oleh: Naila Zulfa
Jika kalian lewat di desa Serno pada bulan Rabiul Awal, desa yang di kiri kanannya masih terhampar sawah dan kebun sengon milik warga, telinga kalian akan dimanjakan oleh senandung Barzanji dari hampir seluruh toa langgar. Desa itu sampai sekarang masih melestarikan budaya mauludan usai salat magrib sampai isya di tiap langgar. Penduduk Serno menyebutnya dengan istilah berjanjen, pembacaan kitab Barzanji.
Kalau ada waktu, sempatkanlah barang sehari dua hari ikut ndeprok di salah satu langgar yang meski tak mewah, tapi menentramkan. Kusennya memang mulai keropos dimakan waktu. Engsel pintunya pun berkarat dan tak bisa benar-benar tertutup. Dinding yang awalnya putih kini mulai memudar kekuningan. Langgar tua, namun aura syiar langgar ini tak pernah pudar. Baitul Muqorrobin, begitulah langgar itu dinamai. Di sana kalian akan menjumpai anak kecil yang untuk usianya sangat khusyuk menekuri bait-bait kitab Barzanji. Aku jengkel dibandingkan dengan anak itu. Harga diriku tercabik. Simak seenak udel membandingkanku dengan anak sekecil itu.
Namanya Fatih. Sebenarnya dia adalah tetanggaku. Kalau kalian berpikir dia tak salah apa pun, kalian salah, karena justru dialah biang keladinya. Kenapa juga dia menjadi anak yang sangat khusyuk dan rajin di usianya yang begitu kecil.
- Iklan -
Umurnya mungkin baru sekitar sembilan atau sepuluh tahun. Aku belum menanyakannya secara pasti. Aku sendiri baru tahun kemarin lulus SMA dan sedang menganggur. Kesibukanku saat ini hanya menjaga warung sembako milik simak sambil berselancar di jagad maya. Untungnya simak masih berbaik hati memberi aku upah meski sangat kecil. Lumayan untuk sekadar jajan siomai yang lewat depan rumah.
Kemarin isya, usai membayar upah harianku ditambah bonus satu mangkok bakso, simak memarahiku habis-habisan karena memergokiku tidak ikut berjanjen dan memilih menonton bola. Ia menyebut-nyebut anak kecil itu, Fatih yang sangat rajin dan khusyuk. Meski jengkel, aku cuma bisa menunduk. Tak berani sedikit pun melawan simak. Takut dikutuk menjadi batu seperti Malin Kundang.
Selama ini, berjanjen di langgar kuikuti sekadarnya, lebih karena takut dimarahi simak. Ssst, jangan sampai simak tahu, bisa mati berdiri aku dimarahi. Omelan simak seringkali seperti lingkaran, tidak ada ujungnya.
Sekarang aku sedang menjalankan misi, mencari tahu kejelekan Fatih, si anak kecil yang khusyuk. Akan kulaporkan ke simak bahwa dia tak sebaik itu. Biar simak tahu bahwa dia hanya pencitraan di depan para jemaah langgar. Akan kubuktikan itu. Tunggu saja bukti-bukti terkumpul dan akurat.
***
Sudah satu minggu aku menguntit aktivitas Fatih sepulang sekolah. Karena rumah kami hanya berjarak satu lompatan kaki, mudah sekali aku memata-matai. Dari hasil penyelidikan, Fatih pulang sekolah jam satu siang. Dia sekolah di SD Islam dekat rumah, sekolah yang sama dengan aku dulu. Setelahnya ia akan langsung ke langgar untuk salat dhuhur. Padahal salat jemaah di langgar sudah kelar pada jam-jam segitu. Tapi, entah apa yang merasukinya, dia suka sekali salat di langgar.
Usai salat ia akan masuk ke rumah dan berdiam diri sampai azan ashar memancingnya keluar. Fatih akan ikut berjemaah salat di langgar bersama para orang tua yang sudah mulai renta. Setelahnya, dengan semringah dia berangkat ke Madrasah Diniah, menggembol kitab-kitab kuning yang memusingkan, tak ada harakatnya. Sepulangnya, seminggu ini dia bersepeda bersama teman-teman sebayanya. Yang aneh, sesekali kupergoki mulutnya komat-kamit. Entah mantra apa yang sedang ia rapal. Aku semakin curiga.
Menjelang magrib, tanpa perlu dipanggil simaknya seperti anak seusianya, semangat sekali ia pulang, berganti sarung dan peci. Di langgar, ia biasanya menyapu kemudian mengumandangkan azan. Jujur saja, suaranya memekakkan, tak ada merdu-merdunya. Hanya karena yang dilantunkan adalah azan, tak ada yang berani protes, semua khidmat mendengarkan.
Tiba waktu zikir, kudengar ia mengikuti imam dengan fasih. Aku yang seminggu ini selalu salat di sebelahnya dibuat melongo. Tapi aku belum mau tertipu dengan tindak-tanduknya. Bisa saja dia meniru tokoh-tokoh negeri ini yang gemar sekali pencitraan diri. Aku masih akan terus memantaunya sampai kutemukan bukti. Aku bisa mengalahkan pendapat simak, aku jauh lebih baik daripada anak ingusan itu. Membayangkannya saja aku sudah bahagia.
Di minggu kedua, aku mulai bosan dengan rutinitas ini lantaran belum satu pun kudapati keburukan anak itu, kecuali suaranya yang tak ada merdunya sama sekali. Namun, mana mungkin aku menjadikan itu sebagai senjata. Bisa-bisa justru kupingku merah dijewer simak.
Tadinya aku sudah akan menyerah, tapi karena mendengar simak memujinya di depan tetangga yang belanja di warung sembako, telingaku gatal sekali. Seingatku, aku saja tak pernah disanjung seperti itu oleh simak. Ditambah lagi, tetanggaku yang berstatus emak-emak, dua hari ini tak ada habisnya menjadikan Fatih trending topic, hanya karena ia memenangkan lomba dai cilik di acara hari jadi kabupaten. Kata mereka, bangga sekali punya tetangga macam si Fatih. Artinya, selama ini mereka tidak bangga bertetangga denganku. Kurang ajar sekali. Jiwaku kian mendidih. Misi ini harus kuselesaikan. Segera dan secepatnya.
***
Kokok ayam milik tetangga bersahutan menggangguku yang masih mengantuk. Daripada disiram air oleh simak, jauh lebih baik dibangunkan ayam tetangga. Aku segera bangkit dan menuju tempat salat. Usai salat, kulihat simak sedang menjerang air di dapur. Di sebelahnya ada pisang goreng yang aromanya menggoda. Melihatku yang bersiap untuk mengambilnya, simak cepat berkomentar.
“Ambil satu saja, itu pisang mau Simak bawa ke Nju Nah,” aku melompong dan hampir tersedak. Nju Nah adalah simaknya Fatih.
“Buat apa, Mak? Pakai acara bagi-bagi pisang ke mereka. Mereka lho jarang ngasih kita makanan,” celetukku sewot. Tak terima jika jatah pisang gorengku cuma satu. Atau mungkin karena aku sedang mendengki pada Fatih dan menjadi sebal seperti ini.
“Kalau ngomong yang bener, kemarin kamu makan kolak singkong itu kan dari Nju Nah. Minggu lalu kamu juga makan nangka yang manis legit itu juga dari Nju Nah. Piye tho!” simak mulai ngomel lagi. Aku sudah tak mau tahu. Aku mengambil satu lagi pisang goreng di samping simak. Dipukulnya tanganku, tapi aku lebih sigap. Pisang berhasil kupegang dan aku segera berlari kecil ke depan sambil cengengesan.
Matahari kian tinggi, saat hendak membuka warung sembako, di depan tampak Fatih akan mengetuk pintu. Ia membawa plastik kresek hitam. Entah apa yang ada di dalamnya.
“Mau apa kau pagi-pagi ke sini?”
“Mau mengantarkan ini, Mas,” jawabnya singkat dihiasi senyuman.
“Apa ini?” kurebut plastik yang digenggamnya dengan paksa.
“Mangga, Mas. Barusan Fatih lewat di samping kebon Wak Jum. Kebetulan ada mangga matang yang jatuh. Jadi Fatih ambil. Tolong sampaikan Wak Jum ya, terima kasih,” Fatih segera meninggalkanku yang ternganga dengan kejujurannya. Aku masih tidak percaya kalau dia memang anak yang baik.
Waktu kecil dulu, jika menemukan mangga matang yang jatuh dari pohon, akan segera kuambil dan kumakan. Bagiku dan teman-temanku dulu, itu rezeki nomplok, bukan rezeki pemilik pohon. Mau tak mau aku jadi mengingat kisah lama ayahanda Imam Syafii yang sangat berhati-hati atas kehalalan makanan yang masuk ke dalam perutnya. Dikisahkan, ayah Imam Syafii rela berjalan jauh demi mencari pemilik buah apel yang terlanjur dimakannya, untuk meminta kerelaan pemilik buah.
“Fatih… tumben pagi-pagi ke sini? Uwak dari rumah kamu, eh malah kamu nya di sini,” sapa simak yang berpapasan dengan Fatih di halaman.
“Iya Wak Jum, Fatih nemu mangga dari kebon Uwak, sudah Fatih kasihkan Mas Ajis. Uwak ada perlu sama Fatih?”
“Nggak, tadi ada perlu sama simakmu.”
“Oh, ya sudah, Fatih pamit dulu Wak. Assalamualaikum.”
Simak tidak langsung masuk rumah, tapi berlama-lama menatap punggung Fatih yang menghilang di balik pintu rumahnya sendiri. Matanya berkaca-kaca. Heran sekali aku melihatnya.
“Kenapa tho, Mak?” Aku kesal mendapati tingkah simak.
“Tahu nggak, Jis? Fatih itu memang berbeda dengan teman sebayanya.”
“Hmm….”
“Simak baru saja ngobrol sama Nju Nah, sambil nganterin pisang goreng, mumpung masih anget. Penasaran sekali simakmu ini kok dia bisa punya anak luar biasa kayak si Fatih itu,” aku bergeming mendengarkan, menyimak dengan seksama, karena jujur aku juga penasaran.
“Simak tadi nanya ke simaknya Fatih, apa tirakatnya. Siapa tahu bisa ditiru Mbakmu yang baru lekasan¹, biar anaknya saleh kayak Fatih.”
“Owalah, pantesan semangat sekali berbagi makanan. Tumben. Ternyata ada udang di balik pisang goreng?” sindirku telak, mengingat simak masuk kategori kikir level ringan.
“Sekali-kali kita perlu membalas kebaikan mereka,” seru simak, “lagian simak akhirnya tahu jawabannya kenapa Fatih jadi seperti itu,” simak kemudian beranjak masuk ke dapur, mengambil minum. Aku yang penasaran makin geregetan.
“Apa Mak tirakatnya?”
“Sebentar tho, minum dulu.” Simak sengaja mengulur waktu melihatku penasaran. Menyebalkan sekali.
“Ternyata, Jis, simaknya Si Fatih itu tidak punya amalan apa-apa.”
“Masa sih? Aku nggak percaya Mak,” aku, tanpa sadar mengakui kalau Fatih memang berbeda.
“Sabar tho, jangan diputus dulu, belum selesai simakmu ini ngomong!” Aku kembali terdiam, khusyuk mendengarkan.
“Amalan khususnya nggak ada, Jis, tapi kata bapaknya Fatih, simaknya Fatih itu selain memang rajin salat dan puasa Senin-Kamis, dia sangat mencintai Nabi Muhammad. Ia bahkan nggak pernah berhenti baca selawat, tiap longgar ya yang dirapal itu selawat. Fatihnya pun mulai mengikuti kebiasaan simaknya. Berarti ini berkahnya selawat ke Kanjeng Nabi Muhammad.”
“Jadi waktu aku lihat mulut Fatih komat-kamit itu mungkin lagi baca selawat,” gumamku pelan.
“Iya. Mereka juga kalau berjanjen sangat khidmat. Menjiwai sekali, karena mereka menghormati Kanjeng Nabi, kan yang dibaca catatan perjalanan Nabi.”
“Iya, ya Mak.”
“Lha, kamu berjanjen males, selawatan jarang, sunah puasa apalagi.”
“Sama tho sama Simak?” celetukku tak mau disalahkan sendiri.
“Ya wes, baca selawat sana! Simak mau ngabari Mbakmu.”
***
1) lekasan: Baru mulai hamil/hamil muda
*Naila Zulfa, ibu pembelajar sekaligus buruh pabrik yang mencintai dunia aksara. Menginisiasi gerakan literasi di lingkungannya dengan membuka teras baca Rumah Cahaya. Bergiat di Komunitas ODOP. Beberapa karyanya dibukukan dan dimuat media baik online maupun offline. Santrinya almaghfurlah Abah Yai Masruri Abdul Mughni, Pondok Pesantren Al-Hikmah Benda, Brebes. Putri dari pasangan luar biasa Bapak Baihaqi dan Ibu Sumarni. Saat ini berdomisili di Kabupaten Pekalongan.