Judul Buku: Cikuya, 15730
Penulis : Sungging Raga
Penerbit: BASABASI
Cetakan: Pertama, Maret 2020
- Iklan -
Tebal : 156 halaman; 14 x 20 cm
ISBN: 978-623-7290-69-8
Peresensi: Khairul Anam, Mahasiswa IAIN Surakarta
Dalam kehidupan ini, semua tindak-tanduk manusia bertujuan untuk mencari kebahagiaan. Pencarian kebahagiaan menjadi prinsip yang dasariah. Kebahagiaan yang dimaksud bukan hanya terbatas kepada perasaan subjektif seperti senang atau gembira sebagai aspek emosional. Melainkan lebih mendalam dan objektif menyangkut pengembangan aspek moral, sosial, emosional dan rohani.
Epikuros mengatakan bahwasanya kebahagiaan adalah apa pun yang menghasilkan kenikmatan. Kenikmatan diartikan sebagai tidak adanya rasa sakit dan gelisah. Kita dapat mengambil inti dari pendapat Epikuros, bahwasanya kebahagiaan itu adalah menghilangkan kegelisahan yang kerap kali membelenggu hati. Hanya itu, kebahagiaan akan hadir dengan adanya ketenangan jiwa dan hati.
Menurut Buya Hamka, Islam mengajarkan pada manusia empat jalan menuju kebahagiaan. Pertama, harus ada I’tiqad, yaitu motivasi yang benar-benar berasal dari dirinya sendiri. Kedua, yakin, yaitu keyakinan yang kuat akan sesuatu yang sedang dikerjakannya. Ketiga, Iman. Lebih tinggi dari keyakinan, sehingga dibuktikan oleh lisan dan perbuatan.
Tahap terakhir adalah Ad-diin yaitu penyerahan diri secara total kepada Allah Swt. Mereka yang menjalankan Ad-diin secara sempurna tidaklah merasa sedih berkepanjangan, lantaran mereka benar-benar yakin akan yang telah Allah pilihkan untuknya. Seperti yang disampaikan Imam Al-Ghazali, bahwasanya kebahagiaan merupakan sebuah kondisi spiritual, saat manusia berada dalam puncak ketakwaan.
Maka untuk berada dalam puncak ketakwaan, manusia memerlukan jalan, memerlukan pengetahuan perihal cara menyucikan hati, menjernihkan jiwa sehingga mampu berada di posisi tersebut. Dan ilmu yang mempelajari perihal itu adalah tasawuf. Tasawuf adalah ilmu yang mempelajari tentang bagaimana cara menyucikan hati, menjernihkan jiwa sehingga mampu memperoleh kebahagiaan yang abadi yaitu dekat dengan Allah Swt.
Berbicara perihal tasawuf, Sungging Raga, penulis dari novel ini mencoba menghadirkan sebuah novel yang berbeda dari yang lain. Secara tidak tekstual, Sungging juga mencoba memasukan intisari dari pengajaran tasawuf, tentu dia balut dengan bahasa ringan dan alur cerita yang mudah dipahami. Untuk memasukan refleksi pengajaran tersebut dia memilih tokoh utamanya adalah orang yang kurang akal.
Penulis merefleksikan pengajaran tasawuf dengan membangun alur cerita yang begitu unik. Narasi-narasi komedi yang sudah menjadi ciri khas-nya menghanyutkan pembaca sampai ke puncak kenikmatan hingga kecewa pada akhirnya karena novel ini memiliki akhir.
Dikisahkan, Mulbul, tokoh utama yang kurang akal, hidup dengan kedua kakak dan ibunya. Karena keterbatasan dirinya, ibunya memperlakukan istimewa. Sehingga membuat kedua kakaknya, Hamsek dan Hamsun iri. Hamsek dan Hamsun diperintahkan ibunya untuk bekerja agar mereka masih bisa bertahan hidup. Sedangkan Mulbul, diminta untuk di rumah saja.
Namun kehidupan Mulbul berubah, ketika di suatu kesempatan, ketika mereka berempat berjualan di kereta. Peristiwa naas yang merenggut nyawa ibunya mengubah semua kehidupan Mulbul.
Kepergian ibunya, membuat Mulbul hanya hidup dengan kedua kakaknya yang telah memendam rasa iri. Kedua kakaknya memperlakukan Mulbul dengan bengisnya. Mereka menyiksa adiknya dengan alasan apa pun yang kadang dibuat-buat agar mereka bisa memarahi adiknya. Mereka menganggap adiknya tidak berguna sama sekali.
Akan tetapi seiring berjalannya waktu, Mulbul yang mau keluar rumah, bahkan sampai keluar desanya karena ingin memulung, perlahan memiliki peran dan bisa bermanfaat untuk semua orang.
Bermula ketika kedua kakaknya yang menang judi layangan yang menjadi ciri khas di desanya itu, ingin mengadakan pesta kemenangan. Kedua kakaknya memerintahkan Mulbul yang kurang akal untuk membeli daging ayam. Namanya kurang akal, bukannya membelikan daging ayam, Mulbul malah membelanjakan uang dari kakaknya untuk membeli layangan. Kakaknya marah-marah dan lagi-lagi tanpa ampun menyiksa Mulbul.
Namun esoknya, kedua kakaknya malah menang judi dengan hadiah yang berlipat ganda gara-gara menggunakan layangan yang dibeli Mulbul. Kakaknya memuja-muja Mulbul meskipun sebentar saja. (hlm. 53-55)
Tidak sampai di situ, Mulbul yang tak pernah diketahui oleh kedua kakaknya bisa menyembuhkan orang yang terkena sengatan kalajengking, suatu waktu mengejutkan kedua kakaknya karena ada tetangga yang meminta tolong pada Mulbul untuk menyembuhkan istrinya yang terkena sengatan kalajengking. (hlm. 102)
Mulbul juga berjasa atas hilangnya perpalakan di pasar. Mulbul menghilangkan perpalakan dengan cara mencium kepala preman terkuat di pasar yang sudah lama berkuasa dan memalak pedagang-pedagang pasar. Preman itu merasa harga dirinya hancur karena dicium oleh orang yang kurang akal. Dia pun menghajar habis-habisan Mulbul hingga si preman tersebut dipenjara. Lalu di akhir cerita nanti, preman ini juga akan bertaubat gara-gara Mulbul. (hlm. 110)
Selain itu, Mulbul juga membuat Nalea, seorang pelacur jatuh cinta dengannya karena hanya Mulbul laki-laki yang tak bernafsu ketika melihat Nalea. Dari kisah itu, Sungging mengajak kita untuk memahami arti ketulusan yang akan menghantarkan tokoh utama menggapai kebahagiaanya sendiri. Hal ini secara tidak tektual berkaitan dengan mahabah. Yaitu ketulusan jiwa untuk mendekatkan diri pada Allah SWT.