Oleh Bandung Mawardi
Bahasa membuat balatentara Jepang “salah tingkah”. Keberhasilan mengalahkan Belanda justru menimbulkan masalah, bukan cuma senjata atau harta tapi bahasa. “Orang Jepang terpaksa mengakui dan mempergunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi karena tidak ada djalan lain dan keadaan itu sangat menguntungkan perkembangan bahasa Indonesia,” tulis Zuber Usman dalam buku berjudul Kedudukan Bangsa dan Bahasa Indonesia (1960). Perintah awal Jepang adalah melarang penggunaan bahasa Belanda. Perintah mengesahkan Belanda memang kalah, termasuk dalam urusan bahasa. Situasi itu justru membuat bahasa Indonesia tiba-tiba penting dan terhormat.
Orang-orang Indonesia girang mengetahui janji-janji Jepang. Segala kebijakan babak awal membuat tercengang, mendapat sokongan besar dari orang-orang Indonesia. E Harahap lekas membuat Kamoes Indonesia untuk mendukung penggunaan bahasa Indonesia pada masa pendudukan Jepang. Kamus disusun secara singkat, memenuhi kebutuhan pemajuan bahasa Indonesia bila mengacu janji manis Jepang. Pemanjaan pun berupa keputusan membentuk Komisi Bahasa Indonesia, 20 Oktober 1942. Orang-orang beranggapan masa depan terang bagi (bahasa) Indonesia. Sekian bulan berlalu, Jepang gamblang ingkar janji. Zuber Usman menerangkan: “Pemerintah Djepang sebenarnja tidak rela memadjukan bahasa Indonesia. Pengakuan mereka hanja dimulut sadja dan bersifat sementara dan berpura-pura.”
Penentuan nasib bahasa Indonesia (paling) menegangkan pada masa pendudukan Jepang meski didahului oleh Sumpah Pemuda (1928), Poedjangga Baroe (1933), Kongres Bahasa Indonesia I (1938), dan lain-lain. Sikap dan kebijakan politik menentukan bahasa Indonesia terus bergerak maju atau “telantar” akibat seribu muslihat. Jepang datang meraih menang tapi “salah tingkah” gara-gara bahasa. Janji diberikan tapi kebohongan lekas terungkap. Kebijakan rumit mengenai bahasa terjadi di sekolah. “Di bawah kekuasaan Jepang, pelajaran bahasa Indonesia didorong dan bahasa Indonesia semakin sering digunakan di sekolah dibandingkan dengan bahasa daerah,” taktik awal itu terjelaskan dalam buku berjudul Mobilisasi dan Kontrol: Studi Tentang Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa 1942-1945 (1993). Pada episode berbeda, Jepang ingin agar murid-murid lekas belajar bahasa Jepang. Pemerintah menentukan aturan mengajarkan bahasa Jepang di sekolah lanjutan. Guru-guru dari Jepang didatangkan demi memenuhi pamrih kebahasaan dan kekuasaan. Bahasa Indonesia, daerah, dan Jepang diajarkan dan digunakan dalam suasana tak menentu.
- Iklan -
Di kalangan sastra, bahasa Indonesia terus memiliki gairah dalam penulisan cerita pendek, puisi, dan novel. Nasib bahasa Indonesia di tangan pengarang kadang dipaksa menjadikan itu propaganda. Sastra untuk memajukan bahasa Indonesia berada dalam dilema-dilema akibat Jepang menginginkan proganda bisa membuat orang-orang mau patuh dengan impian-impian muluk mau diselenggarakan di Indonesia. Jepang mengondisikan bahasa Indonesia terbebani politik untuk digunakan sebagai slogan atau seruan-seruan. Dilema-dilema ditanggapi secara berani oleh para pengarang dengan konsekuensi mendapat hukuman dari Jepang. Bahasa Indonesia beradalam dalam masalah pelik, sebelum berhasil tercantum dalam UUD 1945 disahkan pada 18 Agustus 1945.
Janji-janji mau memajukan bahasa Indonesia menjadi dalih penulisan buku-buku mengenai bahasa Indonesia digunakan dalam pengajaran, pers, dan umum. Imam Soepardi, pengarang dan wartawan memiliki kedekatan dengan Soetomo dan menggerakkan Panjebar Semangat, mengambil peran sebagai penulis buku Paramasastera Indonesia. Buku untuk mengajarkan bahasa Indonesia itu memuat keterangan: “Dengen Izin Barisan Propaganda Dai Nippon, 9 Djoeli 2602.” Keinginan mengajarkan bahasa Indonesia wajib memenuhi peraturan-peraturan militer dan birokrasi Jepang. Buku penting itu diterbitkan oleh Soeara Asia: cetakan pertama (15 Agutsus 1942), cetakan kedua (1 September 1942), dan cetakan ketiga (1 Oktober 1943).
Imam Soepardi (1942) mengungkapkan: “Moedah-moedahanlah terbit boekoe ini mendjadi tjemeti bagi masjarakat dinegeri ini oentoek mempeladjari lebih dalam bahasa nenek mojangnja jang telah lama tersia-sia itoe, sehingga kelak terbitlah boekoe paramasastera jang memadai dengan deradjad bahasa jang dikarang poela oleh ahli bahasa jang sesoenggoehnja.” Ia mengaku tak memiliki pemahaman mendalam atas bahasa Indonesia tapi memberanikan diri menulis buku pelajaran bahasa Indonesia setelah “terlalu” dibutuhkan oleh murid, guru, dan umum. Pada masa pendudukan Jepang, buku dan pengajaran turut dalam kebijakan-kebijakan mendadak dan dilematis. Kita dibuat bingung oleh Imam Soepardi dengan mengatakan “telah lama tersia-sia”. Pada masa kolonial, bahasa Indonesia tetap bergerak dan menentukan pembesaran nasionalisme. “Tersia-sia” mungkin berkaitan ketiadaan kebijakan-kebijakan berpihak dari pemerintah kolonial Belanda. Di sastra, pers, partai politik, dan pengajaran, bahasa Indonesia justru bertumbuh seru tanpa harus bertumpu konstitusi kolonial.
Pengajaran bahasa Indonesia setelah Sumpah Pemuda (1928) memang memiliki pelbagai masalah, terutama ketersediaan buku-buku pelajaran dan para pengajar mumpuni. Di jagat pengajaran, BR Motik menulis buku berjudul ‘Ilmoe Saraf Indonesia (1937). Buku digunakan dalam mengajarkan tata bahasa Indonesia dengan keterbatasan dan kekurangan. Pengakuan lugu: “Oleh karena sampai sekarang sedikit benar kitab-kitab ‘ilmoe saraf bahasa Indonesia jang dapat dipakai dan dipeladjari moerid-moerid dengan djalan jang semoedah-moedahnja, maka timboellah hasrat dalam hati saja akan menoelis kitab ini dengan pengharapan moga-moga bergoena djoegalah ia hendaknja bagi masjarakat.”
Bahasa Indonesia masih berada dalam “tekanan” dan dipengaruhi sikap-sikap politik kolonial. Kaum terpelajar dan guru sudah mengusahakan agar ada pemajuan bahasa Indonesia tapi masalah tata bahasa dan perkamusan belum meriah diadakan di Indonesia. Godaan menguasai bahasa Belanda sebagai tanda kemodernan dan keintelektualan masih menjalar di kalangan terpelajar. Bahasa Indonesia dalam keilmuan belum terlalu memikat mereka. Di politik, bahasa Indonesia sudah berpengaruh tapi usaha menjadikan sebagai bahasa modern atau bahasa “kemadjoean” masih memiliki beragam hambatan. Peran buku pelajaran bahasa Indonesia di sekolah agak mengarah ke pemuliaan bahasa Indonesia mencapat derajat keintelektualan dan diminati oleh kaum pelajar atau kaum muda.
Pada abad XXI, pemerintah dengan sekian kebijakan dan program menginginkan perkembangan bahasa Indonesia. Keinginan klise, tak mengejutkan atau memberi gairah bagi kita mengadakan pemajuan-pemajuan. Di birokrasi, nasib bahasa Indonesia malah semakin tak keruan bila dibandingkan di pendidikan-pengajaran. Kita justru sering dibingungkan dengan tata bahasa, pedoman ejaan, kamus, buku pelajaran, dan lain-lain. Klise demi klise membuat nasib bahasa Indonesia sering tak untung.
Kini, publik sulit mengharapkan dapat percik atau bara memajukan bahasa Indonesia dari pemerintah, setelah mengetahui peran para tokoh dan pelbagai komunitas partikelir mengurusi bahasa Indonesia. Ketokohan Ivan Lanin, Eko Endarmoko, Andre Moller, dan lain-lain menggairahkan kita terus memuliakan dan memajukan bahasa Indonesia. Sikap memuliakan tentu tak sempurna bila kita melupa buku-buku lama dan para tokoh sejak masa kolonial telah berikhtiar meninggikan martabat bahasa Indonesia. Pada suatu masa, BR Motik dan Imam Soepardi telah menunaikan misi demi bahasa Indonesia meski tahun-tahun berlalu dengan pelupaan. Nama mereka jarang lagi terucap atau mendapat tempat terhormat dalam album sejarah dan perkembangan bahasa Indonesia, dari masa ke masa. Begitu.