Oleh Hamidulloh Ibda
Sahabat saya, dulu sekira tahun 2014 pernah menulis status di beranda Facebooknya. Kira-kira begini “setiap orang tua kalau didatangi laki-laki yang dekat dengan anak gadisnya pasti tanya, apa pekerjaanmu, Dek? Saya tidak pernah menjawab sebagai penulis. Saya jawab belum bekerja. Seandainya saja penulis adalah pekerjaan yang bergengsi dan diakui, pasti mereka steikul ketika laki-laki yang mendekati anak gadisnya itu penulis”.
Ya, ini bukan sekadar soal mapan, belum, atau tidak mapan. Tapi, penulis memang bukan pekerjaan, bagi saya lo ya. Jelas kalau urusan status pekerjaan ya guru, dosen, PNS, dokter, hakim, advokat, kontraktor, atau pengusaha. Petani? Ah, tampaknya kok pekerjaan ini dinilai lagi kurang bergengsi. Padahal, petani merupakan kunci masa depan dunia. Apalagi penulis lepas. Gimana itu?
Penulis lepas itu tidak jelas kantornya, statusnya, seragamnya, kelas di masyarakat, tidak jelas pula gaji bulanannya berapa.
Maksud saya, ketika orang tua bertanya “apa pekerjaanmu, Dek” itu menegaskan kalau anaknya jangan sampai dinikahi “pria kere”. Bisa-bisa malah lebih kere dari orang tuanya kan. Namun, apakah penulis juga dalam kategori kere tersebut? Kok kenyataannya, belum pernah saya menemukan penulis melamar kekasihnya dan menegaskan pada calon mertuanya “saya penulis, Pak”.
Artinya, mereka itu belum “percaya diri” menunjukkan kalau penulis itu ya pekerjaan. Maksud penulis di sini ya penulis lepas yang menulis berbagai macam tulisan di media massa. Mulai dari artikel-esai (opini, kolom, gagasan, wacana, perspektif), resensi, atau karya sastra seperti puisi dan cerpen. Karena jenis-jenis tulisan itulah yang diberi honor oleh media massa.
Pekerjaan atau Hobi?
Penulis lepas, setahu dan menurut pengalaman saya cuma sampai dapat membeli benda-benda sederhana saja. Sebut saja ponsel, kamera, laptop. Namun berbeda dengan penulis buku yang sudah mendapat royalti jutaan, bahkan sampai mendapat kontrak, bonus rumah, mobil dan umrah, akan aman-aman bahkan mapan. Lalu, bagaimana nasib penulis lepas?
Bagi saya, menulis itu hobi, kebiasaan, dan katarsis. Saya pernah berada dalam keadaan sulit. Kala itu, menjelang lulus S1 memang bisa disebut lagi “jaya-jayanya”. Saya menulis opini di koran cetak, tiap minggu hampir lima lebih tulisan dimuat. Ini hoki. Sebab, selain mendapat honor dari koran, kampus saya juga memberikan sertifikat dan honor apresiasi.
Sedikit demi sedikit, saya bisa merasakan berkahnya. Dulu perbulan saya sempat mengirimi uang pada orang tua saya sekira Rp 1 juta sampai Rp 1,5 juta. Belum lagi uang untuk biaya hidup, bayar SPP dan tabungan untuk lanjut S2. Dan, ternyata terkabul. Saya diterima S2, dan sejak saat itu saya berhenti mengirimi uang ke rumah karena butuh biaya S2.
Semua itu saya dapat dari menulis. Sebagian teman saya, berfatwa bahwa honor dari menulis itu paling halal. Sudah bisa “misuh-misuh” di media, foto dan nama kita terpampang, terkenal, dihonori pula. Begitu salah satu penggalan fatwa yang masih saya ingat.
Ketika sudah kuliah, dan berkah karena saya sering menulis dan kebetulan sebelum lulus saya menerbitkan buku, saya pun diterima sebagai suami oleh istriku sekarang yang kebetulan dulu sejak SMA ia memang hobi menulis. Namun, genre tulisannya adalah karya tulis ilmiah, bukan artikel populer seperti saya.
Jadi meski “kere”, dia dan orangtunya (sekarang mertua saya), juga interest dengan saya. Meski kere tapi sudah punya buku dan banyak karya. Pikirku, “ah prek”. Untuk makan saja susah, apalagi untuk menikah. Duh! Kelamnya masa laluku.
Berkah Menulis
Dari bisa lanjut kuliah S2, mendapat istri, saya pun ketika lulus tidak mengutamakan ijazah belaka. Saya percaya bahwa skills alias kompetensi diutamakan. Buktinya, sekira 2016-2017, saya diterima di beberapa kampus bergengsi meski tidak saya ambil karena kebetulan tidak diizinkan istri.
Akhirnya, saya memutuskan mengabdi di kampus NU yang seirama dengan manhaj keluarga dan saya pribadi. Sampai akhirnya, dua anak saya pun tak jauh-jauh dari dunia literasi atau tulis-menulis.
Nama anak saya pertama Sastra Nadira Iswara dan kedua Aksara Litera Ibdaputra. Ini berkah menulis. Sampai akhirnya, saya pribadi dan keluarga terbantu secara ekonomi dengan mengelola beberapa penerbitan dan percetakan buku, ditambah beberapa media siber.
Di dunia akademik, memang genre tulisannya berbeda dengan jurnalistik. Saya mau tidak mau belajar tentang artikel ilmiah. Tapi, alhamdulillah ya bisa. Bahkan akselerasi itu saya alami ketika banyak artikel saya tembus di jurnal nasional maupun internasional.
Ditambah lagi, saya dipercaya menjadi editor maupun reviewer di beberapa jurnal di Jawa maupun luar Jawa. Berkah ini terjadi karena saya berusaha keras mempelajari berbagai genre tulisan. Mulai dari artikel populer, artikel ilmiah, maupun karya sastra meskipun saya nyerah soal karya sastra.
Sampai detik ini, berbagai organisasi mempercayai saya sebagai ketua bidang maupun koordinator di bidang itu. Ini bagi saya tantangan berat, karena dulu saya yang awalnya penulis lepas, kini pun sudah terikat dengan berbagai aktivitas di lembaga.
Tapi, hobi menulis lepas di media massa masih saya lakukan. Saya selalu rajin mendata tulisan artikel populer di media massa. Kalau tulisan berita, tidak pernah saya catat. Tulis, dimuat, share, lupakan. Begitu kalau prinsip saya ketika menulis berita.
Saya yakin, pembaca menikmati hobi dan pengalamannya masing-masing. Berkah menulis memang banyak, namun jarang orang yang mengalami plus menikmati itu dengan kegembiraan.
Jika era sekarang, pelajar atau mahasiswa nirskills, hanya menjadi konsumen tanpa fokus pada sesuatu yang menjadi produsen, saya yakin akan terkikis zaman. Artinya, menjadi penulis lepas tidak wajib, namun bagi saya melepaskan aktivitas menulis, membuat konten di Youtube akan menjadi haram. Sebab, ini banyak alasan.
Terakhir, penulis lepas itu kini hanya dilakukan beberapa mahasiswa tertentu. Namun mereka harus bisa menyesuaikan zaman dan kondisi. Ketika jadi guru, akademisi, maka ya harus dapat menulis artikel ilmiah, buku, riset. Ketika jadi wartawan, maka ya harus dapat menulis berita, tajuk, feature. Ketika jadi sastrawan, maka ya wajib memproduksi karya sastra.
Artinya, penulis lepas akan lepas dari “penulis” itu, ketika tidak bisa istikamah. Kerjaan hanya menulis dan menunggu transferan honor dari media massa. Lalu, masihkah ada penulis lepas di era sekarang?
-Penulis adalah Koordinator Gerakan Literasi Ma’arif