Oleh Gansar Dewantara
Rumah megah itu ada di kampung Damai, milik Haji Rahman Ali, seorang pensiunan Ditjen Depag Pusat, juga seorang petani padi dan tanaman porang. Namun, rumah megah itu ada ketidaklaziman untuk sebuah rumah megah pada umumnya, termasuk penghuninya.
Rumah megah itu dengan teras berupa bangunan pendopo mirip serambi masjid Agung Demak. Gaya arsitekturnya mengusung tema perpaduan Jawa dan Eropa klasik. Gebyok jati tua berukiran khas Jepara menempel pada muka rumah. Seluruh ruangan sisi samping kanan dan samping kiri terkesan mewah nan memesona itu bertipe Istana Roma. Tak ada patung-patung, melainkan pigura gede bergambar Ka’bah, ada pigura yang membungkus lafal ayat-ayat Al-Qur’an hingga 30 juz, juga pigura bertuliskan selawat yang menghiasi dinding ruangan utama.
Rumah megah itu tidak ada garasi, tidak ada satpam, juga tidak ada pembatas tamu yang dianggap orang top atau tamu rakyat jelata. Intinya pemilik rumah megah itu selalu welcome untuk siapa saja. Kata warga setempat, asal menjaga etika. Sangking bebasnya bertamu kapan saja, sampai-sampai rumah Mbah Man, warga menyapa pemilik rumah megah itu, dahulu kerap disatroni maling.
Satu peristiwa lampau. Saat itu Mbah Man sekeluarga ikut jamaah salat tarawih di masjid. Ketika usai dan balik sampai rumah, Mbah Man sekeluarga dikejutkan sosok lelaki mematung di ruang tamu sambil memanggul televisi gede, ukuran 40 inci datar, dan mengantongi 3 buah HP android.
Mbah Man sekeluarga kenal lelaki tersebut, tetapi mereka membiarkannya mematung hingga esok hari. Istri lelaki maling itu datang setelah dipanggil salah satu anak Mbah Man, untuk mengembalikan kondisi normal suaminya. Si istri spontan memeluk suami yang malang itu sambil histeris, lalu memohon maaf dan meminta untuk mengembalikan suaminya ke keadaan normal.
“Saya tidak tahu harus berbuat apa agar suami kembali seperti semula, Mbah?” ujar si istri laki-laki itu.
“Mbakyu cukup tepuk pundaknya sambil takbir, tetapi yang keras,” balas Mbah Man.
Si Istri lelaki maling itu melaksanakan perintah Mbah Man dengan sukses. Sebelum pulang Mbah Man membekali mereka berdua dengan tausiah dan beras serta duit yang cukup.
***
Saban Kamis sore, rumah megah itu penuh orang berpakaian rapi. Para pria berpeci dan wanita-wanita berjilbab.
Kata Pak RT gang Damai, orang-orang itu ikut rutinitas ngaji senja–jamiah khataman Al-Qur’an dan selawatan, satu-satunya jamiah pengajian sore hari di kota Demak.
Masih kata Pak RT, di daerah yang terkenal dengan sebutan Kota Wali ini ada banyak jamiah paling lucu, dua di antaranya: jamiah istigasah dadakan. Jamiah ini biasanya diadakan secara mendadak oleh seorang ustaz karena tujuan tertentu. Misal: sang ustaz dapat tender untuk memenangkan calon Bupati, Gubenur, DPR, bahkan Presiden. Jika jadwal pemilihan sudah terlewati maka jamiah itu mendadak tamat.
Kedua, jamiah amalan sertifikat, yaitu jamiah wiridan atau pengajian yang dibentuk oleh seseorang dengan tujuan utama hanya ingin mendapatkan legitimasi “Sang Kiai” dari masyarakat. Jadi yang ikut jamiah serupa wiridan dapat makan dan pulangnya membawa bungkusan makanan ringan juga ada air kemasan gelas.
Mbah Man melarang para jamaah ‘ngaji senja’ mengenakan pakaian secara berseragam: putih-putih, atau batik, dan atau yang lainnya. Ia menyarankan mengenakan pakaian bebas asal sopan dan sah untuk salat. Mbah Man sendiri tak selalu memakai peci kemeja koko dan sarung, kadang ia juga mengenakan blangkon, baju batik, sarung dari kain jarik, juga pernah memakai stelan jas-celana.
Sebelum acara rutinitas ngaji senja di rumah megah itu dimulai, Mbah Man selaku imam selalu membakar kemenyan, buhur dan dupa, kemudian ditaruh di tengah-tengah lingkaran para hadirin. Anehnya, ratusan orang yang hadir tidak puyeng, tidak sesak napas, dan juga malah ketagihan aroma tiga wewangian itu, kemenyan, buhur, dupa.
Seperti Kamis kemarin, ketika matahari tampak lelah dan sinarnya tak lagi menyengat kulit, hanya secercah sinar warna kuning kunyit yang menerobos ke ruang rumah megah lalu berpadu menyeruak dengan kepulan asap beraneka aroma: Jawa kuno, Arabi, dan Hindustan, bagai terapi hati, menghantar para jamaah rutinitas ‘ngaji senja’ khusyuk mengaji khataman Al-Qur’an kemudian mendayu-syahdukan sebuah syair “Tanpo Waton” karya Gus Nizam Shofa, Sidoarjo-Jatim (yang masyhur disebut syairan Gus Dur) menyirami relung rohani.
Astagfirullah robbal baroya
Astagfirulloh minal khootooya.
Robbi zidni `ilmannaafiia
Wawaffikni `amalan sholiha.
Yaa rosulallah salammunalaik
Yaa rofiasaaniwaddaaroji
`atfatayaji rotall `aalami
Yauhailaljuu diwaalkaromi
Ngawiti ingsun nglarasa syiiran
Kelawan muji maring pangeran
Kang paring rohmat lan kenikmatan
Rino wengine tanpo petungan,
Duh bolo konco priyo wanito
Ojo mung ngaji syareat bloko
Gur pinter ndongeng nulis lan moco
Tembe mburine bakal sangsoro,
Akeh kang apal Quran haditse
Seneng ngafirke marang liyane
Kafire dewe dak digatekke
Yen isih kotor ati akale,
Gampang kabujuk nafsu angkoro
Ing pepaese gebyare ndunyo
Iri lan meri sugihe tonggo
Mulo atine peteng lan nistho,
Ayo sedulur jo nglaleake
Wajibe ngaji sak pranatane
Nggo ngandelake iman tauhite
Baguse sangu mulyo matine,
Kang aran soleh bagus atine
Kerono mapan seri ngelmune
Laku thoriqot lan marifate
Ugo hakekot manjing rasane,
Alquran qodim wahyu minulyo
Tanpo dinulis biso diwoco
Iku wejangan guru waskito
Den tancepake ing jero dodo,
Kumantil ati lan pikiran
Mrasuk ing badan kabeh jeroan
Mujizat rosul dadi pedoman
Minongko dalan manjing iman,
Kelawan Alloh kang moho suci
Kudu rangkulan rino lan wengi
Ditirakati diriyadhohi
Dzikir lan suluk jo nganti lali,
Uripe ayem rumongso aman
Dununge roso tondo yen iman
Sabar narimo najan pas pasan
Kabeh tinakdir saking pengeran,
Kelawan konco dulur lan tonggo
Kang podho rukun podho trapsilo
Iku sunnahe, Rasul kang mulyo
Nabi Muhammad, Panutan Kito,
Ayo nglakoni sakabehane
Allah kang bakal ngangkat drajate
Senajan ashor toto dhohire
Ananging mulyo maqom drajate,
Lamun palarasto ing pungkasane
Ora kesasar roh lan sukmane
Den gadang Allah suargo manggone
Utuh mayite ugo ulese.
“Subhanallah, allamdulillah, astagfirullah,” mukadimah Mbah Man setelah uluk salam, dilanjutkan, “Rindang siang lambat laun mulai tertutup, lalu angin mengajari kita tentang keindahan pesona senja, di semburat jingganya menandai kita untuk tidak terlelap dalam buaian mimpi, sampai nyanyian malam benar-benar rapat pada pekatnya, begitulah metode tubuh sehat yang diajarkan Nabi kita. Dan semoga kita tetap istikamah mengkhatamkan Al-Qur’an serta berselawat di tiap Kamis sore, Allahumma… Aamiin… pada kesempatan sore ini, saya ingin mendongeng tentang hebatnya rasa kasih sayang.”
Entah kenapa Mbah Man selalu mengawali ceramahnya dengan sebutan dongeng, tetapi ketika ditanya hal tersebut, beliau hanya tersenyum.
“Ada dua kisah sahih yang patut kita renungkan serta perlu dijadikan sebagai kaca pengilon di setiap krentek hati kita. Kisah pertama dari Abu Hurairah, yang termaktub di Sahih Bukhori. Bahwa ada perempuan pelacur yang mendapat ampunan dari Allah Swt. karena merasa iba—kasihan melihat anjing yang kehausan hampir mati di pinggir sumur, lalu pelacur itu mengambil air sumur dengan sepatunya untuk diminumkan ke anjing tersebut.”
“Kisah yang satunya tak kalah mencengangkan.”
Suara Mbah Man berjeda, ia menundukkan kepala, sebentar lalu melanjutkan ceramahnya.
“Setelah sekian waktu lamanya Imam Abu Bakar As-Syibli wafat, ada seorang sahabatnya yang memimpikan Syibli. Dalam mimpi itu terlihat Syibli tampak mendapatkan nikmat kubur, mendapat kebahagiaan di kampung Barzakh. Maka sang sahabat pun ingin sekali jika kelak wafat mendapatkan kemuliaan seperti Syibli. Dan terjadilah dialog gaib dua sahabat tersebut.
“Apa yang menyebabkanmu mendapat kenikmatan dan tempat yang mulia dari Gusti Allah, wahai sahabatku, Syibli?” tanya sahabat itu.
Imam Asy-Syibli pun bercerita bahwa Allah bertanya kepadanya.
“Wahai Abu Bakar, apakah engkau tahu sebab apa Aku mengampuni dosamu?”
“Sebab amal salehku, ya Rabb,” jawabku.
“Bukan itu,” balas Allah menafikan.
“Sebab keikhlasanku dalam beribadah.”
“Juga bukan.”
“Sebab hajiku, puasaku, dan salatku.”
“Bukan.”
“Sebab hijrahku menuju orang-orang yang saleh dan karena menuntut ilmu.”
“Juga tidak sebab itu.”
“Wahai Tuhanku, kalau semua amal yang kusebut tak menjadikan ampunan dan rahmat-Mu untukku, lalu karena apa?” tanyaku heran.
“Ingatkah kamu ketika berjalan di jalanan Bagdad, kamu menemukan kucing kecil yang lemah sebab kedinginan, ia sangat tegang menggigil, lalu kamu memungutnya dengan kasih sayang dan memasukkannya ke dalam jubahmu, dan menjaganya agar tidak kedinginan?”
“Iya, ingat, Tuhanku,” jawabku.
Allah Swt. pun berfirman, “Sebab kasih sayangmu terhadap kucing tersebutlah, Aku merahmatimu.”
“Wahai, sahabatku, demikian penjabaran dan rahasianya aku mendapat ampunan serta rahmat dari Allah Swt,” papar Syibli.
“Subhanallah…!” sahabat Syibli takjub dan bangun dari mimpinya.
Mbah Man menghentikan kalimatnya, kali ini agak lama. Namun, bibirnya komat-kamit seperti merapal mantra. Samar-samar suara Mbah Man terdengar sebagaian orang-orang yang duduk di dekatnya. Orang-orang itu mendengar sebuah nama-nama yang disebut dalam dingkluknya Mbah Man ketika jeda. Lantas Mbah Man berseru, “Alfatihah!”
Semua hadirin serempak membaca ummul kitab.
“Para hadirin yang dirahmati Allah. Kisah Abu Bakar Asy Syibli tersebut telah termaktub di kitab Nashaihul ‘Ibad karya Syeh Nawawi Al-Bantani. Dan sebaliknya Allah dan Rasul-Nya melaknat kepada orang yang suka menyiksa hewan demi kesenangan pribadi. Seperti misal, pemancing mania—orang-orang ini suka mancing ikan, tapi tidak untuk mata pencarian atau hasil tangkapannya tidak untuk dimakan, melainkan mereka hanya mencari kepuasan hati.
Puas sambari ngakak bisa merasakan sensasi saat strike, setelah berhasil dapat ikannya lalu dilepas. Termasuk yang dilaknat Allah dan Rasul adalah adu sabung ayam jago.
Jika manusia sudah tak ada rasa iba—kasih sayang yang tulus dalam jiwanya, maka ia bukan sejatinya manusia melainkan iblis dari golongan manusia. Dan satu di antara iblis dari golongan manusia di zaman sekarang adalah orang-orang yang ketidakwarasannya sudah melampui sindrom skizofrenia, yang berkepahaman bahwa surga harus dicapai melalui dengan meledakkan diri di tengah kerumunan orang-orang cinta damai.
Apa pun dalil dan dalih mereka, Indonesia tak butuh iblis dari golongan manusia seperti pengebom bunuh diri itu. Hal demikina bukan jihad. Juga yang masih punya sifat arogan, menjadi hantu, menjadi monster untuk saudaranya sendiri, walau mereka memaki atribut Islam. Semua itu sudah tidak manusia yang memanusiakan manusia. Jelas bukan sifat muslim. Kang aran soleh bagus atine, kerono mapan seri ngelmune, laku thoriqot lan marifate, ugo hakekot manjing rasane.
Puncak dari ibadah adalah hakikat, dan kunci dari hakikat adalah adab. Astagfirullahal azhiim, tsabbit quluubanaa fii dinika wa thoatika. Sudah ya, mari kita akhiri dongeng sore ini dengan doa khotmil Qur’an.”
Mbah Man mengakhiri ceramah sore setelah sebelumnya berulang-ulang beristigfar, berdoa kemudian mempersilakan para hadirin menikmati hidangan yang tersaji. Semua hadirin lahap menikmati nasi kebuli-ayam panggang-sambel terasi yang terhidang bareng Mbah Man berbuka puasa sunah.
Setiap tutup doa ‘ngaji senja’, asap kemenyan Jawa, buhur Arab serta dupa tak lagi tampak meliuk di udara, lesap tanpa bara, hanya menjejak aroma. Lalu, azan Magrib melengking merdu tersiar dari toa meresap ke dalam jiwa.
Di langit terlihat seksi bibir-bibir bergincu merah memesona, dari ribuan bidadari nan setia, menanti para pelaku tiga rakaat saat malam mulai tiba.
Hayya ala sholah–hayya ala falah. (*)
Demak, 2020
GANSAR DEWANTARA, lahir dari sastra pesantren. Alumnus Ponpes Raudlatus Salikin, Wedung-Demak-Jawa Tengah. Penggiat pena santri Demak (PeSAN). Ia berkerja dan tinggal di Demak.