Oleh M. Dalhar
Peringatan Hari Santri pada 22 Oktober setiap tahun adalah apresiasi negara kepada santri. Penghargaan ini tidak lepas dari sejarah perjuangan para santri. Komitmen perjuangan kaum bersarung tidak hanya di masa lalu, tetapi juga ada masa kini dan masa mendatang.
Sebelum negara ini lahir, pesantren sebagai ruang belajar para santri tumbuh diam-diam di tengah masyarakat. Pesantren mempunyai akar sejarah yang panjang, sekalipun sebagian besar keberadaannya hanya dapat dilacak asal-usulnya sampai akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 (Kuntowijoyo, 1991).
Pesantren sebagai ruang kaderisasi para ulama tersebar luas di daerah-daerah pedesaan, terutama setelah Mataram Islam berdiri di pedalaman Jawa. Sejumlah pesantren berdiri di sekitar keraton, khususnya pascapemerintahan Sultan Agung pada abad ke-17. Salah satunya yang terkemuka adalah Pesantren Tegalsari di bawah asuhan Kiai Hasan Besari Ponorogo. Pesantren ini diberi tugas oleh keraton untuk mendidik para putra raja dan bangsawan (Suryo, 2009).
Kurikulum pesantren mengintegrasikan antara ilmu pengetahuan umum dan agama. Maka, di saat terjadi perubahan keadaan akibat kebijakan politik kolonial Belanda, muncul banyak santri yang bersikap non-kooperatif, – untuk menyebut beberapa nama – seperti Pangeran Sambernyowo, Pangeran Diponegoro, Paku Buwono VI, K.H. Ahmad Rifa’i, dan K.H. Hasyim Asy’ari pada masa berikutnya. Dalam sejarahnya, hampir seluruh perlawanan terhadap penjajah dilakukan oleh pimpinan pesantren. Kalau pun dilakukan oleh keraton (negara), tentu melibatkan para kiai atau ulama dan santri dari pesantren (Siradj, 2015).
Peran santri berlanjut sampai menjelang kemerdekaan. Dalam sidang BPUPKI 1945 yang dilaksanakan beberapa kali, perwakilan dari santri turut mewarnai dinamika pemikiran bentuk negara yang akan didirikan. Alhasil, bukan negara Islam atau negara agama yang didirikan, tetapi negara Pancasila yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Momentum lainnya adalah ketika para ulama yang tergabung dalam wadah Nahdhatul Ulama mengeluarkan “Resolusi Jihad” pada 22 Oktober 1945. Resolusi ini menegaskan sikap para ulama (dan santri) untuk membela kemerdekaan dari upaya kolonialis yang akan merebut kemerdekaan Indonesia.
Rangkaian fakta di atas menegaskan bahwa santri (dan ulama) memiliki peranan yang besar. Peranan santri yang mengajarkan keteladanan dan nilai-nilai patriotisme kebangsaan perlu dihadirkan kembali untuk meneguhkan dan menggugah semangat cinta tanah air. Minimnya rasa cinta pada negara mengakibatkan bermacam persoalan. Mulai berkembangnya paham radikalisme keagamaan, wacana negara Islam, liberalisme dalam berbagai sektor kehidupan, dan sikap pragmatis yang dapat mengikis rasa persatuan.
Hari ini kita menyaksikan jutaan santri belajar di pesantren yang tersebar di berbagai penjuru negeri. Bermacam ilmu pengetahuan baik umum, lebih-lebih agama diajarakan sebagai bekal menjawab tantangan zaman yang kompleks. Mereka adalah para kader penerus cita-cita para ulama. Singkatnya, para santri perlu dibekali dengan bermacam keterampilan agar dapat dimanfaatkan di kemudian hari.
Bersamaan dengan itu, kita juga melihat ada banyak alumni pesantren – santri – yang memainkan peran penting di negara ini. Ada yang menjadi eksekutif dan legisatif di berbagai level, pimpinan instansi pemerintah, perusahaan dan berbagai sektor lainnya dalam kehidupan ini. Peranan mereka sangat diharapkan untuk memajukan negeri ini ke arah yang lebih baik. Khasanah keilmuan dan amaliyah pesantren yang relevan perlu diwujudkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keteladanan tentang nasionalisme, patriotisme, kesopanan, menghormati, merasa cukup (qonaah), kesabaran, syukur, dan lain sebagainya perlu dimunculkan para santri pada dunianya masing-masing.
-Alumnus Pesantren Nurul Hijrah Pecangaan Jepara