Oleh Kamalludin
Beberapa hari yang lalu, saya mendapat pertanyaan yang cukup menggelitik. “Kamu orang indonesia, kenapa studimu ambil jurusan Bahasa Indonesia?” Begitulah bunyi pertanyaan itu. “Kita kan orang Indonesia, kenapa harus belajar Bahasa Indonesia?” Seperti itu ia melanjutkan.
Pertanyaan dari seorang karib saya itu mengiang di kepala saya. Meski tidak membuat saya sampai susah tidur dan tidak doyan makan, tetapi pertanyaan tersebut cukup menggelisahkan bagi saya. Nah! Berangkat dari pertanyaan itulah saya jadi tergerak membuat tulisan ini. Pertanyaan tersebut saya jadikan sebagai batu pijakan dalam menulis.
Kenapa saya ambil studi Bahasa Indonesia? Baiklah, saya akan mencoba mengurai dengan carablak-blakkan. Pembaca yang budiman sekalian tentu mafhum, bahwa setiap individu dicipta oleh Tuhan dengan seperangkat kelebihan dan kekurangannya. Meski dahulu ketika bersekolah, kita diberi berbagai mata pelajaran dari A sampai Z. Tentu ada pelajaran yang kita sukai dan tak disukai. Ada pelajaran yang dikuasai dan tidak dikuasai. Ada yang menonjol dalam fisika tapi selalu bolos saat pelajaran olahraga—karena asmanya kambuh jika capek sedikit saja. Ada yang jago berhitung tapi keringat dingin ketika bertemu bahasa arab dan pelajaran agama. Ada juga yang berangkat sekolah kalau pas ada jadwal mapel olahraga saja. Hahaha…
- Iklan -
Nah! Sedikit menengok kebelakang, saat-saat saya berada di depan gerbang sebuah Universitas, saat-saat saya dihadapkan pada sebuah pilihan jurusan. Saat itulah saya menengok diri saya sendiri. Melihat jauh ke dalam diri. Saya perhatikan angka-angka yang tergores dilembar-lembar rapot saya. Saya mendapati tidak ada angka yang lebih tinggi melebihi mapel Bahasa Indonesia.
Artinya apa? Sangat konyol jika saat itu saya memilih mengambil jurusan fisika atau matematika. Bisa saja sih, tapi mungkin tidak akan bertahan lama—dan kemungkin terparah bisa jadi saya putus kuliah karena tak sanggup mengikuti pemikiran Phytagoras dan Sir Isaac Newton. Itulah alasan yang melatari saya memilih studi Bahasa Indonesia.
Setelah meraih gelar sarjana pun, banyak orang yang mempertanyakan—hendak kemanakah seorang sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia? Pertanyaan tersebut dapat terurai setelah saya menyelam ke dunia kerja. Ternyata, peluang sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dalam dunia kerja terbuka cukup lebar. Kenapa demikian? Jika ia hendak berkarir sebagai seorang guru, ia bisa melamar kemana pun. Bukankah sudah pasti sekolah-sekolah di Indonesia akan memuat mata pelajaran Bahasa Indonesia! Selain itu, mapel Bahasa Indonesia memiliki porsi jumlah jam tatap muka lebih banyak, empat sampai lima jam dalam seminggu. Tentu, hal itu sangat menguntungkan bagi guru honorer yang gajinya sangat bergantung dari jumlah jam mengajarnya. Belum lagi, mapel Bahasa Indonesia sampai saat ini belum pernah tergeser dari daftar mapel yang diujikan pada Ujian Nasional. Hal ini justru semakin menegaskan bahwa Bahasa Indonesia bukanlah mapel kaleng-kaleng!
Selain guru, mereka yang memiliki predikat sarjana bahasa dan sastra dapat juga berkarir sebagai jurnalis, penulis, penyair, penyiar dsb. Di luar itu juga bisa, karena setiap lini bidang pekerjaan tentu memerlukan bahasa, minimal, sebagai alat komunikasi dan negosiasi.
Anda tentu boleh tidak bersepakat dengan saya. Atau Anda yang bukan “orang bahasa” menganggap pandangan saya terlalu subjektif. Tetapi, seperti itulah gambarannya. Saya hanya merasa perlu berbagi kepada para pembaca yang budiman.
Selain sebagai alat komunikasi, bahasa juga sebagai penentu tersampaikannya berbagai ilmu lain. di era kolonial, Kiai Sholeh Darat Semarang pernah berusaha melawan penjajahan dengan menggunakan siasat bahasa. Masyarakat Jawa kala itu, banyak yang awam dengan bahasa Arab. Sedangkan kebijakan politik kolonial pada masa itu melarang menerjemahkan Al-Quran ke dalam bahasa Latin. Akhirnya Kiai Sholeh Darat dalam menulis kitab-kitabnya menggunakan huruf Pegon-Jawa. Peristiwa itu dikatakan dalam sebuah pengantar dalam bukunya Taufiq Hakim yang berjudul Kiai Sholeh Darat dan Dinamika Politik di Nusantara abad XIX-XX M. Mengait hal tersebut, negara kita sudah barang tentu menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan di Indonesia. Meski, ada pula sekolah yang berlabel bilingual atau menggunakan dua bahasa dalam proses kegiatan belajarnya.
Lalu bagaimana dengan pertanyaan, “kita kan orang Indonesia, kenapa harus belajar Bahasa Indonesia?” Jika ingin ditanggapi secara serius, sebenarnya pertanyaan semacam itu terang-terangan telah mengingkari Sumpah Pemuda! Karena jelas, di dalam sumpah pemuda tertuang cita-cita Negara kita : bertumpah darah satu, tanah air Indonesia. Berbangsa satu, Bangsa Indonesia. Dan menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
Fungsi lain dari Bahasa Indonesia adalah sebagai bahasa persatuan. Oleh sebab itu Bahasa Indonesia di dapuk sebagai bahasa nasional. Jika kau orang Jawa, lantas plesir ke sunda, tentu kalian tidak bisa saling berkomunikasi dengan menggunakan bahasa daerah masing-masing. Jika pun itu dipaksakan, besar kemungkinan terjadi gagal komunikasi. Di sinilah peran Bahasa Indonesia. Tersebab bangsa Indonesia yang memiliki banyak bahasa daerah, maka dirumuskan bahasa persatuan, yaitu Bahasa Indonesia. Maka dari itu, mata pelajaran Bahasa Indonesia wajib masuk dalam kurikulum pendidikan di Indonesia dan di ajarkan di sekolah-sekolah.
Pemerintah melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa berkewajiban merawat bahasa nasional kita. Melalui slogan yang berbunyi : utamakan Bahasa Indonesia, lestarikan Bahasa Daerah, kuasai Bahasa Asing. Pemerintah hendak mengajak rakyatnya agar tidak melupakan bahasa daerahnya masing-masing. Juga agar tidak menutup diri dari Bahasa Asing. Tetapi ingat, utamakanlah Bahasa Indonesia. Mungkin, seperti itulah kira-kira yang ingin bangsa kita katakan.
Praktik berbahasa yang saya temukan di lapangan, mungkin Anda juga pernah menjumpainya, sebagian besar dari kita lebih senang menggunakan kata graduation day saat memesan spanduk untuk sebuah acara wisuda. Di instansi-instansi, lembaga-lembaga, di bandara, stasiun, bahkan di bioskop, kata dari bahasa asing justru biasanya yang dicetak lebih tebal dan besar daripada Bahasa Indonesianya. Misalnya: Exit, kemudian diikuti dengan arti dalam bahasa indonesianya dengan tulisan yang lebih kecil. Apakah hal demikian salah? Tentu tidak! Namun alangkah lebih baik jika memuliakan bahasa yang kita miliki. Konon, di Jepang tidak demikian. Orang-orang asing yang masuk ke Jepang lah, yang harus belajar Bahasa Jepang.
Joko Pinurbo, penyair yang menulis buku kumpulan puisi, “Perjamuan Khong Guan”, memiliki kecemasan akan hal tersebut. Lewat puisnya, Jokpin menulis begini: “Ayahku sedang menjadi bahasa Indonesia / yang terlunta di antara bahasa asing dan bahasa jalanan,” (Joko Pinurbo, 2020: 106). Lewat puisinya, Joko Pinurbo tentu juga hendak mengajak kita sekalian agar tidak abai terhadap Bahasa Indonesia.
Nah!Apakah kondisi Bahasa Indonesia benar-benar terlunta seperti yang digambarkan oleh Jokpin? Tentu hal itu tidak akan terjadi jika, kita mau bersama-sama merawatnya, atau minimal menaruh rasa peduli terhadap Bahasa Indonesia. []
-Penulis adalah pengajar di Pekalongan. Beberapa tulisannya tersebar di Radar Pekalongan, Suara Merdeka, Cendana News.com, Ideide.id, Kurungbuka.com.