Judul Buku: KHILAFAH: Peran Manusia di Bumi
Penulis: M. Quraish Shihab
Penerbit: Lentera Hati
Cetakan, Tahun terbit: Pertama, Juni 2020
- Iklan -
Dimensi Buku: 188 hlm.
ISBN: 978-628-7713-29-6
Ibadah
Tidaklah aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepadaku. Begitulah kira-kira makna ayat al-Quran surat al-Dzariyat ayat ke 56. Ayat ini sering dijadikan dalil mengenai tujuan penciptaan manusia. Dari ayat ini banyak dari kita kaum muslim yang kemudian pasrah pada kehidupan dan tidak mau terlalu terlibat dalam pentas peradaban dunia karena menganggap hal itu bukanlah tujuan eksistensi manusia. Maksud dari penciptaan manusia adalah beribadah kepada Allah yang sialnya dipahami oleh sebagian besar dari kita terbatas pada salat, puasa, haji, dan aneka ibadah ritual lainnya.
Pemahaman sempit demikian kemungkinan besar menjadi salah satu faktor mundurnya umat Islam dalam sekian abad. Padahal jika kita mau melihat sejarah antara abad ke 8 sampai abad ke 13 Masehi, Islam menjadi pusat peradaban dunia. Tidak sedikit sumbangsih umat Islam terhadap peradaban dunia dari hal-hal yang berhubungan dengan sains, kedokteran, teknologi, filsafat dan bidang keilmuan lainnya. Pada zaman inilah lahir tokoh-tokoh Islam yang namanya masih terdengar sampai sekarang seperti Ibnu Sina atau Avicenna, Al-Kindi, Ibnu Rushd atau Averros, dan Al-Khawarizmi yang dikenal sebagai “Bapak Aljabar”.
Lantas dimana kesalahan kita dalam memaknai ayat di atas? Kesalahannya adalah karena kita lupa dengan ayat lain yang menyatakan bahwa Allah menciptakan Adam sebagai khalifah di bumi (al-Baqoroh 30-31).
Dalam buku terbaru Quraish Shihab yang berjudul Khilafah peran manusia di bumi, beliau mencoba mendudukkan persoalan ini. Beliau menegaskan bahwa tidak ada seorang pun dari pakar tafsir al-Qur’an klasik maupun modern yang mengartikan ayat ke 56 dari surat Al-Dzariyat terbatas pada salat, zakat, puasa, dan haji.
Dalam pemaparannya, Quraish Shihab menduga keras kesalahan dalam memahami makna ibadah dimulai sejak pembagian bab-bab dalam kitab fikih yang memisahkan bab ibadah dengan bab jual beli dan bab-bab lainnya. Sehingga tidak sedikit orang yang tidak paham kemudian menyimpulkan ibadah itu hanya berkisar pada aktifitas ritual seperti yang tertera pada bab ibadah dalam kitab fiqh seperti salat, zakat, puasa, dan haji.
Khalifah
Kata khalifah, menurut Ibnu Faris (941-1004 M) dalam kitabnya berjudul Maqayis al-Lughah, memiliki tiga makna dasar. Pertama berarti sesuatu yang datang sesudah kedatangan yang lain dan menggantikan perannya. Kedua berarti berbeda. Dan ketiga berarti perubahan bau mulut karena berpuasa (khuluf).
Adapun ayat 30-31 surat al-Baqoroh, banyak ulama memahami kata khalifah disana dalam arti pengganti makhluk lain yang telah menghuni bumi. Ini sesuai dengan makna dasar pertam yang disebutkan Ibnu Faris. Jadi sebelum sosok Adam diciptakan oleh Allah sebagai khalifah di bumi, ada makhluk lain yang sebelumnya menjadi pengelola bumi dan gagal. Hal ini juga yang menyebabkan para malaikat bertanya kepada Allah mengapa Allah hendak menjadikan seorang khalifah yang hanya akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah. Menurut Quraish Shihab mahkluk sebelum Adam itu bisa jadi dari jenis jin atau dari jenis manusia (Homo Erectus) yang sudah ada sebelum manusia modern (Adam dan keturunannya).
Khalifah adalah sosok yang menjadi pengelola bumi. Tugasnya adalah mengantarkan semua ciptaan tuhan menuju tujuan penciptaannya baik ciptaan yang bernyawa maupun yang tidak. Semua potensi yang dibutuhkan manusia sebagai khalifah untuk mengemban tugas itu sudah Allah siapkan pada diri mereka berupa naluri, panca indera, akal dan ilmu. Bumi pun sudah Allah tundukkan bagi manusia agar mereka mudah dalam mengelolanya.
Adapun ibadah-ibadah ritual seperti salat juga tidak kalah penting. Quraish Shihab menganalogikan salat sebagai bekal dalam perjalanan menjadi khalifah. Tanpa bekal, perjalanan akan gagal. Tetapi terlalu asyik mengumpulkan bekal akan melupakan tujuan yang harus dicapai dalam perjalanan. Dengan kata lain salat dan ibadah ritual lainnya itu seperti makan sedangkan menjadi khalifah adalah hidupnya.
Lebih dalam lagi, Quraish Shihab memaparkan, Sebelum Adam menjalankan tugasnya di bumi, Allah terlebih dahulu menempatkannya di surga. Hal ini mejadi pengalaman yang berharga bagi Adam karena dengan demikian dia tahu bagaimana kondisi dan situasi surga. Sehingga muncul hasrat dalam dirinya untuk mewujudkan bumi seperti surga yang dia tempati sebelumnya. Sebuah surga yang penuh kedamaian, menyenangkan, tidak ada pertikaian, terpenuhinya kebutuhan jasmani dan rohani. Dunia seperti itulah yang seharusnya diciptakan oleh manusia sebagai anak cucu Adam.
Khilafah
Dalam buku ini, Quraish Shihab juga menjabarkan khilafah dalam arti penguasa politik. Dalam penjelasannya dikemukakan bahwa al-Qur’an tidak pernah memerinci tentang bentuk kekhalifahan. Tidak ada kewajiban untuk mendirikan suatu negara atau kekhilafahan dengan sistem tertentu atau pengangkatan khilafah dengan cara tertentu. Mengapa? Karena Allah tahu kehidupan manusia akan selalu mengalami perkembangan dari masa ke masa. Sehingga perubahan dan perkembangan itu menuntut adanya solusi baru, meskipun ada beberapa prinsip-prinsip dalam kepemimpinan yang al-Qur’an patenkan karena nilainya tidak akan berubah sepanjang masa seperti prinsip keadilan.
Ambillah contoh empat tokoh Khulafa al-Rasydin. Cara pengangkatan mereka berbeda satu dengan yangh lain. Abu Bakar r.a diangkat berdasarkan musyawarah terbatas dan disetujui oleh umat, Umar ibn Khattab r.a ditunjuk langsung oleh Abu Bakar r.a lalu dibaiat oleh umat. Usman bin Affan r.a dipilih oleh panitia bentukan khalifah Umar yang terdiri dari enam orang. Dan Sayyidina Ali r.a terpilih karena desakan umat setelah terjadinya kekacauan berkaitan dengan pembunuhan khalifah Usman r.a.
Perbedaan dalam cara pengangkatan pemimpin akan selalu diperdebatkan. Meskipun demikian semua sepakat tentang perlunya sebuah lembaga yang mengatur kehidupan manusia dalam rangka mensukseskan tujuan memakmurkan bumi dan membangun peradaban dunia.
Walhasil, eksistensi manusia bukan hanya bertujuan untuk menyembah Allah dalam arti yang sempit. Ibadah tidak melulu berkaitan dengan hal-hal spiritual. Potensi manusia berupa panca indera, akal yang cemerlang, dan intuisi tentu harus digunakan oleh manusia. Di sisi lain alam semesta, khususnya bumi, menyimpan banyak potensi yang sudah Allah tundukkan untuk manusia demi berhasilnya pengelolaan bumi. Sehingga jika semua potensi itu disia-siakan tentu hal itu merupakan bentuk kekufuran dan ketidakamanahan dalam menjalankan tugas sebagai khalifah di bumi.
Membaca buku ini membuat kita mereparasi pikiran-pikiran yang selama ini membuat umat Islam jumud tanpa kemajuan yang berarti. Memahami al-Qur’an secara benar dan tidak parsial akan mengantarkan pengikutnya mencapai keseimbangan dalam hidup dan tidak mempertentangkan dimensi dunia dengan akhirat. Dan pada akhirnya semua kembali kepada sang pencipta dengan wajah yang ceria karena tugasnya sebagai khalifah di bumi telah purna.
-Peresensi Moch. Dimas Maulana, Penikmat karya-karya tafsir al-Qur’an, Tinggal di Pesantren Trenlish al-Fatih, Sorosutan, Umbulharjo, Yogyakarta.