Oleh Sam Edy Yuswanto
Judul Buku: Ulama-Ulama
Penulis : K.H. Husein Muhammad
Penerbit: IRCiSoD
- Iklan -
Cetakan: I, Juni 2020
Tebal: 156 halaman
ISBN: 978-623-7378-66-2
Membaca kisah para ulama terdahulu yang semasa hidupnya begitu menghargai waktu dapat menumbuhkan spirit sekaligus motivasi bagi kita. Dari mereka, kita belajar tentang bagaimana cara mengalokasikan waktu 24 jam setiap hari sepanjang hidup. Dari mereka pula kita jadi mengerti bahwa ciri orang yang merugi ialah yang tak berusaha mengoptimalkan waktunya dengan baik.
Imam Abu Hamid al-Ghazali adalah salah satu ulama terkemuka (1058-1111 M) yang sangat menghargai waktu dan mencintai ilmu. Al-Ghazali memulai pendidikannya saat masih kecil. Ia belajar fiqh kepada Syaikh Ahmad bin Muhammad ar-Radzakani di Kota Thus. Kemudian ia berangkat ke Jurjan (Georgia saat ini) untuk mengaji kepada Imam Abu Nashr al-Isma’ili. Ia juga pernah ke Kota Nisapur dan berguru kepada Imam Abu al-Ma’ali al-Juwaini atau yang lebih terkenal dengan sebutan Imam Haramain, seorang ulama besar yang sangat terkenal.
Al-Ghazali dikenal sebagai sosok ulama yang cerdas. Karena kecerdasannya, namanya lantas dikenal di kalangan pemerintah. Tahun 484 H, ia diminta oleh Perdana Menteri Nizham al-Muluk mengajar di Universitas Nizhamiyah di Baghdad. Di tempat ini, kecerdasan dan ketokohannya kian menjulang. Ia menjadi tokoh idola para ulama dan kaum intelektual pada masa itu (hlm. 74).
Al-Ghazali meninggal dunia di usia 55 tahun dan meninggalkan 457 kitab karangannya. Ihya’ Ulumuddin adalah salah satu kitab karyanya yang begitu populer dan hingga kini masih menjadi rujukan penting bagi umat Islam di berbagai belahan dunia. Ada kisah menarik dan sarat renungan menjelang wafatnya. Kisah tersebut disampaikan oleh Imam Ibnu al-Jauzi dalam kitabnya, Ats-Tsabat ‘Inda al-Mamat, dengan menukil cerita dari saudaranya Al-Ghazali.
Pada subuh hari Senin, Al-Ghazali berwudhu dan shalat, lalu ia berkata kepada saudaranya, “Bawa kemari kain kafanku.” Lalu, ia mengambil dan menciumnya, serta meletakannya di kedua matanya, dan berkata, “Aku patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian, ia meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Ia wafat sebelum langit menguning (menjelang pagi).
Imam Ibnu Mundzir (856-930 M) juga termasuk sosok ulama berpengaruh yang sangat menghargai waktu dan mencintai ilmu. Demi menuntaskan dahaganya terhadap ilmu pengetahuan, ia pergi merantau ke Mesir untuk menuntut ilmu hadits dan fiqh. Ia juga pergi ke Nisapur, Iran, untuk mengaji hadits kepada sejumlah ulama besar seperti Al-Hafizh Muhammad bin Yahya adz-Dzihli (w. 267 H). Ia juga pergi menuju Makkah untuk belajar hadits kepada seorang muhaddits, Syaikh Muhammad bin Ismail ash-Shaigh (w. 276 H). Ia lantas bermukim di kota suci tersebut dan mengembangkan ilmunya, dengan memberikan pengajian kepada publik dan menulis (hlm. 42).
Karir ilmiah Imam Ibnu Mundzir kian melejit. Ia pun diangkat menjadi Syaikh al-Haram al-Makki (Guru Besar Makkah). Imam Nawawi memandang sosok Ibnu Mundzir sebagai mujtahid mutlak, sebagaimana para imam madzhab besar. Ia dikenal sebagai sosok ulama yang produktif dan menulis sejumlah karya penting yang menjadi rujukan kaum Muslimin dunia. Syaikh Abu Ishaq Ibrahim pernah mengisahkan bahwa Ibnu Mundzir adalah seorang ulama yang rajin dan tekun membaca serta mengaji. Seluruh harinya, baik siang maupun malam, dihabiskan untuk mencari ilmu.
Sosok ulama berikutnya yang sangat menghargai waktu adalah Syaikh Jamaluddin al-Qasimi (1866-1914 M). Ia memeroleh pendidikan agama sejak kecil terutama dari orangtuanya. Bahkan di usia yang masih belia, ia telah hapal Al-Qur’an. Ia dikenal sebagai sosok yang haus terhadap berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Di usia 14 tahun ia sudah sangat aktif mengajar dan menulis. Baginya, tak ada waktu untuk menganggur. Waktu terlalu berharga untuk disia-siakan.
Ada kisah menarik yang bisa dijadikan renungan ketika Syaikh Jamaluddin sedang melewati sebuah pasar dan melihat banyak orang sedang minum-minum di kafe-kafe. Mereka menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang. Kepada temannya, Syaikh Jamaluddin berbisik, “Andai saja waktu bisa dibeli, aku akan membeli waktu mereka itu” (hlm. 146).
Kisah para ulama yang ditulis oleh K.H. Husein Muhammad, kiai yang lahir di Cirebon 9 Mei 1953, dalam buku ini diharapkan bisa memberikan pencerahan bagi kita tentang betapa pentingnya menghargai waktu dalam setiap harinya. Jangan sampai ada waktu yang longgar dan terbuang sia-sia. Mari gunakan waktu 24 jam setiap harinya secara produktif untuk melakukan beragam aktivitas positif, termasuk menebar kebaikan terhadap sesama.
–Sam Edy Yuswanto, penulis lepas, alumnus STAINU (Fakultas Tarbiyah) Kebumen.