Oleh : Nur Jannah Jamil
Ilmu tidak bisa dilepaskan dari kehidupan. Pasalnya, ilmu menjadi tolok ukur utama seseorang dalam bertindak. Semakin tinggi ilmu yang didapat, semakin tinggi pula derajat yang akan diperolehnya. Namun semua itu tergantung pada pengamalan ilmunya itu sendiri. Sehingga begitu pentingnya seseorang dalam berilmu.
Sejak kecil saya sering mendengar orang-orang berkata : “Nak, kamu itu harus rajin sekolah biar pintar, biar dapat ilmu” Orang tua ku pun tidak jauh berbeda. “Nak kamu harus rajin mengaji supaya mendapat ilmu yang barokah dan manfaat dunia akhirat.” Mungkin sudah puluhan kali bahkan ratusan kali orang berkata. Pada waktu itu saya hanya meng’iya’kan saja tanpa mengerti apa itu ilmu. Yang saya tahu ilmu itu seperti perintah dari ibu guru ke muridnya, dari guru ngaji ke muridnya.
Waktu berlalu dengan cepat, tapi saya masih tetap belum memahaminya. Hingga suatu saat saya berjalan-jalan di suatu tempat bersama teman-teman dan guru ngaji saya. Semuanya sangat senang karena bisa mendaki bukit melewati persawahan yang berkelok-kelok. Akhirnya sampailah kita pada sebuah tempat, ternyata di tempat itu terdapat sebuah batu yang diatasnya ada tulisan “Meteor”. Teman-temanku bilang ini adalah sebuah benda langit yang konon katanya jatuh dari planet lain sehingga dinamakan meteor.
- Iklan -
Saya hanya melihat dengan sekilas saja. Karena kelelahan kita semua membentangkan tikar untuk makan bersama. Saking laparnya, kita langsung melahap makanan masing-masing, termasuk saya. Al hasil saya tersedak makanannya karena tergesa-gesa. Guru ngaji saya langsung memberikan air putih. Tiba-tiba guru ngaji saya meminta semua meletakkan makanannya dan berkata “apakah kalian sudah lupa tata cara makan? berdoalah sebelum makan, dan jangan tergesa-gesa karena tergesa-gesa itu termasuk perbuatan setan,” Kita semua hanya tersenyum dan saling pandang, ternyata kita lupa tidak membaca doa. Setelah membaca doa kita melanjutkan makan.
Sebagai rasa penasaran, saya memberanikan diri untuk bertanya kepada guru ngaji saya. “Pak, kenapa kita diajak jalan-jalan kesini? Kenapa tidak di pantai saja yang bisa melihat laut dan dan ikan-ikan” pikir saya. Saya memanggilnya dengan nama Pak Azhar, ia memberikan isyarat untuk duduk dan berkumpul. Pak azhar menyampaikan sebuah bahwa pada dasarnya manusia meilputi tiga tingkatan, yang pertama, tingkatan Malaikat yaitu orang yang selalu bermanfaat untuk orang lain.
Kedua, tingkatan Batu yaitu orang yang tidak bermanfaat tapi juga tidak mengganggu. Ketiga, tingkatan Ular yaitu orang yang selalu ditakuti. Temasuk orang yang bermanfaat adalah orang yang berilmu dan bisa menerapkan ilmunya. Seperti ketika kita akan makan, ada tata cara yang dilaksanakan didalamnya. Itu termasuk pengamalan dari ilmu. Setelah Pak azhar menjelaskan, saya mulai memahami tentang ilmu. Sejak saat itu pula saya menjadi bersemangat untuk mengaji.
Ilmu sebagai Benteng Kepemimpinan
Sebagian Hukama’ mengatakan, Ilmu itu dibagi menjadi tiga huruf, yakni ‘Ain, lam dan Mim. Masing-masing huruf memiliki singakatan sendiri. Huruf ‘Ain berasal dari kata ‘Iliyyin yang artinya orang yang berilmu akan memiliki ketinggian derajat dan mendapat kemuliaan. Kita tidak bisa mengukur seberapa besar ketinggian derajatnya, karena derajat bukan di mata manusia.
Kedua, huruf Lam singkatan dari luthfi atau Lathifun yang berarti orang yang berilmu akan menjadi lembut dalam bertindak.Ketika seseorang sudah berilmu maka ia akan menggunakan akal pikiran dan hatinya saat malakukan sesuatu. Apabila yang akan dilakukan tidak benar, maka ia akan berpikir dua kali untuk melakukannya. Akal dan hati akan saling berkolaborasi menentukan tindakan. Jika hati dan akalnya sejalan dan baik, maka yang dihasilkan adalah perbuatan baik begitu pula sebaliknya. Sedangkan yang ketiga yaitu huruf Mim berasal dari kata Mulkun yang artinya kerajaan. Maksudnya orang yang memiliki ilmu akan diberi kedudukan sebagai pemimpin.
Perlu kita ketahui, dalam suatu daerah pasti membutuhkan seorang pemimpin. Pemimpin yang bagaimana yang kita perlukan? Tentu saja seseorang yang memiliki ilmu. Artinya, tidak hanya sebatas tahu namun juga dalam hal pengamalannya. Disamping memiliki pengetahuan ia juga harus memiliki kemampuan untuk memimpin rakyatnya. Pemimpin sebagai teladan bagi orang lain atau rakyatnya harus memiliki sifat-sifat yang mulia Sebagaimana dalam firman Allah Surah Al-Qashas ayat 26 yang artinya “Sesungguhnya manusia terbaik yang engkau tunjuk untuk bekerja adalah orang yang kuat lagi amanah” Pemimpin yang berilmu tentulah mengetahui sifat-sifat utama yang dimiliki Rasulullah yaitu Shidiq, Amanah, Tabligh, Fathonah.
Pertama, sifat sidiq atau jujur. Sifat ini menjadi syarat utama seorang pemimpin. Masyarakat akan menaruh kepercayaan penuh ketika pemimpin itu sudah terbukti kualitas kejururannya. Jujur merupakan kesesuaian antara ucapan dan perbuatan. Tidak jarang masyarakat yang memprotes tindakan pemimpinnya yang tidak sejalan dengan perkataannya, yang hanya membuat janji-janji palsu tanpa mutu. Prinsip kejujuran yang ditegakkan pemimpin akan menjadi tumpuan harapan bagi rakyatnya.
Kedua, amanah atau terpercaya. Imam Ghazali pernah berpesan kepada murid-muridnya perihal perkara yang paling berat. Tentu saja yang berat bukan memikul rindu seperti di film Dilan yang beberapa waktu lalu menjadi tren. Tapi perkara yang paling berat adalah memegang amanah. Bukan suatu hal yang mudah bagi seseorang pemimpin, sebab amanah mengandung arti bahwa sesuatu benar-benar telah dipercayakan untuk dilaksanakan dan dipelihara dengan baik. Segala macam urusan yang terjadi di tengah masyarakat akan diserahkan sepenuhnya kepada pemimpin. Bentuk kebalikan dari amanah adalah sifat khianat. Tidak menjaga dengan baik apa-apa yang dipercayakan. Hal ini banyak terjadi di negara kita. Sebut saja kasus korupsi. Sebagian besar pemimpin mulai dari yang bawah hingga atas, sudah terbiasa mengkhianati kepercayaan rakyat dengan cara memperkaya diri melalui jabatan.Hal inilah yang akan menjadikan rusaknya ilmu hilangnya rasa tanggung jawab sebagai pemimpin.
Ketiga yaitu sifat Tabligh. Dalam bahasa Indonesia tabligh diartikan dengan menyampaikan informasi atau komunikatif. Sifat keterbukaan pemimpin diperlukan untuk menjalin hubungan baik dengan rakyatnya. Keterbukaan bukan berarti ia harus mengungkap semua permasalahan kepada rakyatnya, namun sebagai upaya untuk membangun kepercayaan masyarakat dengan transparan.
Keempat, sifat Fathonah atau cerdas. Pemimpin yang cerdas adalah pemimpin yang bisa mengatasi segala macam persoalan yang terjadi di masyarakat. Kecerdasan yang dimiliki cenderung diatas rata-rata masyarakat nya sehingga memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Dia tidak mudah frustasi ketika dihujani problematika yang datang, karena dia mampu mencari solusi. Keilmuan yang dimiliki akan menjadi bahan bakar untuk terus melaju diatas roda kepemimpinannya.
Jika dilihat dari fenomena-fenomena yang terjadi di negara kita, mungkin memang banyak orang-orang besar yang berilmu tinggi. Banyak tokoh-tokoh yang awalnya terkenal dengan segudang prestasi dan keahliannya. Namun pada akhirnya mereka tumbang karena ulahnya sendiri. Pangkat yang tidak didasari dengan keilmuan serta keimanan yang kuat akan melenceng dari tujuannya.
Begitulah ilmu menjadi pegangan pokok dan benteng yang harus dimiliki bagi siapapun. Semua berhak mengambil ilmu dalam bidang apapun, tinggal bagaimana orang itu akan mengamalkannya dan kearah mana ia akan membawanya. Meskipun ia berilmu tinggi namun tidak ada pengamalan sama sekali sama saja dengan pohon yang tak berbuah. Wahai para pemuda penerus bangsa, sudahkah engkau beramal dan berilmu?
– Aktivis LPM Grip STAINU Temanggung, Santri Ponpes Miftakhurrosyidin Cekelan Madureso Temanggung