Oleh: R. Andi Irawan, M.Ag
(Ketua LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah)
Alhamdulillah, sudah lima tahun warga Indonesia terutama warga NU memperingati Hari Santri Nasional setiap tanggal 22 Oktober. Lahirnya Hari Santri merupakan dorongan pengurus PBNU kepada Presiden Ir. H. Joko Widodo sebagai wujud penghargaan negara kepada Kiayi dan Santri atas jasa mereka didalam proses perjuangan merealisasikan kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajah. Agar menemukan moment dan spirit yang tepat pada tahun 2015 lalu disepakatilah tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional yang bertepatan dengan peristiwa Resolusi Jihad yang difatwakan oleh Hadrotus Syekh Hasyim Asya’ari pada 22 Oktober 1948 demi mengusir dan melawan Agresi Meliter Belanda II. Kiayi Hasim Asya’ari mewajibkan semua umat Islam untuk berjihad perang melawan Belanda dan sekutu, sebab jihad kali ini adalah sebagai wujud usaha mempertahankan agama dan negara yang wajib hukumnya bagi semua warga, terutama pesantren yang direpesentasikan oleh para kiayi, santri dan masyarakat NU kultural secara keseluruhan.
Hari Santri Nasional kali ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada lima tahun lalu hari santri diperingati dengan berbagai kegiatan keagamaan, sosial, dan seremonial yang ramai dan meriah, namun kali ini diadakan dengan acara sederhana, bahkan disebagian daerah diperingati secara daring. Walau kondisi bangsa saat ini masih dirundung wabah corona, namun semangat masyarakat dan para santri tidak menurun dan pupus ditelan corona. Menurut hemat penulis, yang paling terpenting pada peringatan hari Santri adalah bagaimana kita mampu belajar dari sejarah dan memetik suatu hikmah atau pelajaran yang dapat dilakukan bagi generasi Santri saat ini demi langgengnya Islam Ahlus Sunnah Waljama’ah dan terjaganya bangsa Indonesia dari ancaman berbagai pihak. Dalam Bahasa lain, peringatan hari Santri kali ini, bagaimana kita mampu melahirkan kesadaran masuliyah diniyah (tanggungjawab agama) dan masuliyah wathaniyah (tanggungjawab kebangsaan) sebagaimana yang telah dicontohkan oleh muasis dan ulama NU di masa lalu, dan mengimplementasikannya dalam kehidupan dewasa ini.
- Iklan -
Menurut Gus Dur, Secara bahasa, Santri berasal dari bahasa Pali (Sanskerta) bahasa orang Budha, yaitu Shastri. Dalam Tipitaka, kata Shastri memiliki arti kitab suci atau orang yang belajar dan menguasai kitab suci. Bahasa ini kemudian diadopsi oleh para wali dan kiayi kita sebagai strategi dahwah yang efektif dengan mengakulturasikan nilai-nilai ajaran Islam dan budaya lokal, sehingga bisa diterima oleh masyarakat. Maka kemudian lahir istilah Pesantren dan Santri. Pesantren sebagai tempat dimana para santri mempelajari kitab suci atau berbagai bidang ilmu-ilmu agama. Dari aspek Bahasa, sebagaimana terkandung dalam arti kata Santri dan sesuai praktik pesatren di Indonesia yang melakukan kegiatan ilmiah pembelajaran ilmu-ilmu agama meliputi Al-Quran, hadits, fikih, akidah, tasawuf, Bahasa dan sastra, dan sebagainya, maka Santri adalah orang yang membawa misi keagamaan, keulamaan dan kemanusiaan.
Sematan Santri sejatinya tidak terbatas pada setiap orang yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren. Secara subtantif, Santri dapat disematkan kepada siapa saja yang menjadikan ulama atau kiayi sebagai panutan hidup dan mengamalkan ajaran Islam sebagaimana yang diajarkan di pesantren secara konsisten. Dan sematan Santri, tidak hanya diberikan kepada mereka yang sedang melakukan proses pendidikan di pondok pesantren (Santri Mukim), tapi tetap juga disematkan kepada semua klaster usia dan profesi masyarakat yang memegang prinsip di atas (Santri Kalong dan masyarakat yang intensif mengaji dan konsultasi keagamaan dengan para Kiayi). Sebab, makna substantif dari kata Santri adalah pribadi yang secara konsisten mengamalkan ajaran Islam, mencintai ulama, dan terus belajar sepanjang hidup.
Dalam memberikan makna kata Santri, para Kiayi secara kreatif menterjemahkannya dalam banyak makna yang diurai dan dijabarkan dari lima huruf, yaitu; Sin, Nun, Ta’, Ra’, dan Ya’. Diantara pemaknaan tersebut adalah; Sin berarti Salikun fil ‘Ibadah (Menempuh hidup dengan sipirit Ibadah kepada Allah), Nun berarti Naibun anis Syuyukh (Pengganti dan penerus perjuangan para kiayi dan ulama), Ta’ berarti Tarikun ‘an al-Ma’ashi (Meninggalkan berbagai keburukan, kemaksiatan dan kedloliman yang menyebabkan kerugian bagi diri sendiri dan orang lain), Ra’ berarti Raidul Ummah ilal Khair (Menjadi panutan dan selalu menuntun umat menuju kebaikan dan kemaslahatan hidup), dan Ya’ berarti Yarju as Salamata fid Din, wad Dunya, wal Akhirah (Orientasi hidupnya tidak hanya untuk dunia, tapi juga keselamatan agama dan akhiratnya).
Dari pemaknaan di atas dan sebagaimana yang terkandung didalam spirit Resolusi Jihad, ada lima etos yang harus disadari dan diperjuangkan oleh para Satri dewasa ini. Pertama, Etos keagamaan dan keilmuan. Para santri adalah penerus para Kiayi dan ulama didalam usaha pelanggengkan Islam yang berdasarkan paham Ahlus Sunnah waljama’ah di bumi Nusantara, Islam yang moderat, toleran, ramah dan menebar kasih sayang kepada seluruh umat manusia. Selain itu, Santri adalah simbol keilmuan, Santri harus memiliki spirit keilmuan yang terus mau belajar dan mengembangkan keilmuan demi memajukan agama dan negara. Karena dengan ilmulah peradaban dan kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan akan terwujud. Kedua, Etos Moralitas. Sebagai simbol keagamaan, keulamaan, dan kemanusiaan, Santri sudah semestinya mencerminkan pribadi yang memiliki akhlak dan karakter yang mulia atau integritas yang tinggi. Prinsip hidupnya adalah selalu berbuat kebaikan, kemaslahatan, dan menghindari sikap atau perbuatan buruk, kedloliman, dan kerusakan yang dapat merugikan diri sendiri dan masyarakat. Ketiga, Etos Transformasi Sosial. Sebagai penerus misi profetik dan keulamaan, Santri harus memiliki kepedulian sosial masyarakat. Keberadaanya di tengah-tengah masyarakat tidak hanya berdiam diri, namun secara peduli dan aktif ikut melakukan usaha-usaha menuju perubahan kondisi masyarakat yang lebih ideal, baik dalam bidang keagamaan, pendidikan, ekonomi, politik, kebudayaan dan dalam aspek kehidupan lainnya. Keempat, Etos Kemandirian. Sebagai agen perubahan, tentu kemandirian sangat dibutuhkan, baik kemandirian ekomoni maupun kemandirian dalam menentukan arah kehidupannya, termasuk kemandirian didalam menentukan arah dan kebijakan terkait perubahan sosial yang ingin diwujudkannya. Santri tidak patut selalu menggantungkan hidupnya pada pihak-pihak lain yang secara natural terkadang dapat mengintervensi sikap keagamaan dan idealismenya, sehingga ia terikat dan tidak bebas melakukan usaha-usaha kebajikan Kelima, etos Nasionalisme. Sebagaimana yang diajarkan oleh para Muasis NU dan kiayi, mencintai negara adalah bagian dari iman (Hubbul Wathan minal Iman). Artinya, mencintai dan menjaga negara adalah wajib hukumnya dan bagian dari melakukan usaha agar tegaknya agama di bumi Nusantra yang berasaskan Pancasila dengan damai dan aman.
Dalam kesempatan peringatan Hari Santri Nasional kali ini, para Santri perlu menyadari bahwa saat ini penjajahan yang dilakukan oleh bangsa asing bukan lagi penjajahan berbentuk fisik dan senjata, namun penjajahan yang lebih halus, yaitu penjajahan ideologi, pemikiran dan kebudayaan. Maka, strategi menghadapi mereka tentu bukan dengan mengembangkan kekuatan fisik, tapi dengan ilmu pengetahuan. Mencintai agama dan tanah air tidak cukup hanya dengan menggelorakan slogan dan yel-yel, tapi yang paling prinsip adalah dengan penguasaan ilmu agama dan ilmu pengetahuan secara imbang, serta keterampilan-keterampilan praktis duniwi yang bisa mendukung pengelolaan bumi dengan ramah dan penuh kemaslahatan. Dengan demikian, kedepan para Santri diharapkan mampu masuk dan menguasai ke berbagai bidang dan sektor kehidupan melalui jalur pemerintahan. Santri tidak lagi menjadi penonton dan korban kedloliman para pemanggu agama dan negara yang tidak bertanggungjawab, tapi mampu menjadi pelaku perubahan dan penebar kemaslahatan.
Santri adalah pribadi yang berkarakter mampu beradaptasi hidup dimana pun, senantiasa mengedepankan hidup bermasyarakat, dan menjadi panutan masyarakat. Kontribusinya kepada masyarakat didasarkan pada keikhlasan, tanpa menuntut imbalan materi bertarif. Semangatnya adalah mengajak-ajak mansyarakat untuk hidup sejahtera, damai, rukun, maju, dan memegang kuat ajaran agama yang moderat dan toleran. Dalam prinsip NU, Santri harus mampu mewudujkan Mabadi Khaira Ummah, yaitu ash-shidqu (kejujuran), al-wafa bil ‘ahd (menepati janji), at-ta’awun (tolong-menolong) ‘adalah (keadilan) dan istiqamah (konsistensi, keteguhan). Santri rela hidup sederhana dan prihatin demi berjuang menyelamatkan dan memajukan masyaraktnya, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw, para Sahabat, ulama dan Kiayi Pesantren. Semoga hari Santri kali ini tidak hanya uforia, tapi juga mampu mengambil spirit dan pelajaran kemudian dilakukan untuk membuat perubahan dan kebaikan. Sebab, Memperingati hakikatnya adalah “meneladani demi aksi”.