah (oral) cerita. Hikayat yang sering memancar dari cerita-cerita orang tua mempunyai beban makna yang ikut serta membentuk pola pikir dan pola tindak hidup. Jauh dari itu sikap dan praktik yang diragakan orang tua membekas sepanjang hayat. Bahkan bisa ditirunya dan menjadi motivasinya.
Tapi, apakah ada yang lebih membekas dari pada kevitalan ragawi itu? Ada. Salah satunya mengawetkan cerita-cerita, problem yang sudah-sedang, dan tumpukan impian-harapan dengan ditulis dalam kertas beraksara: yaitu di bukukan. Seperti buku Memoar Bahagia Bersama Anak Tercinta (2020) ini.
Di buku ini, ada 26 orang tua (laki-laki dan perempuan) mengawetkan kisah-kisah sejarah hidupnya dengan buah hatinya. Harapan-harapan dan permintaan-permintaannya diperuntukkan ke anaknya. Sesuatu hal yang pantas dan khas dimiliki orang tua ke anak.
Bu Sri Ulina Ginting misalnya. Dalam tulisan Kado Terakhir Darimu ingin sekali anak semata wayangnya menjadi anak yang baik, sopan, dan setiap saat selalu mengingat Tuhan. Dari segala pengorbanan Sri Ulina hanyalah keinginan anaknya menjadi orang baik dan berbakti kepada siapapun. Itulah yang menjadi pinta dan harapan Bu Sri Ulina ke anaknya, Eci. Dengan sangat hati rendah ia meminta. Kita kutip:
“Eci, anakku, tahukah engkau berapa banyak air mata yang harus mama keluarkan untuk merawat, membesarkan dan membimbingmu. Terkadang mama kehilangan semangat, tapi mama selalu mengingat bahwa engkau adalah harta berharga yang diberikan Tuhan untuk menghiburku. Mama mengubur segala keinginan dagingku hanya demi kebahagiaanmu. Mama selalu berpesan agar engkau mengingat Tuhan dan tetap meminta perlindungan-Nya. Apa yang saat ini kita miliki adalah karena berkat kemurahan Tuhan. Jangan pernah menyerah dan berputus asa. Eci, kau harus semangat mengisi hari-harimu dengan belajar dan mendengarkan firman Tuhan. Sekali lagi anakku, jangan tinggalkan Tuhan” (h. 41). Kita tahu doa ibu bisa saja menentukan hidup.
Sama seperti Ibu, di hati bapak anak adalah belahan jiwa. Ia tidak kuasa ketika melihat anak meski dalam keadaan baik-baik saja. Badan akan rikuh dan pikiran begitu bersahutan untuk mencari jalan bagiamana membawa anak ke perjalanan yang lapang dan tenang. Di situlah pikiran-pikiran mendalam bapak saling berkontestasi bahkan dalam dirinya sendiri. Perasaan ini yang dialami Agus Budi Wahyudi.
Agus, ketika melihat anaknya sering meneteskan air mata. Agus tidak kuasa sebab kebahagian-kebahagian yang diperolehnya. Tetesan air itu air mata bahagia. Air mata memiliki potensi sebagai penanda rasa bahagia. Maka itu, dalam tulisan Tanda Kebahagiaan Runtuh Air Mataku, Agus dengan begitu yakin mengatakan, “Jelas aku memilih menulis memoar bahagia!” Maka itu dalam sekujur memoar yang ditulis berisi getir pengalaman kebahagian bersama anaknya.
Agus memberi pengakuan: ”Kebahagiaan hidup bersama anak-anak. Anak-anak sebagai mutiara keluarga yang datangnya sesuai dengan kehendak Allah SWT. Anak sebagai petunjuk bahwa diriku dipercaya untuk melangsungkan kehidupan, turun menurun, dan berkesinambungan di dunia ini. Ada bentangan jalinan darah yang mengalir ke anak-anak dan mereka pun akan meneruskannya, begitu terus-menerus” (h. 140).
Bagi Agus, kasih sayang dan pengorbanan pada anak-anak tak perlu dihitung dengan kacamata matematis. Anak harus diperlakukan dalam jalinan kasih yang otentik. Kekangan pun tak perlu sebab anak adalah bukan robotis. Ia bisa berpikir dan bisa memilih sesuatu hal yang baik dan yang akan menyebabkan buruk pada dirinya. Di lembar jalin jumalin kemunculan anak ketiganya Agus masih memantapkan pada prisip yang sama: profesionalitas demokrasi berkeluarga.
Prinsip dan sikap kedekatan pada anak akan berdampak besar pada diri anak. Ia bisa menjadi pembentuk resepsi atas dunia sekitar anak. Begitu juga dengan praksisnya, seperti sapaan, gerak ragawi bapak atau orang tua, ia bisa membentuk mentalitas, penentu nasib anak dan bahkan penguji di segala realitas perjalanan hidupnya. Sentuhan kedekatan orang tua pada anak, menentukan setiap anak untuk memantapkan diri bertarung dalam kehidupan sosial, intelektual dan kemanusiaan.
Maka itu, Agus memilih jalan yang sederhana dan biasa-biasa saja tapi menggembirakan. Misalnya mengajak anak dan istri sepedaan mengelilingi sawah. Mengajak anak dan istri makan makanan kesukaannya sembari memandangi bingkai panorama alam. Bahkan tak jarang, ia menjadwalkan untuk sekadar jalan-jalan ke tempat-tempat wisata dekat rumah sambil membawa bekal masakan istri. Agenda-agenda seperti itu terus Agus lakukan hingga sekarang. Menurut Agus wisata menggembirakan tak perlu yang mahal-mahal. Yang murah pun dapat menggembirakan asalkan diniati dan dilakukan dengan kepikan jiwa yang tulus bersyukurs. Pengenalan wisata atau wilayah menjadikan penanaman kesadaran pada anak bahwa kehidupan itu luas.
Melihat perkembangan anak, masa kecil, beranjak dewasa, berwisuda di perguruan tinggi hingga menjalin keluarga adalah kebahagian tak terkira di mata bapak atau orang tua. Arungan waktu bersamanya adalah arungan mata kebahagiaan. Agus menulis: “aku merasakan waktu berjalan begitu terlalu cepat. Padahal baru saja aku membayangkan masa kecil anak-anakku. Hadir dalam acara pewisudahan anak-anak menjadi saat yang begitu indah dan membahagiakan diriku. Anak memang begitu utama dari keluarga” (h.149).
Bahkan Agus menulis: keluarga tanpa kehadiran anak terasa kurang lengkap. Banyak membaca buku bisa dijadikan modal dalam pemahaman terhadap anak dan berhidup bersama dalam sebuah keluarga dengan anak. Cintai anak, berarti kebahagian teraih dengan indah. Kebahagian bersama anak-anak bisa dirasakan manakala dimulai dengan rasa syukur menerima saat istri hamil, lalu kelahiran anak, anak-anak berusia belita, memperhatikan perkembangan mereka sampai anak-anak bisa dilepas menjadi berumah tangga. Rasa ikhlas membiyai anak dan segala hal itu pintu untuk merasakan kebahagiaan. Tidak membanding-bandingkan anak-anak dengan anak orang lain. Setiap anak memiliki kelebihan, keistimewaan, keunggulan masing-masing”. Bagi Agus mencerna anak, menemukan kebahagiaan.
Buku Memoar Bahagia Bersama Anak Tercinta yang ditulis para ibu dan bapak ini adalah pengalaman berharga dan otentik. Bahkan jika boleh dikata demikian, ia sebentuk pengawetan sejarah dalam jejak kata untuk menemukan peristiwa dan kebahagian bersama keluarga. Begitu yang sudah, sedang dan akan.