Oleh: Tjahjono Widarmanto
Kekuasaan tidak bisa mengabaikan kata-kata, baik saat kuasa itu sudah di cengkeraman tangan ataukah saat pulung kuasa diperebutkan. Saat kuasa harus dipertahankan maka kekuatan kata menjadi poros penting untuk memanipulasi keabsahan kuasa. Saat kuasa diperebutkan maka melalui kata pula dibangun pencitraan-pencitraan untuk menjajakan betapa seseorang merasa paling tepat untuk menggenggam pulung kuasa.
Kampanye adalah pabrik kata-kata. Kampanye adalah politik bermain kata-kata. Kampanye adalah bagaimana mengemas sebuah gambar citraan kata-kata dan selebihnya adalah manipulasi.
Debat adalah supermarket dan etalase yang tepat untuk menjajakan kata-kata. Konsultan politik menangkap pasar itu dan merancang siasat lantas menyusun kata sebagai senjata kontestan dalam berdebat. Produksi kata-kata menjadi bagian utuh dari kesempurnaan tampilan.
- Iklan -
Debat merupakan sebuah bentuk komunikasi lisan yang terwujud dalam bahasa untuk mengajukan dan mempertahankan tesis. Argumen semestinya menjadi hal yang penting dalam proses debat sebab melalui argumenlah tesis dan alasan akan dipertimbangkan akal sehat. Adu argumentasi yang rasional semestinya menjadi titik tumpu dalam perdebatan, bukan sekadar eksploitasi emosi dan persuasi.
Namun dalam kata-kata tak hanya ada logika namun juga emosi. Emosi lebih efektif dibanding logika dalam kepentingan politik untuk menjaring simpati. Dahsyatnya emosi dalam kata-kata menyebabkan seseorang tak risih menggunakan kata-kata untuk berpura-pura. Orang-orang ramai, kerumunan, lebih cepat tersentuh dengan kata-kata yang memiliki kekuatan emosi dibanding kata-kata yang sarat argumen logika. Emosi yang muncul dari pengaruh kata-kata lebih menentukan dibandingkan isi yang bisa dicerna.
Maka dalam debat pun berhamburan kata-kata yang akan segera hilang dalam ingatan. Tapi itu tak penting. Tangkapan selintas untuk meraih simpati lebih penting daripada isi yang bisa diingat. Kata-kata yang muncul pun kutip sana, kutip sini, mulai dari Machiavelli hingga ayat-ayat Tuhan. Persaingan yang keras menghalalkan pula berbagai hujat dan sindir yang nihil pikir.
Kata-kata pada akhirnya akan berlindung pada atas nama demokrasi, walaupun sesungguhnya hanyalah piranti dari sebuah strategi untuk meraih tahta kuasa dengan melalui simpati dan dukungan sebanyak mungkin. Kata-kata bahkan yang paling suci pun bisa menjadi sekedar alat politik. Kata-kata, bahkan yang paling suci pun akan dimanipulasi sebagai sarana membuai janji-janji.
Politik sulit berdekatan dengan moral dan nilai. Kata-kata yang pernah dianggap sebagai suara kebenaran seperti termaktub dalam karya-karya sastra saat bersentuhan sebagai alat politik akan terperosok menjadi sabda yang penuh kecurangan. Kata-kata menjadi alat tipu daya, alat mengobral janji, alat mendeskreditkan pihak lain bahkan alat untuk menanamkan kebencian terhadap para pesaingnya. Kata-kata menjadi palsu. Janji palsu. Harapan palsu. Tangis palsu. Senyum palsu. Maka kebenaran kabur ke mana-mana. Tak jelas lagi mana yang terang mana yang gelap, Samar, mana yang patut mana yang tak pantas. Kata-kata menjadi hantu yang sulit diterka jenis kelaminnya. Debat untuk kepentingan politis telah mengkerdilkan kata-kata yang pada titik paling bahaya melahirkan tak ada saling percaya
–Penulis adalah penyair yang tinggal di Ngawi. Buku puisinya di antaranya adalah: Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak (2016), Perbincangan Terakhir dengan Tuan Guru (2018), dan Kitab Ibu dan Kisah Hujan (2019).