Cerpen Mahan Jamil Hudani
Mungkin kau sering melihat seorang yang hidupnya dalam kesendirian dan kesunyian, tanpa teman atau keluarga. Ia seperti pertapa yang sering menghabiskan waktunya di rumah, sendirian, jika keluar rumah juga sendirian, tanpa teman pernah datang ke rumahnya. Ia jarang bergaul dengan lingkungan sekitar hingga tetangga dan orang-orang terdekatnya—meski tak banyak yang bisa dibilang orang-orang dekat—tak banyak tahu tentang dirinya. Ia jarang berbicara bahkan di tempat keramaian saat ia pada suatu kesempatan harus berkumpul dengan banyak orang saat ada acara selamatan atau rapat warga di balai RW.
Ya, seperti itulah tetanggaku, Mas Dur aku memanggilnya. Kami sudah bertetangga cukup lama. Seingatku, Mas Dur pindah dan tinggal kemari tahun lalu, tak lama berselang setelah meninggalnya adik istriku, Rafida. Hal yang aneh lagi sebenarnya Mas Dur sering pergi ke musala untuk salat magrib dan isya, aneh karena di sana Mas Dur juga tak pernah berbicara pada orang-orang, ia seperti menutupi identitas dirinya.
Aku pernah bertanya pada pak RT tentang Mas Dur karena rasa penasaran. Kebetulan rumah kontrakan kecil Mas Dur tinggal itu miliki pak RT. Bagaimana tidak, setahun aku menjadi tetangganya, aku merasa tak pernah berbincang dengannya meski berapa kali aku mencoba mengajaknya ngobrol saat kebetulan Mas Dur pergi ke warung untuk membeli sesuatu. Aku pernah sengaja menunggu lelaki itu keluar rumah lalu membuntutinya. Butuh beberapa hari aku menunggu kesempatan itu. Namun saat aku menyapa dan kemudian mengajaknya berbicara, hanya satu atau dua patah kata yang keluar dari bibirnya, lalu ia berpamitan, mengakhiri pembicaraan dengan segera. Memang tak ada kesan angkuh sama sekali, ia tersenyum ramah saat berpapasan, hanya itu saja. Menurut keterangan pak RT, dalam laporan awal berdasar catatan administrasinya, Mas Dur masih berstatus belum kawin.
- Iklan -
Setelah sekian lama, aku juga baru tahu jika Mas Dur bekerja sebagai seorang karyawan di media daring. Ia menghabiskan waktunya di depan layar monitor. Spesialisasinya ialah menyunting tulisan-tulisan yang masuk dan akan tayang di media. Ya, ia seorang editor dan menurut yang kutahu, ia ahli bahasa. Agak aneh juga rasanya jika Mas Dur seorang yang sangat pendiam. Setahuku, seorang yang telah menduduki posisi editor, tentulah sebelumnya ia menjadi seorang jurnalis atau reporter, dan butuh keahlian berbicara untuk menjadi seperti itu.
Aku pernah beberapa kali dengan sengaja bertamu ke rumah Mas Dur. Tentu aku punya alasan untuk ke sana agar Ia tak merasa terganggu. Aku sengaja mengantar masakan istriku untuknya. Bukankah ini suatu hal baik dalam kehidupan bertetangga. Aku tahu jika Mas Dur jarang memasak, ia lebih senang membeli makanan di luar. Aku beberapa kali melihat itu walau tanpa perbincangan. Mas Dur tersenyum ramah menyambutku dan hanya terlontar ucapan terima kasih setelah ia masuk dan memindahkan masakanku, lalu ia berikan kembali rantang padaku. Aku jadi merasa sungkan untuk meminta masuk dan berbincang.
***
Beberapa tahun berlalu, mungkin sekarang aku telah bertetangga dengan Mas Dur selama enam tahun. Mas Dur masih seperti itu, hidup dalam kesendirian tanpa percakapan. Saat lebaran Mas Dur tak ada selama sekitar satu minggu. Aku rasa ia pulang kampung, mudik seperti banyak tetanggaku lainnya. Aku sendiri tak mudik, karena orang tuaku tinggal di kota yang sama, hanya beda kecamatan. Sementara orang tua istriku juga tinggal di kota yang sama, namun kedua mertuaku telah meninggal lama saat aku baru menikah dengan istriku, ayah dan ibu mertuaku meninggal hanya berjarak satu tahun. Rumah yang kutinggali ini pun sebenarnya rumah peninggalan mertuaku.
Aku masih sering mengantar makanan pada Mas Dur—biasanya tiap akhir pekan saat Mas Dur tak pergi bekerja—tapi seperti biasa, tak pernah lama, dan yang kuterima adalah ucapan terima kasih dan senyum ramah, itu saja. Aku mengantar Mas Dur makan siang meski tak setiap akhir pekan. Aku juga tahu biasanya Sabtu pagi dan sore, begitu juga Minggu pagi dan sore, Mas Dur akan keluar cukup lama, mungkin dua jam. Itu setelah sekian lama aku memperhatikan kebiasaannya. Aku mulai memakluminya, memang seperti itulah karakternya.
Istriku sendiri entah kenapa merasa senang dan tak keberatan jika aku memintanya memasak agak banyak agar bisa mengantar sebagian buat Mas Dur. Ia bahkan pernah berkata, jika ia seperti tak begitu asing dengan paras Mas Dur, atau setidaknya seperti melihat wajahnya, tapi sungguh ia tak tahu dan lupa entah itu di mana.
“Ah jarang mengarang cerita Kau, Maryam,” kataku pada istriku suatu ketika.
“Entahlah Bang, aku seperti pernah bertemu atau melihat Mas Dur saja.” Meski seperti tak yakin, namun istriku tetap merasa pernah melihatnya dulu, entah di mana.
***
Minggu sore, Maryam mengajakku berziarah ke makam orang tua dan adiknya, Rafida. Sudah lama kami tak mengunjungi makam mereka, katanya. Sesampai di makam, Maryam dan aku sangat terkejut karena makam Rafida terlihat sangat bersih dan rapi, sangat terawat. Tak ada rerumputan atau kotoran semisal kantung plastik atau bekas gelas atau botol air mineral yang biasa berserak. Aroma kembang segar terasa karena makam baru ditaburi bunga. Sungguh kami dan keluarga sangat jarang sekali mengunjungi makam orang tua dan Rafida, biasanya hanya saat lebaran saja. Kami lalu bertanya pada penjaga makam tentang itu. Cerita penjaga, setiap akhir pekan ada seseorang yang berkunjung, membersihkan makam Rafida, lalu membersihkannya, juga mengirim doa di sana. Penjaga makam tak tahu siapa nama orang itu.
Rafida meninggal dunia enam tahun lalu. Rafida mengalami kecelakaan sepeda motor tunggal di sebuah kota yang jaraknya beberapa jam perjalanan dari kota kami. Rafida menjadi seorang guru di sebuah pesantren yang juga merupakan almamaternya. Sebelumnya Rafida menjadi santri dan siswi di sekolah itu saat MTs dan MA. Bahkan Rafida menyelesaikan perguruan tinggi juga di pesantren tersebut. Pesantren tempat Rafida menimba ilmu memang pesantren besar, pesantren di bawah naungan sebuah organisasi keagamaan terbesar di negeri ini. Usianya 24 tahun saat ia meninggal. Sebelum meninggal dunia, Rafida sempat bercerita pada Maryam jika ia akan pulang ke rumah dan memperkenalkan calon suaminya pada kami. Tak ada istilah pacaran bagi Rafida, ia seorang santriwati yang memang lebih senang menghabiskan waktunya dengan belajar. Meski ia telah memiliki calon suami, kami memang belum pernah mengenalnya, tapi ia pernah mengirim foto calon suaminya yang kemudian Maryam simpan rapi di kamar Rafida setelah ia pergi untuk selamanya.
***
Aku dan Maryam sungguh terkejut saat melihat siapa yang ada di makam Rafida, ia sedang khusyuk berdoa. Cerita penjaga makam minggu lalu membuat kami penasaran. Tak sabar rasanya kami menunggu hari Sabtu tiba. Setelah bersarapan pagi, aku dan istriku sengaja ke makam. Kami menunggu dan memperhatikan makam dari dalam mobil. Cukup lama kami menunggu, sekitar satu jam sampai kami berdua sempat tertidur. Begitu terbangun, kami melihat seseorang sudah berada di makam Rafida.
Dengan rasa penasaran yang besar, aku dan istriku mendekat ke arah makam. Seseorang, dan ternyata seorang lelaki, sedang memanjatkan doa, begitu khusyuk. Cukup lama ia berdoa. Kami menunggunya hingga selesai. Kami menahan rasa penasaran karena ia membelakangi kami. Ia memakai kopiah hitam dan mengenakan sarung. Ciri khas seorang santri atau lulusan pesantren. Itu terkesan dari doa yang ia panjatkan dan pakaian yang ia kenakan. Selesai ia berdoa, kami menghampirinya, dan sungguh aku dan Maryam sangat terkejut luar biasa. Orang itu ternyata Mas Dur.
***
Inilah untuk pertama kalinya aku memasuki rumah kontrakan Mas Dur. Banyak buku dan kitab kuning di dalam ruang tamu miliknya. Kitab-kitab yang sebenarnya tak asing bagiku karena aku juga membaca dan mempelajarinya saat di pesantren. Kemarin-kemarin saat aku sering mengantar makanan, aku memang tak pernah sempat masuk kecuali sebentar bicara di depan pintu saja. Kini aku baru tahu kenapa Mas Dur selama ini bersikap agak aneh pada kami sementara ia tinggal bersebelahan dengan rumahku.
Peristiwa yang sangat mengejutkan saat aku dan Maryam melihat Mas Dur di makam Rafida kini berlanjut di rumah kontrakan Mas Dur. Lelaki yang selama ini seolah menutupi identitasnya tersebut menceritakan sesuatu yang juga sangat mengejutkan kami. Cerita itu membuat kami sangat terharu.
Mas Dur adalah lulusan pesantren yang sama dengan Rafida. Ia menyelesaikan perguruan tinggi juga di pesantren tersebut. Ia dua tahun lulus lebih dahulu dari Rafida. Ia sudah cukup lama menaruh hati pada Rafida namun ia menyembunyikan perasaannya tersebut. Setelah lulus perguruan tinggi, Mas Dur bekerja di kota tersebut.
Setelah ia mendengar Rafida telah lulus perguruan tinggi dan menjadi guru di pesantren, barulah Mas Dur berani mengungkapkan perasaannya dan berniat melamar Rafida. Namun cerita menjadi berbeda, Rafida meninggal dunia. Yang membuat Mas Dur merasa bersalah saat itu, saat Rafida mengalami kecelakaan, mereka baru bertemu di luar dan sedang sedikit ada percekcokan. Itulah Mas Dur merasa bersalah karena baginya gara-gara percekcokan itu membuat Rafida kurang konsentrasi dalam mengendarai sepeda motor, itulah yang membayangi dan menghantui pikiran Mas Dur.
Mas Dur kemudian memutuskan pindah ke kota Rafida. Ia berjanji ingin menjaga dan merawat Rafida meski hanya makamnya. Tapi bagi Mas Dur, Rafida tetap hidup di hatinya. Ia selalu datang dan mendoakan Rafida setiap akhir pekan selama bertahun-tahun. Itulah juga kenapa ia memutuskan untuk tinggal tak jauh dari rumah orang tua Rafida, agar ia selalu merasa dekat. Di sisi lain ia tak cukup merasa berani bercerita padaku atau Maryam. Ia menyalahkan dirinya sebagai penyebab kecelakaan Rafida. Mendengar cerita itu, Maryam kemudian teringat sebuah foto yang pernah dikirim Rafida yang ia taruh di lemari, di kamar Rafida. Ahh…pantas istriku itu seperti pernah melihat Mas Dur.
“Sekarang Mas Dur, kita ikhlaskan kepergian Rafida. Mas Dur telah menunjukkan yang terbaik.” Kataku pada lelaki itu, dan terbayang di pelupukku, Rafida tersenyum bahagia di alam sana. Aku juga melihat Maryam tersenyum, karena sesungguhnya kami telah mengikhlaskan kepergian Rafida.***
Serpong, awal Oktober 2020
*Mahan Jamil Hudani adalah nama pena dari Mahrus Prihany lahir di Peninjauan, Lampung Utara, pada 17 April 1977. Pernah nyantri di pesantren sambil sekolah MA di ponpes Al-Muayyad, Mangkuyudan, Surakarta, sebelum meluluskan studi di Akademi Bahasa Asing Yogyakarta (ABAYO). Saat ini bergiat di Komunitas Sastra Indonesia Tangerang Selatan (KSI Tangsel) sebagai ketua. Kini juga sebagai kepala sekretariat Lembaga Literasi Indonesia (LLI), serta sebagai Redpel di portal sastra Litera.co.id. Karyanya tersiar di sejumlah media massa seperti Fajar Makassar, Batam Pos, Riau Pos, Sumut Pos, Lampung Pos, Bangka Pos, Solopos, Medan Pos, Tanjungpinang Pos, Pontianak Pos, SKH Amanah, Bhirawa surabaya, Haluan Padang, Palembang Ekspress, Magelang Ekspress, Padang Ekspress, Kabar Priangan, Analisa Medan, Radar Bromo, Radar Mojokerto, Majalah digital Semesta Seni, Majalah Mutiara Banten, Lampung News, Rakyat Sumbar, dan Rakyat Sultra. Karyanya juga tersiar dalam sejumlah antologi bersama. Kumpulan cerpen tunggalnya yang telah terbit adalah Raliatri (2016), dan Seseorang yang Menunggu di Simpang Bunglai (2019)